Cerpen Terisa Dea Putri
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
“Pak Tia! Pak Tia!” Suara teriakan itu berhasil membuat laki-laki tua yang menghisap rokoknya menoleh. Setengah berlari, ia menghampiri asal sumber suara yang memanggil namanya.
“Hei Nabire! Tidak bisakah kau memelankan suaramu?!” Dengan suara lantang, laki-laki tua itu menunjuk ke arah seorang remaja berusia 16 tahunan yang sedang berlari terengah-tengah.
Nabire berusaha mengatur napasnya. Tatapan tajam dari Pak Tiahahu membuatnya sedikit takut. “Anu ... Pak” Ia menatap laki-laki tua itu dengan raut wajah yang gelisah. “Pak Tia, pa-para nelayan sedang berkumpul di-disana!” Nabire menunjuk ke arah barat.
Pak Tia mengikuti arah yang ditunjuk oleh Nabire. Ia lalu mematikan rokok yang ada di tangannya. “Tidak masalah jika para nelayan berkumpul disana, Ire.” Ia lalu membalikkan badan untuk masuk kembali ke dalam rumah panggung miliknya.
“Tunggu Pak Tia!” Cegahnya. Nabire kesulitan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Ia lalu menaiki anak tangga dan menarik tangan laki-laki tua itu. Mereka lalu pergi menuju tempat yang dimaksud oleh Nabire. Pak Tia terkejut melihat Nabire menarik tangannya. Ia nyaris berteriak karena sikap kekurangajaran Nabire. Namun alih-alih kesal, pandangan Pak Tia tertuju pada sebuah pagar laut yang semakin meluas. Bisik-bisik para nelayan dan raut wajah kekhawatiran terpancar jelas.
Inilah yang ingin Nabire beri tahu pada Pak Tia. Bukan tanpa alasan para nelayan berkumpul di depan laut yang terhampar luas. Mereka terkejut bukan main ketika melihat pagar tembok yang semakin meluas di tempat para nelayan mencari ikan.
“Inilah berkumpul yang kumaksud Pak Tia” Suara Nabire terdengar lirih. Kekhawatirannya sama besar dengan para nelayan yang sedang menatap laut.
“Ada Pak Tia, ada Pak Tia!” seru salah satu nelayan di antara mereka.
“Lihat Pak Tia, pagar laut semakin meluas!”
“Bagaimana ini, semakin susah saja kami mencari ikan”
Pak Tia tidak menghiraukan perkataan mereka, namun jelas ia mendengarkan keresahan para nelayan. Ia sama terkejutnya dengan para nelayan yang lain, namun Pak Tia berusaha untuk tetap terlihat tenang.
Andik Jaya Tiahahu, laki-laki paruh baya yang ditunjuk oleh para warga menjadi tetua di kampung halamannya. Walaupun usianya sudah tak lagi muda, ia masih disegani oleh orang-orang di kampung. Pak Tia, panggilan akrab yang melekat di diri laki-laki itu. Sejak kecil, ia sudah mengikuti sang ayah pergi berlayar untuk mencari ikan. Tak heran, jika waktu Pak Tia banyak dihabiskan bersama birunya air laut.
“Tenanglah, saya akan membicarakan hal ini kepada Kepala Desa.”
Salah satu warga bertubuh besar maju. “Ini tidak bisa dibiarkan, Pak Tia.” Dadanya naik turun, peluh keringat laki-laki itu membasahi dahi. “Kami kesulitan untuk mencari ikan, ditambal kapal yang seringkali rusak. Kami rugi besar, Pak Tia! Rugi besar!”
Sorak-sorai suara para warga membuat situasi kian memanas. Pak Tia paham betul apa yang dirasakan oleh para nelayan. Sebab kapal miliknya pun seringkali rusak dan hasil tangkapan ikan yang semakin hari semakin menurun.
“Bapak, Ibu, saya akan mencari jalan keluar dari permasalahan pagar laut ini” ujar Pak Tia. “Keresahan kalian akan saya sampaikan saat bertemu dengan Kepala Desa nanti”
Bisik-bisik para nelayan kembali terdengar, namun Pak Tia pergi meninggalkan mereka. Tubuh yang berwarna kecoklatan dan dada yang naik turun, bergelayut menahan emosi. Sudah kesekian kalinya, ia meminta kejelasan terkait permasalahan pagar laut.
***
“Hasil tangkapan ikan kami mengalami penurunan yang signifikan, Pak Kades” Haruku, salah satu nelayan yang merupakan ayah dari Nabire menemani Pak Tia untuk menemui Pak Kades turut membuka suara. “Bapak tahu sendiri, jika kehidupan kami sangat bergantung pada hasil laut. Lalu, jika pagar laut semakin meluas akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab bagaimana nasib kami para nelayan?”
Pak Kades hanya mengangguk. Mendengarkan dengan saksama keluhan dari empat nelayan yang datang menemuinya tanpa sebuah rencana atau janji terlebih dahulu.
