Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Wildan - Pagar Laut

 



Angin malam berhembus pelan, membawa aroma asin dari laut yang tak pernah habis menderu. Pagar Laut, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah kawasan di ujung utara desa kecil yang konon dipercaya sebagai perbatasan antara dunia manusia dan dunia ghaib. Terletak di antara dua bukit yang menjulang tinggi, kawasan ini terletak tepat di pesisir, tempat di mana laut bertemu dengan langit yang tak berbatas. Jika kau berdiri disana, dengan kaki telanjang menyentuh pasir yang basah, kau akan merasa seperti bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Di sana tinggal seorang lelaki tua bernama Pak Slamet. Sudah hampir tujuh puluh tahun ia hidup, sebagian besar waktunya ia habiskan untuk menjaga Pagar Laut. Sebuah pekerjaan yang tampaknya aneh, bahkan di mata penduduk desa, namun Pak Slamet tak pernah memikirkan apa kata orang. Baginya, menjaga Pagar Laut adalah panggilan hidupnya.

 

Setiap pagi, Pak Slamet akan berjalan menuju tepi laut, membawa sebatang kayu panjang yang telah ia ukir dengan tangan tuanya. Kayu itu adalah simbol dari Pagar Laut, yang dipercaya mampu menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia gaib. Tak banyak yang tahu bagaimana kayu itu bisa ditemukan di dasar laut, namun konon kabar yang beredar di desanya, kayu tersebut hanyalah milik orang yang benar-benar memiliki ikatan kuat dengan laut dan makhluk-makhluknya.

 

Suatu sore, saat langit mulai berwarna oranye kekuningan, seorang pemuda bernama Dika datang ke desa itu. Dika adalah seorang perantau yang baru saja kembali setelah bertahun-tahun bekerja di kota besar. Ia mendengar cerita tentang Pagar Laut dari neneknya, yang kini telah meninggal dunia. Neneknya selalu bercerita tentang seorang lelaki tua yang menjaga perbatasan itu, namun Dika merasa cerita itu hanyalah dongeng belaka. Rasa penasaran yang besar mendorongnya untuk pergi ke tempat itu.

 

Sesampainya di desa, Dika langsung menuju ke warung kopi tempat penduduk biasa berkumpul. Ia bertanya pada salah seorang warga yang sedang duduk di sana.

 

“Pak, di mana saya bisa menemukan Pagar Laut?” tanya Dika dengan nada penasaran. Warga itu menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Pagar Laut? Maksud kamu Pak Slamet, bukan? Kalau kamu mau ke sana, ikuti jalan menuju bukit itu. Tapi, kamu harus hati-hati, Nak. Pagar Laut bukan tempat sembarangan. Banyak orang yang tak kembali setelah pergi ke sana.”

 

Dika hanya mengangguk, merasa tertantang dengan peringatan tersebut. Baginya, ini hanya sebuah cerita, sebuah mitos yang diwariskan turun-temurun. Ia mengucapkan terima kasih kepada warga itu dan langsung beranjak menuju bukit.

 

Langit sudah mulai gelap saat Dika sampai di kaki bukit. Di sana, di bawah pohon besar yang telah bertahun-tahun berdiri, ia melihat seorang lelaki tua tengah duduk sambil memandang laut. Lelaki itu mengenakan pakaian lusuh dengan rambut putih panjang yang terurai bebas. Di sampingnya, sebuah kayu panjang tergeletak, dihiasi dengan ukiran-ukiran yang sulit dipahami. Dika merasa takjub, meskipun dalam hatinya, ia tetap skeptis terhadap cerita yang mengelilingi tempat ini.

 

“Selamat malam, Pak,” sapa Dika hati-hati, mendekati lelaki tua itu.

 

Pak Slamet menoleh, matanya yang keriput memandang Dika dengan penuh perhatian. “Ada apa, Nak? Apa kau datang untuk melihat Pagar Laut?”

 

Dika terdiam sejenak, menilai kata-kata itu dengan hati-hati. “Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang tempat ini, Pak. Saya mendengar banyak cerita, tapi saya merasa itu hanya mitos belaka.”

