Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Tika Dwi Apriliani | Bukan Laut yang Tamak

Cerpen Tika Dwi Apriliani



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Sinar sang syam menyambut kesyahduan di pagi ini. Angin semilir yang tidak terlalu kencang menyapa telinga. Deburan ombak memanjakan mataku yang masih terjaga dalam lamunan. Terasa sunyi sekejap, hanya suara jam berdetak. Aku masih terus memandangi hamparan lautan luas hingga ketukan pintu membuyarkan imajinasiku. Ibu memanggil untuk cepat bergegas. Aku segera memenuhi panggilan Ibu. Melihat laki-laki paruh baya yang terduduk dengan muka masam, diraihnya tanganku oleh Ibu untuk duduk bersama.


“Tidak habis pikir dengan kelakuan manusia zaman sekarang”, genggaman gelas yang cukup kuat seolah menjadi pelampiasan rasa kesalnya. Aku belum paham maksud perkataan Ayah. Alih-alih aku mencoba menatap ke arah Ibu untuk mencari jawaban, Ibu malah ikut terdiam bingung. Santapan pagi yang biasanya Ibu hidangkan kini lenyap. Hanya tersedia segelas air putih dan teko kayu kesayangan Ibu. “Ibu, di mana makanannya?”


Bukannya menjawab, Ibu malah beranjak pergi ke dapur tanpa satu kata terucap. Aku pun ikut beranjak pergi dari tempat makan. Menyisakan Ayah yang masih kalut dalam frustrasinya. Mencoba keluar untuk menghirup udara segar. Sendiriku ditemani angin. Bayang bayang Abang terlintas dalam memoriku. Aku sungguh rindu kepulangannya.


Menunggu hampir lima tahun lebih. Jikalau ada Abang, pasti ia tidak merasa sendiri seperti ini.


“Tunggu abang belikan sepatu barumu nanti ya dek. Abang janji semua yang ayah, ibu, adik inginkan akan abang penuhi satu-satu”


Kalimat itu masih terus berputar dalam otakku. Aku baru menyadari peran Abang begitu besar rupanya. Kini, hanya rasa sabar yang aku miliki. Menatap lama deburan ombak yang datang. Semakin aku tatap, semakin jelas kulihat bilah bambu yang berbaris di tengah lautan. Bagaimana bisa banyak kayu yang tiba-tiba tertancap di antara ombak, pikirku. Pemandangan pesisir yang biasanya dipenuhi nelayan, hanya tersisa deretan perahu terparkir. Di mana para nelayan itu.


“Bagaimana kita bisa menangkap Ikan lagi, Bu”


“Mau tidak mau, kita harus memutar mencari jalur lain”


“Itu sangat memakan waktu, dan pemborosan bahan bakar, Bu”

 

Dari kejauhan aku mendengar perdebatan kecil itu. Telingaku tertarik mengikuti sumber suara. Dilihatnya sepasang suami istri tampak frustrasi. Otakku mencerna lebih dalam.


Sayangnya saat aku mencoba mendengarkan kembali, telingaku malah dicubit oleh pria itu. Aku terpaksa ditarik mundur dari tempatku menguping. “Sedang apa kau bocah”, tanya pria itu. Tidak sempatku jawab, sendal karet berwarna merah sudah mendarat di kepala pria tersebut. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur. Dari kejauhan aku melihat Anton dan Bagas tertawa dengan senyum jahil. Sudah pasti mereka pelakunya.


“Untung saja ada kalian berdua, kalau tidak mungkin telingaku akan putus”


Anton dan Bagas sudah cukup lama berteman denganku. Berkat mereka, aku dapat lolos dari pria yang menjumpaiku menguping. Aku melihat dari raut wajah kedua temanku sangat muram. Tidak seperti biasanya yang selalu ceria. Kami berjalan beriringan hingga sampai di tempat yang membuat mulutku menganga. Aku masih bersama dengan otak tumpul ini.


Mencari jawaban dari semua yang kulihat.


“Lihat, akibat ulah orang yang tidak bertanggung jawab ini merusak proyek budidaya terumbu karang milik kami”, ketus Bagas.


“Bukan hal yang mudah dari awal kami membangun budidaya ini”, timpal Anton.


Aku melihat sekeliling yang memang benar tampak banyak pagar laut membentang horizontal membelah lautan. Aku tidak menduga, pagar laut yang hanya bambu berbaris ternyata mampu merusak ekosistem laut. Bahkan berdampak pada kegiatan ekonomi warga sekitar termasuk keluargaku yang terkena imbasnya.


Sayup-sayup bisikan menghunjam indra pendengaranku. Semilir suara rintihan datang dari arah utara. Aku cepat-cepat berucap pamit pada Bagas dan Anton. Masih dengan suara yang terdengar sama, kakiku berlari semakin kencang menelusuri sumber suara tersebut. Hingga tibalah aku, dibatas daratan dan lautan. Sepi. Dari mana suara rintihan itu berasal?, tanyaku dalam hati.


Serpihan ombak kecil membasahi kedua kakiku. Semakin jelas rintihan terdengar, namun tidak ada seorang pun di sana. Mataku terarah pada ombak kecil yang seolah memanggilku. Seperti dalam dunia fantasi, mana mungkin ombak mengeluarkan suara rintihan. Aku yang masih tidak percaya sambil mengusap kedua bola mata. Ini bukan sebuah mimpi rupanya. Aku melihat dengan jelas saat Laut terisak menangis.

