Angin malam berhembus pelan, membawa
aroma asin dari laut yang tak pernah habis menderu. Pagar Laut, begitulah
orang-orang menyebutnya. Sebuah kawasan di ujung utara desa kecil yang konon
dipercaya sebagai perbatasan antara dunia manusia dan dunia ghaib. Terletak di
antara dua bukit yang menjulang tinggi, kawasan ini terletak tepat di pesisir,
tempat di mana laut bertemu dengan langit yang tak berbatas. Jika kau berdiri
disana, dengan kaki telanjang menyentuh pasir yang basah, kau akan merasa
seperti bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Di sana tinggal seorang
lelaki tua bernama Pak Slamet. Sudah hampir tujuh puluh tahun ia hidup,
sebagian besar waktunya ia habiskan untuk menjaga Pagar Laut. Sebuah pekerjaan
yang tampaknya aneh, bahkan di mata penduduk desa, namun Pak Slamet tak pernah
memikirkan apa kata orang. Baginya, menjaga Pagar Laut adalah panggilan
hidupnya.
Setiap pagi, Pak Slamet akan
berjalan menuju tepi laut, membawa sebatang kayu panjang yang telah ia ukir
dengan tangan tuanya. Kayu itu adalah simbol dari Pagar Laut, yang dipercaya
mampu menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia gaib. Tak banyak yang
tahu bagaimana kayu itu bisa ditemukan di dasar laut, namun konon kabar yang
beredar di desanya, kayu tersebut hanyalah milik orang yang benar-benar
memiliki ikatan kuat dengan laut dan makhluk-makhluknya.
Suatu sore, saat langit mulai
berwarna oranye kekuningan, seorang pemuda bernama Dika datang ke desa itu.
Dika adalah seorang perantau yang baru saja kembali setelah bertahun-tahun
bekerja di kota besar. Ia mendengar cerita tentang Pagar Laut dari neneknya,
yang kini telah meninggal dunia. Neneknya selalu bercerita tentang seorang
lelaki tua yang menjaga perbatasan itu, namun Dika merasa cerita itu hanyalah
dongeng belaka. Rasa penasaran yang besar mendorongnya untuk pergi ke tempat
itu.
Sesampainya di desa, Dika langsung
menuju ke warung kopi tempat penduduk biasa berkumpul. Ia bertanya pada salah
seorang warga yang sedang duduk di sana.
“Pak, di mana saya bisa menemukan
Pagar Laut?” tanya Dika dengan nada penasaran. Warga itu menatapnya sebentar,
lalu tersenyum. “Pagar Laut? Maksud kamu Pak Slamet, bukan? Kalau kamu mau ke
sana, ikuti jalan menuju bukit itu. Tapi, kamu harus hati-hati, Nak. Pagar Laut
bukan tempat sembarangan. Banyak orang yang tak kembali setelah pergi ke sana.”
Dika hanya mengangguk, merasa
tertantang dengan peringatan tersebut. Baginya, ini hanya sebuah cerita, sebuah
mitos yang diwariskan turun-temurun. Ia mengucapkan terima kasih kepada warga
itu dan langsung beranjak menuju bukit.
Langit sudah mulai gelap saat Dika
sampai di kaki bukit. Di sana, di bawah pohon besar yang telah bertahun-tahun
berdiri, ia melihat seorang lelaki tua tengah duduk sambil memandang laut.
Lelaki itu mengenakan pakaian lusuh dengan rambut putih panjang yang terurai
bebas. Di sampingnya, sebuah kayu panjang tergeletak, dihiasi dengan
ukiran-ukiran yang sulit dipahami. Dika merasa takjub, meskipun dalam hatinya,
ia tetap skeptis terhadap cerita yang mengelilingi tempat ini.
“Selamat malam, Pak,” sapa Dika
hati-hati, mendekati lelaki tua itu.
Pak Slamet menoleh, matanya yang
keriput memandang Dika dengan penuh perhatian. “Ada apa, Nak? Apa kau datang
untuk melihat Pagar Laut?”
Dika terdiam sejenak, menilai
kata-kata itu dengan hati-hati. “Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang
tempat ini, Pak. Saya mendengar banyak cerita, tapi saya merasa itu hanya mitos
belaka.”
Pak Slamet tertawa pelan, suara tawa
itu terdengar seperti desiran ombak yang tak pernah berhenti. “Mitos, ya?
