Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Viyona Azka Zhafirah | "Pagar (Bambu) Laut?"

 

Bunyi bel sekolah selalu membuat telingaku berdenging. Ini adalah waktunya pulang sekolah setelah mengebulnya otak untuk menyerap materi hari ini, pengecualian untuk matematika karena memang tidak ada yang ku serap pada otak ku yang kecil ini. Setelah pulang sekolah, seperti biasa aku selalu bersemangat karena akan menangkap ikan di laut lepas bersama ayah dan teman - teman ayah yang juga berprofesi sebagai nelayan. Untung saja besok hari libur dan aku bisa bermalam di lautan.

“Herman! Ayo cepat, kita udah ditunggu sama yang lain!” teriak kakakku Ayen yang sepertinya sudah sangat kesal denganku.

“Sabar napa ka, ini nih dah turun.” aku berlari, berusaha terlihat memelas agar aku tidak kena omelan yang tidak akan ada habisnya. Kakak ku ini memang sangat cepat kalau urusan ke laut bersama ayah, dia pasti akan bersiap - siap setelah diberi tahu kalau mereka akan ke laut untuk menangkap ikan.

            “kamu tuh ya, siap - siap udah kayak cewek aja. Kakak yang cewek aja gak selama itu siap- siapnya.” sepertinya aku akan mendengarkan ceramahnya selama menuju ke kapal ayah.

Aku langsung menyapa ayah dan teman ayah yaitu om Ari yang sudah kuanggap seperti om ku sendiri karena aku sudah mengenalnya sejak aku masih kecil.

“Ayaaaahhhh…” Aku memeluk ayah dan bergantian memeluk om Ari.

“Om Ari kemana aja? Aku udah lama banget gak makan masakan om.” Teman ayah yang satu ini memang jago sekali memasak apalagi saat berada di kapal, om Ari adalah orang yang selalu membawa peralatan lengkap untuk memasak beserta bumbu rahasianya. 

Ayah segera menaiki kapal miliknya dan menyalakan mesin kapal dibantu om Ari yang juga sedang menaikkan barang - barang kami. Aku dan kakak ku akhirnya menaiki kapal setelah selesai mengecek perlengkapan yang sudah dinaikkan ke kapal. Aku selalu duduk di ujung kapal sambil menikmati terpaan angin laut yang menyejukkan. Setelah sampai di tujuan ayah tempat biasa ia menangkap ikan yang nyatanya aku bahkan tidak tau dimana kami berada sekarang, om Ari mengeluarkan rantang yang berisi berbagai macam makanan kesukaan ku dan kakakku.

“Herman, Ayen, om bawa ayam opor buat Herman dan Rendang buat Ayen.” om Ari mendorong beberapa mangkuk yang berisi ayam opor dan rendang kearah ku dan ka Ayen.

“Wahhh om, tau aja aku kangen banget masakan om.” aku mengambil opor ayam  yang sudah lama aku idam - idamkan.

“Kan tadi kamu kasih tau om dan untungnya om selalu tau apa yang kamu mau Herman.”

“Sudah ayo makan, liat tuh kakakmu udah makan dari tadi.” Ayen tak mempedulikan orang di sekitarnya yang bahkan menatapnya penuh heran.

“Kenapa? Aku cuman lapar, sudah jangan natep aku kayak gitu!” kak Ayen lanjut makan dengan tenang sambil mendengarkan musik dengan mp3 yang dia bawa dari rumah.

Aku biasanya tidur lewat tengah malam, karena ayah dan om Ari terkadang menangkap ikan waktu tengah malam sedangkan ka Ayen sudah entah kemana dia pergi dengan mimpinya. Aku menatap langit malam yang masih jernih dan indah dipandang, banyaknya bintang - bintang menghiasi menambah pesona langit malam yang selalu menghipnotis ku. Tanpa aku sadari ternyata aku terlelap dan terbangun saat adzan subuh, Aku mencari ayah, om Ari dan Ka Ayen yang entah dimana tapi terdengar suara mereka yang berisik. Setelah aku menelusuri kapal, ternyata ayah mendapat tangkapan ikan yang cukup besar dan memiliki berat sekitar 4 kg.

Aku berfoto bersama ikan dan ayah juga, itu adalah tangkapan yang beruntung di pagi hari. Saat jam 8 pagi, aku mencoba memancing dengan umpan andalan ayah, siapa tau beruntung seperti ayah dan aku bisa pamer ke ka Ayen dan ibu. Tiba - tiba tanpa ku sadari, alat pancing ku sudah sangat melengkung dan aku berusaha menarik sekuat tenaga dan keberuntungan berada di pihakku. Aku mendapat ikan yang lumayan besar bagi seorang pemula sepertiku.

“Ayaaaahhhh, liat aku dapet ikan gedeee.” bahkan teriakan ku membangunkan om Ari yang hampir terlelap.

“Wahhhh memang anak ayah yang satu ini hebat sekali seperti ayahnya.” ayah menatap kagum padaku.

Setelah kejadian itu, kami mulai berlomba siapa yang mendapat ikan paling cepat. Pastinya orang - orang akan menyangka yang mendapat ikan duluan adalah ayah atau om Ari. Tapi nyatanya aku pun terkejut karena yang mendapat ikan duluan adalah ka Ayen yang memang pada dasarnya tidak pandai memancing. Kami memancing sampai siang hari dan akhirnya pulang dengan membawa ikan yang cukup besar hingga ukuran kecil untuk ikan hias di akuarium.