 

“Tolong bebaskan kami dari jerat bambu ini pemuda” “Laut, bisa bicara? Apa aku mengigau?”


“Tidak pemuda, kaulah pemuda yang terpilih sehingga mampu mendengar kami”


Aku mengerutkan kening, sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Aku baru menyadari bukan hanya Laut yang menangis, melainkan penghuni di ekosistem ini pun ikut bersedih.


Seperti ikut terbawa suasana, rasa geram memuncak. Dari sini aku mulai bertekad untuk memberantas dalang dibalik semua peristiwa ini. Jelas banyak merugikan berbagai pihak. Diam bukan menjadi solusi yang tepat bagiku saat ini. Tidak akan aku biarkan begitu saja.


Ingin rasanya mencari tahu lebih dalam lagi, namun hari semakin gelap. Bukan waktu yang tepat menelusuri semuanya. Aku memilih pulang setelah berpamitan dengan Laut. Memang lumayan jauh untuk menempuh perjalanan ke rumah, aku hanya berjalan menggunakan kedua kaki. Langkah demi langkah membawaku pada depan pintu kayu yang terbuka lebar.


Keningku berkerut. Tumben sekali Ibu belum menutup pintu padahal sang surya sudah mulai terbenam.


Baru beberapa langkah masuk, aku mengernyit heran kepada kondisi rumah bak kapal pecah. Barang-barang yang biasanya tertata rapi, kini berhamburan dimana-mana. Suara entakkan disusul nada tinggi dari Ayah membuatku terkejut.


“Aku sekolah kan kau tinggi-tinggi, rupanya malah menjadi manusia yang tamak” “Tapi sekarang aku bergelimang harta, Ayah!”


“Kau pikir dengan membuat pagar laut tidak akan berdampak apa-apa? Harta sudah benar- benar membutakan matamu!”


Mataku terbelalak tidak percaya. Dalang dibalik semua ini ternyata Abang. Lima tahun yang lalu, Abang memang izin merantau ke kota untuk bekerja. Namun, mengapa saat Abang kembali seperti lupa pada desa kelahirannya ini. Kakiku terasa lemas untuk menopang tubuh. Untungnya, aku masih sanggup berdiri. Melihat Abang pergi menyisakan Ayah yang masih kalut dengan emosinya.


Deru napas Ayah masih memburu, disusul kedatangan Ibu membawa segelas air putih.


Keadaan hening seketika, aku mencoba mencairkan suasana dengan merapikan kembali barang-barang yang berserakan. Tidak pernah ada keributan dalam keluargaku sebelumnya. Baru kali ini juga, Aku melihat emosi Ayah yang begitu memuncak. Bukan hanya emosi, melainkan dari sorot kedua matanya meratapi kekecewaan teramat besar. Aku paham bagaimana Ayah berjuang untuk Abang agar terus bisa sekolah setinggi mungkin.


Selesai merapikan barang, Aku bergegas masuk ke dalam bilik kamar. Berusaha menetralkan pikiranku. Malam semakin gelap, membawaku terbang di alam mimpi. Hingga aku terbangun saat sinar surya memancar. Masih dengan mata yang belum terbuka sempurna, dari arah pintu rumah terdengar suara kericuhan yang asalnya dari warga. Aku mengintip dibalik jendela.


Aku melihat warga berbondong-bondong menuju rumah dengan ekspresi yang begitu marah. Menyeramkan memang.


“Bapak, harus tanggung jawab dengan perbuatan anak bapak ini”, ujar tetangga. “Benar pak, dia salah satu dalang dari oknum pembuatan pagar laut”


Kericuhan semakin terdengar. Kulihat Abang juga yang tengah diseret-seret warga sekitar. Jujur, aku tentu tidak tega melihatnya. Apalagi Ibu, berusaha melepas anaknya yang diseret oleh warga.


“Ayah, tolong Abang. Bukan Abang secara keseluruhan dalang dibalik semua ini. Abang hanya disuruh oleh pejabat tinggi untuk memalsukan sertifikat hak milik”


“Alah, sama saja kau ini sudah menjadi kaki tangan oknum yang tidak bertanggung jawab itu”, ketus salah satu warga.


Ayah tidak mungkin membela putranya yang jelas-jelas bagian dari penyebab kerusakan laut dan ekonomi penduduk. Ia lebih memilih untuk menyelesaikan persoalan anaknya dengan pihak yang bertanggung jawab. Hingga tiba di hadapan pengadilan. Abang tampak dengan muka yang pucat pasi hanya mampu tertunduk malu. Hukuman penjara telah dijatuhkan kepada Abang. Ayah dan Ibu sejujurnya tidak mampu melihat anak laki-laki pertamanya memasuki jeruji besi.


“Kau dengar ya anakku, setinggi apa pun ilmu kamu nanti. Gunakanlah sebijak mungkin.


Jangan hanya ingin bergelimang harta harus memakan uang suap dan merusak lingkungan”. Ayah memberiku nasehat yang begitu menyentuh. Meski dengan tangisan kecil, Ayah masih mampu memeluk Aku dan Ibu. Terasa hangat sekali. Aku berharap generasiku saat ini dikemudian hari bisa menolak keras upaya penyuapan. Apalagi yang berhubungan dengan kerusakan alam.