Laut menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa dipahami manusia. Ombaknya bergerak tanpa henti, menghapus jejak waktu, menyembunyikan sesuatu yang lebih tua dari ingatan manusia. Di desa kecil yang berdiri di tepi samudra, ada satu aturan yang diwariskan turun-temurun: jangan pernah melewati pagar laut. Tidak ada yang tahu pasti apa yang ada di balik batas itu, hanya cerita-cerita samar tentang kapal yang tak pernah kembali, bayangan yang bergerak di bawah permukaan, atau suara asing yang terdengar di malam hari.
Lassa tidak pernah percaya pada cerita-cerita itu. Baginya, pagar laut hanyalah takhayul yang diciptakan untuk menakut-nakuti mereka yang hidup dari lautan. Sebagai atlet loncat indah, ia telah menantang gravitasi berkali-kali, melompat dari ketinggian yang membuat orang biasa bergidik. Tetapi hari ini berbeda. Saat berdiri di tepi tebing, bersiap untuk melompat, ada sesuatu di dalam dirinya yang ragu. Laut di bawahnya tampak tenang, seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang bersembunyi di dalamnya. Dan ketika ia akhirnya melompat, ia tidak tahu bahwa ia baru saja menyeberang ke dunia yang seharusnya tetap tersembunyi.
Lassa berdiri di tepi tebing. Angin kencang menampar wajahnya, membawa aroma laut yang asin. Di bawah sana, ombak menghantam karang dengan irama yang menghipnotis. Jaraknya sepuluh, dua puluh, mungkin tiga puluh meter dari permukaan air. Tapi bukan ketinggian yang membuatnya ragu. Sesuatu yang lain menunggu di bawah sana. Sejak kecil, ia melompat dari tebing ini tanpa takut. Tapi hari ini, ada sesuatu yang membuat kakinya terasa lebih berat. Pagar laut. Garis tak kasatmata yang konon membatasi dunia manusia dan sesuatu yang lain.
Di kejauhan, beberapa perahu nelayan tampak seperti titik-titik hitam di atas hamparan biru tak berujung. Tak satu pun berani mendekati batas itu. Ia mendengar kisah-kisah tentang nelayan yang hilang setelah melewatinya. Tapi sebagai atlet loncat indah, Lassa tidak percaya takhayul. Mungkin ia hanya pura-pura tidak percaya?
Lassa menarik napas, menyesuaikan posisi kakinya di tepi batu. Satu dorongan kecil, dan ia akan melayang. Tapi pertanyaannya, apakah ia akan kembali?
Hari ini, ia akan melanggar batas yang selama ini dipercayainya, batas yang disebut pagar laut.
Pagi ini, ia berdiri di puncak tebing dan bersiap melakukan lompatan terbesarnya. Selama bertahun-tahun, ia berlatih melompat dari berbagai ketinggian. Ia terbiasa dengan loncatan dari papan tiga hingga sepuluh meter di kolam renang profesional, tetapi laut? Ini adalah sesuatu
yang berbeda. Di laut, tidak ada batasan kedalaman, tidak ada sensor yang mengukur kecepatan dan sudut masuknya ke air. Hanya ada dirinya dan kehampaan di bawahnya.
Angin berhembus kencang. Di kejauhan, perahu-perahu kecil terlihat seperti titik-titik hitam di hamparan biru tak berujung. Ia merapatkan jemarinya, menyiapkan tubuhnya untuk lompatan. Kakinya sedikit menekuk, siap melesat ke bawah. Ia menghembuskan napas perlahan dan melompat.
Saat tubuhnya menembus udara, detik-detik terasa melambat. Ia merasakan gravitasi menariknya, tetapi tubuhnya tetap terkendali, mengikuti hukum yang sudah dilaksanakan bertahun-tahun. Ia memasuki air dengan mulus, tanpa percikan besar. Namun, begitu ia menyelam lebih dalam, sesuatu terasa berbeda.
Air di sekelilingnya lebih dingin daripada yang ia perkirakan. Cahaya matahari yang biasanya menembus hingga beberapa meter ke bawah terasa redup lebih cepat. Ia membuka matanya dan melihat sekeliling. Di kejauhan, ia melihat sesuatu yang aneh. Seperti bayangan besar yang bergerak di dasar laut. Ia mengerjapkan mata, berusaha memastikan apa yang ia lihat.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Apakah ini hanya permainan cahaya? Ataukah mitos tentang pagar laut itu benar adanya?
Dengan hati-hati, ia berenang lebih dalam. Ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Ia mencoba tetap rasional, ini bisa saja hanya bayangan dari terumbu karang atau sekelompok ikan besar yang bergerak bersamaan. Namun, saat ia mendekat, bayangan itu semakin jelas.
Itu bukan ikan. Itu sesuatu yang lebih besar.
Lassa merasakan bulu kuduknya meremang. Ia segera berenang ke atas, menembus permukaan dengan napas terengah. Ia menatap sekeliling. Laut masih tampak sama seperti sebelumnya, tetapi hatinya mengatakan ada sesuatu yang berubah.
Ia berenang ke tepian, berpegangan pada tebing. Sambil mengatur napas, ia menoleh ke arah laut lepas. “Apa tadi?” gumamnya pelan.