“Begini saja, saya secepatnya akan menemui pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan mengenai pagar laut ini.” jelasnya.
“Saya tidak ingin hanya bicara.” Pak Tia yang sejak tadi hanya diam, menatap tajam ke arah Pak Kades. Wajahnya memang terlihat tampak tenang, namun suara yang terdengar dari mulutnya menandakan bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. “Sejak awal, saya menerima jika pagar laut diadakan. Tetapi, pemandangan yang saya dan para nelayan lihat kemarin menimbulkan keresahan. Tolong, jangan bunuh kami dengan mematikan mata pencaharian para nelayan.”
Pak Kades memperbaiki posisi duduknya. “Saya akan berusaha untuk mengatasi hal ini. Saya-”
“Satu minggu” Pak Tia berdiri. “Satu minggu saya memberi waktu untuk melihat progres mengenai pagar laut itu. Jika tidak ada pembongkaran, maka kalian yang harus bertanggung jawab dan bersiaplah menghadapi kemarahan para nelayan.”
Pak Tia meninggalkan ruangan Kepala Desa diikuti dengan tiga warga lainnya. Di sepanjang jalan, pikirannya berkecamuk tak karuan. Di satu sisi, ia merasa bersalah saat mengizinkan Kepala Desa yang hendak memasang pagar laut agar para nelayan lebih leluasa untuk menangkap ikan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dampak yang dirasakan oleh para nelayan sangat jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Kepala Desa.
Seakan mengerti apa yang ada dalam pikiran Pak Tia, Haruku menenangkannya. “Tidak perlu terlalu dipikirkan, Pak. Saya yakin masalah ini akan selesai” ujarnya. Ia tahu betul, Pak Tia bukan tipe orang yang mementingkan egonya sendiri. Keputusannya akan sesuatu selalu dipikirkannya matang-matang. Sikapnya yang tegas dan berwibawa, membuat siapa saja segan untuk berhadapan dengan Pak Tia.
Pak Tia hanya diam, sambil mempercepat langkahnya. Tangan kirinya memegang tangan kanan yang ia letakkan ke belakang, ciri khasnya saat berjalan. Alih-alih menenangkannya, perkataan Haruku semakin membuat dirinya jatuh ke dalam rasa bersalah yang semakin menjadi.
***
Terhitung sudah dua hari sejak dirinya pergi menemui Kepala Desa belum ada tanda-tanda pembongkaran pagar laut. Pak Tia masih memikirkan cara bagaimana agar pagar laut ini tidak semakin meluas. Terlalu berisiko jika dirinya memaksa untuk membongkar pagar laut ini tanpa izin.
Pak Tia menyibukkan diri. Ia memperbaiki kapal miliknya yang rusak sebelum pergi mencari ikan. Matahari seakan menyambutnya dengan bersinar begitu terik. Saat peluh keringat membasahi sekujur tubuhnya, Pak Tia memilih beristirahat sejenak disamping kapal.
“Pak Tia! Pak Tia!”
Suara nyaring itu yang selalu mengganggu waktu istirahat Pak Tia.
Pak Tia langsung menoleh, menatap Nabire dengan raut wajah sumringah. “Kau selalu berteriak dan mengganggu waktu bersantaiku.”
Dengan napas yang tersengal-sengal, Nabire hanya menggaruk kepala dan tersenyum kecut. “Se-sebentar .... Pak”
“Aku mendengarkanmu. Cepat katakan”
“Ada beberapa orang yang datang untuk membongkar pagar laut, Pak. Disana ada Kepala Desa yang ingin menemuimu.” Nabire menunjuk arah yang dimaksud.
Pak Tia langsung berdiri. Bukan hanya dirinya, para nelayan yang sedang memperbaik kapal dan menyiapkan peralatan untuk menangkap ikan terdiam mendengar penjelasan Nabire. Mereka semua bergegas ke tempat yang dimaksud oleh Nabire. Tempat dimana pagar laut yang beberapa waktu terakhir membuat masyarakat wilayah pesisir resah.
“Saya berusaha melakukan yang terbaik dalam melaksanakan tugas, Pak Tia.” Kepala Desa menatap Pak Tia yang berjalan ke arahnya. “Maaf sedikit terlambat, karena ada urusan mendesak yang harus saya kerjakan terlebih dahulu.”
Pak Tia menghembuskan napas lega. Beban beberapa minggu terakhir telah hilang. “Terima kasih sudah menyelamatkan mata pencaharian kami dan menepati janji, Pak.”
“Itu sudah menjadi tanggung jawabku, Pak Tia” ujarnya. “Ada oknum yang tidak bertanggung jawab yang membuat pagar laut semakin meluas demi kepentingan pribadi. Tetapi tenang saja Pak Tia, Pemerintah Daerah sudah menangani kasus ini dan mengantisipasi agar tidak terjadi lagi.”
Pak Tia tersenyum. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia berdoa agar para nelayan dapat menikmati hasil alam ciptaan Tuhan tanpa perampasan yang dilakukan oleh manusia-manusia serakah yang tidak bertanggung jawab.