Cerpen Waryanta
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Aroma laut yang asin menusuk hidung Ayu. Gadis kecil berumur 12 tahun itu duduk di tepi pantai, memeluk erat sebuah botol kaca berisi air laut yang jernih. Di sekelilingnya, suara debur ombak yang biasa ia dengar setiap pagi kini tergantikan oleh dentuman keras mesin bor dan benturan besi.
"Laut itu semakin sempit, Ayu," ucap Pak Darmin, ayahnya, dengan mata berkaca-kaca.
Ayu melihat dari kejauhan, garis pantai yang dulu luas kini terpotong oleh deretan pagar beton yang menjulang tinggi. Pagar itu seperti monster raksasa yang menelan bumi, menghentikan laju ombak yang selama ini menjadi teman bermainnya.
"Kenapa mereka membangun pagar itu, Pak? Apa lautnya mau dijual?" tanya Ayu dengan suara gemetar.
Pak Darmin menghela napas. Ia mengelus kepala Ayu, matanya tertuju pada perahu kayu miliknya yang terdampar di pantai, terlupakan di tengah kesibukan pembangunan. "Katanya sih untuk reklamasi, Ayu. Tapi laut kita jadi terkurung."
Ayu hanya diam. Ia teringat kisah-kisah dari kakeknya tentang leluhurnya yang berjuang melawan gelombang pasang untuk menjaga garis pantai. Mangrove-mangrove yang dulu menghijau dan menjadi rumah bagi ikan-ikan, kini menghilang digantikan beton yang dingin dan keras.
Setiap hari, Ayu menyaksikan perubahan di kampungnya. Para nelayan semakin sulit mencari ikan karena akses ke laut mereka terhalang. Perahu-perahu kayu mereka teronggok di tepi pantai, seperti burung camar yang kehilangan sayap.
Ayu sering melihat ayahnya diam di tepi pantai, wajahnya muram menatap pagar beton. Ia tahu, hati Pak Darmin hancur melihat lautnya terkurung.
"Pak, kenapa Bapak ikut bekerja di proyek pagar itu?" tanya Ayu suatu sore, saat ia melihat ayahnya pulang dengan seragam kerja yang penuh debu.
Pak Darmin terdiam sejenak. "Bapak terpaksa, Ayu. Ibu sedang sakit. Obat-obatannya mahal. Bapak mau cari uang untuk ibu."
Ayu hanya bisa terdiam, melihat bayangan kesedihan di mata ayahnya. Ia tahu, hati Pak Darmin hancur melihat lautnya terkurung, tapi ia terpaksa melakukan pekerjaan yang merusak lingkungannya sendiri demi keluarganya.
Suatu malam, Ayu beranikan diri menyelinap ke lokasi proyek. Ia penasaran dengan apa yang ada di balik pagar beton itu. Saat ia mendekati pagar, ia mendengar suara berdebat. Ia mengintip dari balik sebuah drum.
"Ini proyek ilegal! Izinnya diurus dengan cara curang!" teriak seorang wanita, suaranya penuh amarah.
Ayu mengenali wanita itu. Bu Rina, seorang aktivis lingkungan yang selalu berjuang untuk menjaga kelestarian laut.
"Diam kau! Proyek ini demi kemajuan daerah! Negara butuh pembangunan!" bentak seorang pria berjas, dengan suara yang lantang.
Ayu semakin penasaran. Ia mengintip lebih jauh dan melihat sebuah tumpukan dokumen yang tersebar di lantai. Ia mengambil satu lembar dokumen dan membacanya. Dokumen itu berisi daftar pejabat desa yang terlibat dalam proyek ilegal ini, termasuk nama kepala desa yang selama ini berpura-pura membela para nelayan.
Ayu terkejut. Ia tak menyangka bahwa orang-orang yang seharusnya melindungi lautnya justru terlibat dalam proyek yang merusaknya. Ia merasakan amarah membara di hatinya.