Ketika ia kembali ke desa, pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian tadi. Bayangan makhluk besar di bawah permukaan laut, struktur asing yang tampak seperti reruntuhan, serta sensasi aneh yang merayapi tubuhnya ketika ia menyelam lebih dalam, semuanya berputar di kepalanya seperti pusaran air yang tak kunjung reda. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri
bahwa mungkin itu hanya efek dari cahaya atau imajinasinya yang terlalu liar. Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat perasaan bahwa ada sesuatu yang harus ia pahami.
Langkahnya membawanya ke pelataran rumah Pak Ramli, salah satu nelayan tertua di desa. Lelaki itu sedang duduk di bangku kayu, mengikat jaringnya dengan gerakan yang lambat tetapi pasti. Keriput di wajahnya bercerita tentang puluhan tahun yang ia habiskan di laut, tentang ombak yang telah ia taklukkan dan badai yang telah ia lalui. Lassa berdiri di depan lelaki tua itu, ragu sejenak sebelum akhirnya membuka mulut.
"Pak, saya melihat sesuatu di laut tadi," katanya pelan, nyaris berbisik.
Pak Ramli menghela napas. “Aku sudah bilang, ada yang menjaga pagar laut itu.” “Tapi itu hanya mitos, kan?”
Orang tua itu menatapnya dalam. “Mitos ada karena sesuatu pernah terjadi, Lassa.”
Lassa tidak bisa mengabaikan perasaan yang menggelitik benaknya. Ia memutuskan untuk kembali ke sana keesokan harinya, kali ini dengan lebih banyak persiapan. Ia mengenakan wetsuit, membawa pisau selam kecil, dan memasang kamera bawah air di pergelangan tangannya. Ia harus tahu apa yang ada di sana.
Saat ia kembali melompat dan menyelam lebih dalam, kamera menangkap sesuatu yang membuatnya terpaku. Sebuah struktur atau mungkin reruntuhan? Seperti bangunan tua yang tertutup karang dan alga. Dan di antara reruntuhan itu, bayangan besar itu kembali muncul.
Namun, kali ini, ia melihat lebih jelas. Itu adalah makhluk besar, menyerupai pari manta, tetapi lebih panjang, lebih anggun, dan memiliki pola yang bersinar samar di tubuhnya. Makhluk itu berenang mengitari batas yang disebut pagar laut. Bukan sebagai penjaga, tetapi seolah menunggu sesuatu.
Saat ia mengarahkan kameranya, makhluk itu bergerak mendekat, membuat jantung Lassa berdebar kencang. Namun, alih-alih merasa takut, ia justru merasakan sesuatu yang aneh— seperti panggilan. Seolah makhluk itu tidak asing baginya.
Tiba-tiba, dari reruntuhan di bawahnya, cahaya samar mulai muncul. Bentuknya seperti simbol-simbol kuno yang tertulis di batu. Lassa mengernyit, mencoba memahami apa yang dilihatnya. Apakah ini peninggalan peradaban yang hilang? Ataukah benar ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar legenda?
Ketika ia menyentuh salah satu batu berukir itu, pandangannya seketika menjadi gelap. Ia merasa tubuhnya jatuh, tenggelam lebih dalam ke dalam kehampaan. Namun, saat ia membuka matanya kembali, ia tidak lagi berada di dalam air. Ia berada di sebuah ruangan bercahaya biru, seperti berada di dalam kubah kaca di dasar laut.
Seorang pria berdiri di depannya. Rambutnya putih, matanya tajam dengan sorot yang sulit dibaca. Ia mengenakan jubah sederhana berwarna biru keabuan, serasi dengan cahaya redup yang memenuhi ruangan. Suaranya terdengar tenang namun tegas. "Kau telah melewati batas, Lassa."
Lassa mengamati sekelilingnya, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi. "Siapa kau?" tanyanya, berusaha menekan kegelisahan dalam suaranya.
"Aku penjaga pengetahuan yang telah lama hilang," jawab pria itu. "Pagar laut bukan sekadar batas wilayah, melainkan perlindungan. Kau telah mengganggu sesuatu yang seharusnya tetap tersegel. Sekarang, kau harus bersiap menghadapi konsekuensinya."
Lassa menghela napas, berusaha mencerna kata-kata itu. Ia tidak mengerti sepenuhnya, tetapi nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang memang berubah sejak ia menyelam tadi.
Tiba-tiba, ruangan mulai bergetar. Cahaya yang tadinya stabil berubah menjadi retakan-retakan terang di dinding kubah, seolah ada tekanan besar dari luar. Suara gemuruh terdengar semakin jelas.
"Waktunya sudah tiba," ujar pria itu. "Kau harus memilih. Apakah kau akan kembali dan melupakan semua ini, ataukah kau akan membantu mengembalikan keseimbangan yang terganggu?"
Lassa diam sejenak, mempertimbangkan segala kemungkinan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia memilih salah satu jalan, tetapi ia menyadari bahwa apa pun pilihannya, tidak ada jalan untuk kembali ke kehidupan yang sama seperti sebelumnya.