Mungkin bagimu itu hanya cerita kosong. Tapi bagiku, ini lebih dari sekedar
mitos. Ini tentang menjaga keseimbangan, Nak. Pagar Laut bukanlah sesuatu yang
bisa dipahami hanya dengan akal sehat. Ini tentang perasaan, tentang ikatan
yang tak terlihat.”
Dika semakin tertarik, meskipun ada
sedikit rasa ragu yang mengganggu pikirannya. “Apa maksud Bapak dengan ikatan
itu?”
Pak Slamet menatap laut yang
berkilau diterpa cahaya rembulan. “Laut ini punya cerita yang lebih tua
daripada dunia manusia. Ia punya cara sendiri untuk menjaga keseimbangan alam.
Aku hanya seorang penjaga yang mencoba melestarikan itu. Kau tahu, kadang-kadang,
saat malam tiba, kau bisa merasakan ada sesuatu yang mengamati kita. Sesuatu
yang lebih besar daripada kita.”
Dika mengerutkan dahi, merasa
bingung dengan penuturan Pak Slamet. “Jadi Bapak mengatakan bahwa laut ini...
punya kehidupan sendiri?”
Pak Slamet mengangguk. “Lebih dari
itu, Nak. Laut ini punya jiwa. Dan jika kita tak menjaga perbatasan antara
dunia kita dan dunia mereka, maka bencana akan datang. Itulah sebabnya aku
menjaga Pagar Laut. Pagar ini adalah simbol perbatasan itu.”
Malam semakin larut, dan angin laut
mulai bertiup kencang. Dika merasa tak nyaman dengan suasana yang semakin
mencekam. Namun, rasa penasaran lebih besar daripada ketakutannya.
“Bapak bisa menjelaskan lebih
lanjut? Apa yang harus saya lakukan untuk membantu menjaga Pagar Laut ini?”
tanya Dika, tanpa sadar ia sudah menyandang rasa tanggung jawab yang besar
dalam hati.
Pak Slamet terdiam sejenak, lalu
bangkit dari duduknya. “Hanya orang yang bisa merasakan ikatan dengan laut yang
akan tahu apa yang harus dilakukan. Kalau kau ingin ikut menjaga Pagar Laut,
kau harus belajar mendengarkan laut. Pagar Laut bukan sekadar kayu dan batu. Ia
membutuhkan hati yang terbuka.”
Dika mengangguk, merasa seolah ia
mendapatkan tantangan yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Malam itu,
ia tidur di rumah Pak Slamet. Sepanjang malam, suara ombak yang menghantam tepi
pantai terdengar seperti bisikan-bisikan halus yang membawa pesan-pesan
misterius.
Keesokan paginya, Pak Slamet
mengajak Dika berjalan menyusuri tepi pantai. Mereka berjalan diam-diam, hanya
terdengar langkah kaki mereka di pasir basah. Sesekali, Pak Slamet berhenti dan
menunjuk ke arah lautan yang tampak tenang. “Lihat itu, Nak,” katanya, “Ada
pergerakan di bawah permukaan laut. Itu bukan ombak biasa. Itu tanda bahwa laut
sedang berbicara.”
Dika menatap laut dengan penuh
perhatian. Tiba-tiba, ia merasakan getaran halus pada tanah yang ia injak.
Rasanya seperti ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan. Ia merinding,
seolah ada sesuatu yang mengamatinya. Pak Slamet tersenyum melihat reaksi Dika.
“Itu tanda pertama, Nak. Kau mulai merasakannya. Laut ini tidak pernah berhenti
berkomunikasi dengan kita. ”Dika merasa seperti berada di ujung pemahaman yang
baru. Ia mulai merasa bahwa apa yang selama ini dianggapnya hanya cerita
belaka, mungkin memang memiliki kebenaran yang lebih dalam. Laut, dengan segala
misteri dan kehidupannya, memang memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga
keseimbangan dunia ini.
Sejak saat itu, Dika mulai mengerti
apa yang dimaksud Pak Slamet. Ia menjadi bagian dari penjaga Pagar Laut,
mengikuti setiap jejak dan bisikan laut yang terkadang hanya bisa dipahami oleh
hati yang murni. Mungkin memang benar, bahwa dunia ini lebih luas dan lebih
rumit dari yang bisa dilihat oleh mata manusia. Dan di Pagar Laut, ia menemukan
tempat di mana ia bisa merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar
daripada dirinya sendiri.