Ayu berlari pulang dan menceritakan semuanya kepada teman-temannya. Mereka bertekad untuk melawan proyek ilegal ini, menghentikan kehancuran laut mereka.
Malam itu, mereka diam-diam menanam bibit mangrove di sepanjang garis pantai, berharap untuk mengembalikan keindahan laut mereka.
Namun, pagi harinya, mereka terkejut melihat bibit mangrove yang mereka tanam telah dicabut paksa oleh alat berat. Mereka sedih, tapi mereka tidak menyerah.
Ayu, bersama teman-temannya, terus berjuang untuk menjaga lautnya. Mereka menulis surat protes kepada pemerintah, mengadakan demonstrasi, dan menyebarkan informasi tentang kehancuran laut di media sosial.
Suatu hari, Ayu melihat di televisi berita tentang proyek pemagaran yang dihentikan. Pihak berwenang menangkap beberapa pejabat desa yang terlibat dalam korupsi.
Ayu bersukacita. Ia merasa perjuangan mereka tidak sia-sia. Namun, ia juga sedih melihat kerusakan yang sudah terjadi.
"Pagar itu sudah berdiri, Ayu," kata Pak Darmin lirih, matanya menatap kosong ke arah laut yang mulai terkikis abrasi.
Ayu mengelus tangan ayahnya. "Tapi laut kita masih hidup, Pak. Mangrove yang kita tanam akan tumbuh lagi. Kita bisa memulai lagi dari sini."
Pak Darmin terdiam. Ia merasakan pedih di hatinya. Perahu kayu miliknya teronggok di tepi pantai, terlupakan. Istrinya yang sakit juga semakin lemah karena sulit mendapatkan ikan segar.
"Pak," Ayu memanggil ayahnya lagi, suaranya sedikit bergetar. "Ayu menemukan telur penyu di tepi pantai tadi. Banyak sekali. Kita harus menjaganya agar bisa menetas."
Pak Darmin tersentak. Ia menatap Ayu dengan mata berkaca-kaca. Sejak proyek pemagaran dimulai, ia belum pernah melihat penyu bertelur di pantai itu lagi.
"Ya, Ayu. Kita harus menjaganya," kata Pak Darmin, suaranya sedikit gemetar. "Mereka adalah tanda bahwa laut kita masih hidup."
Pak Darmin teringat akan perkataan kakeknya, "Laut itu ibarat ibu yang mengandung kehidupan. Jika kita merusak laut, maka kehidupan kita juga akan hancur."
Pak Darmin bangkit dari duduknya. Ia meraih palu godam yang biasa ia gunakan untuk bekerja di proyek pemagaran. Matanya menatap pagar beton yang membentang luas.
"Pagar ini bukan hanya simbol ketamakan, tapi juga simbol harapan," gumam Pak Darmin. "Harapan untuk melindungi kehidupan laut yang masih tersisa."
Pak Darmin mengarahkan palu godamnya ke pagar beton. Ia akan merobohkan pagar itu, menghilangkan penghalang antara manusia dan laut. Ia akan mengembalikan kebebasan kepada laut, mengembalikan kehidupan kepada ikan-ikan, mengembalikan kehidupan kepada dirinya sendiri.
Ayu tersenyum. Ia melihat secercah harapan di mata ayahnya. Ia tahu, perjuangan mereka untuk menyelamatkan laut belum berakhir.
Hikmah:
Cerpen ini menampilkan perjuangan panjang Pak Darmin dan Ayu dalam menyelamatkan laut. Mereka mengalami banyak cobaan dan kesulitan. Namun, mereka terus berjuang dengan semangat dan keberanian. Mereka menemukan kebahagiaan dalam keberhasilan mereka menyelamatkan laut. Mereka menemukan ketenangan dalam keharmonisan antara manusia dan alam. Cerita ini memberikan inspirasi bahwa mencintai alam dan menjaga kelestariannya adalah kewajiban setiap manusia. Ini juga menunjukkan bahwa kekuatan cinta dan keberanian dapat mengalahkan keserakahan.