Di perjalanan pulang, seperti biasa kami selalu menyetel lagu untuk merayakan hasil tangkapan yang cukup memuaskan. Om Ari sudah siap dengan alat masaknya yang akan memasak beberapa ikan untuk kami makan. Dan itu sudah pasti bahwa makanannya sangat lezat ditambah ikan yang masih segar. Saat sudah kami sudah dekat dengan pulau, kami melihat banyak bambu melintang yang entah ujungnya dimana. Om Ari membelokkan kemudi untuk mengetahui seberapa panjang bambu yang dibuat seperti pagar ini.

Setelah 2 jam menelusuri dimana ujungnya dan ayah sudah menghitung, hingga aku terkejut melihat jarak yang sudah kami tempuh untuk mencapai ujung dari pagar ini.

“Untuk apa pagar sepanjang 30 km ada disini?” om Ari menatap heran dan masih memutar kemudi agar kapal dapat melewati pagar bambu yang entah sejak kapan ada disana.

Kami sampai di pesisir pantai dan sudah ada ibu yang menunggu kami dengan wajah cemas yang membaur dengan warga yang juga tampak sama cemasnya dengan ibu. Kami turun dari kapal, tapi anehnya ibu berlari memeluk kami seperti kami akan terkena kejadian buruk di laut sana. 

“Ibu kenapa? Gak kayak biasanya kayak gini.” tanya ku yang masih sesak karena dipeluk ibu terlalu kuat.

“Kamu gak liat itu disana ada pager bambu, ibu gak tau kenapa di pagar kayak gitu tapi ibu khawatir sama kalian.” jelas ibu dengan wajah yang masih setengah cemas.

“Aku tadi denger, katanya panjang pagernya sekitar 30 km bu.” kak Ayen masih berusaha menenangkan ibu.

Om Ari dan ayah menghampiri para warga yang masih berkerumun di pesisir pantai.

“Maaf, kalo boleh tau sejak kapan pager itu dipasang ya pak?” tanya ayah pada salah satu warga.

“Tadi pagi pak, saya juga bingung tiba - tiba udah ada pager sepanjang itu, kami para nelayan akhirnya memutar sampai bertemu ujungnya.” jawab warga tersebut dengan wajah muram.

Aku kembali kerumah dengan pertanyaan besar, “kenapa ada pagar sepanjang itu dilaut? Padahal itu ada yang punya.” kalimat itu selalu menghantui pikiranku hingga keesokan harinya. Pagi hari tiba, dengan suasana rumah yang ternyata hanya ada kak Ayen. Sejujurnya aku sedikit terkejut karena tidak biasanya rumah sesepi ini.

“Ayah dan ibu lagi ngumpul sama warga bahas pager yang ada di laut itu.” kak Ayen seperti membaca isi pikiran ku yang melihat rumah kosong melompong.

Aku dan kak Ayen hanya menunggu dirumah karena memang tidak diperbolehkan ayah dan ibu untuk keluar rumah saat mereka sedang tidak berada dirumah. Karena aku tidak ada tugas dari sekolah, aku memainkan hp ku yang sudah seharian lebih tidak ku nyalakan. Seketika aku terkaget, beranda berita yang berada di layar hp ku adalah pagar bambu yang berada di dekat pulau ku dan ada beberapa berita yang menuliskan bahwa pihak yang membangun pagar tersebut belum diketahui izin pasti dari pemerintah. Kak Ayen juga menemukan ada banyak warga yang berada di depan pagar DPR untuk protes dan naluri ku mengatakan untuk mencari ayah dan ibu yang ada di foto berita tersebut.

Aku dan Kak Ayen memang tidak menemukan ayah dan ibu di foto berita tersebut, tapi ini sudah larut malam. Tidak biasanya ayah dan ibu pergi hingga selarut ini, meskipun pergi hingga larut malam pasti ayah atau ibu mengabari kami. Hingga esok paginya pun ayah dan ibu tidak kunjung kembali, sebenarnya kami bertanya - tanya dan cemas dengan keadaan mereka tapi tiba - tiba om Ari datang dan menyampaikan bahwa ayah dan ibu kami baik - baik saja.

“Om Ari! Ayah dan ibu kapan pulang?” tanya kak Ayen yang sudah tak sabar melihat ayah dan ibu.

“Paling besok, paling lama 2 hari lagi.” jawab om Ari tampak sedikit berpikir.

“Om Ari hari ini nginep disini yaa, masa kita berdua doang.” bujuk ku dengan wajah memelas.

“Siaaapp, om bakal nginep disini sementara dan nemenin kalian.” om Ari menunjukkan ransel yang ia bawa berisi baju dan cemilan kami.

Sebenarnya aku sangat senang, juga kak Ayen tapi sangat aneh om Ari bersedia menginap disini dengan persiapan seperti bukan untuk menginap tapi menetap. Aku sedikit mengabaikan hal itu, saking senangnya karena seperti mimpi om Ari ingin menginap.

1 minggu sudah om Ari menginap dan sudah 1 minggu pula ayah dan ibu tidak kunjung pulang. Aku dan kak Ayen berkali - kali bertanya, “kapan ayah dan ibu balik kerumah?”  Dan om Ari selalu menjawab, ”2 hari lagi datangnya.” sampai - sampai kak Ayen menyerah menanyakan kepulangan ayah dan ibu. Setelah 2 minggu berlalu, untuk terakhir kalinya aku bertanya pada om Ari, “ayah dan ibu pulang kapan om?” dan jawaban om Ari berhasil memutus harapanku, “mereka tidak akan pulang dalam waktu dekat ini.” aku tidak dapat bertanya banyak dan aku akan tetap hidup bersama om Ari dan kak Ayen, jangan lupakan juga pagar (bambu) laut yang menjadi saksi hidup ku serta warga disini dan entah sampai memerlukan waktu berapa lama hingga para penjilat harta sadar betapa tersiksanya warga kecil seperti kami.