 

Pak Slamet tertawa pelan, suara tawa itu terdengar seperti desiran ombak yang tak pernah berhenti. “Mitos, ya? Mungkin bagimu itu hanya cerita kosong. Tapi bagiku, ini lebih dari sekedar mitos. Ini tentang menjaga keseimbangan, Nak. Pagar Laut bukanlah sesuatu yang bisa dipahami hanya dengan akal sehat. Ini tentang perasaan, tentang ikatan yang tak terlihat.”

 

Dika semakin tertarik, meskipun ada sedikit rasa ragu yang mengganggu pikirannya. “Apa maksud Bapak dengan ikatan itu?”

 

Pak Slamet menatap laut yang berkilau diterpa cahaya rembulan. “Laut ini punya cerita yang lebih tua daripada dunia manusia. Ia punya cara sendiri untuk menjaga keseimbangan alam. Aku hanya seorang penjaga yang mencoba melestarikan itu. Kau tahu, kadang-kadang, saat malam tiba, kau bisa merasakan ada sesuatu yang mengamati kita. Sesuatu yang lebih besar daripada kita.”

 

Dika mengerutkan dahi, merasa bingung dengan penuturan Pak Slamet. “Jadi Bapak mengatakan bahwa laut ini... punya kehidupan sendiri?”

 

Pak Slamet mengangguk. “Lebih dari itu, Nak. Laut ini punya jiwa. Dan jika kita tak menjaga perbatasan antara dunia kita dan dunia mereka, maka bencana akan datang. Itulah sebabnya aku menjaga Pagar Laut. Pagar ini adalah simbol perbatasan itu.”

 

Malam semakin larut, dan angin laut mulai bertiup kencang. Dika merasa tak nyaman dengan suasana yang semakin mencekam. Namun, rasa penasaran lebih besar daripada ketakutannya.

 

“Bapak bisa menjelaskan lebih lanjut? Apa yang harus saya lakukan untuk membantu menjaga Pagar Laut ini?” tanya Dika, tanpa sadar ia sudah menyandang rasa tanggung jawab yang besar dalam hati.

 

Pak Slamet terdiam sejenak, lalu bangkit dari duduknya. “Hanya orang yang bisa merasakan ikatan dengan laut yang akan tahu apa yang harus dilakukan. Kalau kau ingin ikut menjaga Pagar Laut, kau harus belajar mendengarkan laut. Pagar Laut bukan sekadar kayu dan batu. Ia membutuhkan hati yang terbuka.”

 

Dika mengangguk, merasa seolah ia mendapatkan tantangan yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Malam itu, ia tidur di rumah Pak Slamet. Sepanjang malam, suara ombak yang menghantam tepi pantai terdengar seperti bisikan-bisikan halus yang membawa pesan-pesan misterius.

 

Keesokan paginya, Pak Slamet mengajak Dika berjalan menyusuri tepi pantai. Mereka berjalan diam-diam, hanya terdengar langkah kaki mereka di pasir basah. Sesekali, Pak Slamet berhenti dan menunjuk ke arah lautan yang tampak tenang. “Lihat itu, Nak,” katanya, “Ada pergerakan di bawah permukaan laut. Itu bukan ombak biasa. Itu tanda bahwa laut sedang berbicara.”

 

Dika menatap laut dengan penuh perhatian. Tiba-tiba, ia merasakan getaran halus pada tanah yang ia injak. Rasanya seperti ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan. Ia merinding, seolah ada sesuatu yang mengamatinya. Pak Slamet tersenyum melihat reaksi Dika. “Itu tanda pertama, Nak. Kau mulai merasakannya. Laut ini tidak pernah berhenti berkomunikasi dengan kita. ”Dika merasa seperti berada di ujung pemahaman yang baru. Ia mulai merasa bahwa apa yang selama ini dianggapnya hanya cerita belaka, mungkin memang memiliki kebenaran yang lebih dalam. Laut, dengan segala misteri dan kehidupannya, memang memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga keseimbangan dunia ini.

 

Sejak saat itu, Dika mulai mengerti apa yang dimaksud Pak Slamet. Ia menjadi bagian dari penjaga Pagar Laut, mengikuti setiap jejak dan bisikan laut yang terkadang hanya bisa dipahami oleh hati yang murni. Mungkin memang benar, bahwa dunia ini lebih luas dan lebih rumit dari yang bisa dilihat oleh mata manusia. Dan di Pagar Laut, ia menemukan tempat di mana ia bisa merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.