Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Winar Ramelan | Keresahan Nang Sura

Cerpen Winar Ramelan



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


"Laut ini sebenarnya untuk siapa, mengapa sekarang terasa sulit untuk menjangkaunya, sedangkan aku dilahirkan di pesisir sini oleh orang tua juga kakek buyut seorang nelayan dan aku melanjutkan tradisi melaut ini sebagai jalan hidup dan mencari sumber penghidupan?" Begitulah keluh Nang Sura berulang. 


Di senja ini  saat dilihatnya semburat jingga di ufuk barat di sela sela rimbun daun sawo di depan pondoknya, ia kembali termangu. Ia seakan kehilangan senjanya yang dulu. Jika dulu dengan mudahnya ia menjalani senja di tengah laut lepas sebelum menuju pantai untuk pulang ke pondoknya.


Waktu yang terus merambat ke petang, jingga pun berangsur pudar dan menjadi remang. Ia pun selalu menambatkan perahunya di tepian, lalu  pulang membawa hasil tangkapan dengan riang. 


Ketika itu setiap dari melaut hatinya selalu gembira, meski sepanjang hari badannya tersengat matahari yang terik, hingga kulitnya legam dan beraroma garam serta amis ikan. Ia pun sering membawa hasil laut yang beragam, entah ikan, udang, kepiting atau cumi. Lelahnya juga terasa pudar saat tergambar senyum anak istri karena limpahan rejeki yang ia bawa dari laut. 


Namun,  akhir akhir ini Nang Sura lebih sering termangu di bawah pohon sawo dengan tatapan kosong, memandang jauh, tapi bukan tentang masa depan. Ia memandang langit yang cerah di atas laut dekat pondoknya dengan perasaan yang berkecamuk. "cerah bagi langit, tak selalu cerah dengan pikirannya". 


"Akan seperti apa perjalanan hidup ini?", keluhnya sambil menghembuskan napas yang berat. Ia hampir tak bisa berpikir setelah jalannya mencari rejeki di laut terasa dipersulit. Ia kesulitan melaut karena diberlakukan peraturan yang terasa tidak masuk akal buat  para nelayan di sekitar kawasan sini oleh investor.


Pantai yang biasanya menjadi jalan untuk ia dan kawan kawannya melaut, tiba tiba terbentang rangkaian pelampung yang panjang. Jika sudah begitu, pertanda para nelayan tak boleh melintas apalagi  menerobos. Pelampung pelampung itu seperti pagar yang membatasi ruang gerak mereka. Jika mereka memaksa menerobos pasti akan mendapat sangsi bahkan bisa berurusan dengan hukum. Sedang pantai yang dibentangi pelampung adalah jalan satu satunya untuk menuju laut dan itu sudah dari jaman dahulu kala. 


Nang Sura merasa kesepian ketika tidak berkegiatan di laut, meski kadang ada kawannya sesama nelayan datang ke pondoknya untuk saling berkeluh kesah, meluahkan apa yang mereka rasa, sambil menyesap kopi yang akhir akhir ini kopi yang mereka sesap terasa lebih pahit dari biasanya. Tanpa hembusan asap rokok atau nyemil kudapan  ala kadarnya. Mereka hanya ngobrol ngalor ngidul dan berujung dengan keluh kesah. 


Jika dulu di waktu senggangnya tidak melaut karena laut sedang pasang atau sedang angin barat, ia masih bisa merawat sapi yang dilepas liarkan di lahan lahan kosong atau mencari daun gamal yang banyak tumbuh di tepi pantai untuk makan ternaknya. 


Tetapi semenjak investor menguasai tepi pantai dan mempersulit akses mereka untuk menuju laut. Jangankan melepasliarkan ternak, melintas untuk menuju laut saja terasa dibatasi. Ia bingung, kenapa daratan semakin melebar tapi ruang geraknya menyempit.


Tanpa diduga oleh mereka, tiba tiba ada rangkaian  pelampung  begitu panjang dan dibentangkan di sepanjang pantai. Di mata Nang Sura, pelampung pelampung itu seperti ular naga yang siap menerkam lalu menelannya. Naga itu pun seperti tak lelah, terus berjaga sepanjang waktu dan memata matainya. 


Yang kata investor, pelampung pelampung itu untuk keamanan kawasan, karena khawatir ada orang orang yang tak bertanggung jawab. Bisa penyusup atau penjahat yang menyembunyikan barang barang terlarang dlsb. 


"Memang sungguh aneh, bukankah semenjak jaman nenek moyang dulu kawasan di sini aman aman saja" gerundel mereka


... 


Nang Sura tiba tiba ingat masa kecilnya


"Bapak dulu setiap pulang dari melaut  dengan mudahnya  membawa ikan besar, udang yang montok, cumi,  kepiting, meski melaut hanya dengan jukung kecil" Sura kecil sangat senang jika  bapaknya pulang dengan membawa ikan Layur. Ikan pipih panjang dengan kulit keperakan. Ikan layur yang dagingnya  lembut dan gurih itu oleh ibunya digoreng dan dibuatkan sambal matah yang disiram dengan minyak kelapa panas. Karena ibunya tahu  Sura kecil sangat suka dengan ikan layur goreng. 


"Enak sekali ikan layurnya, bu" begitu yang selalu diucap Sura kecil  setiap melahap ikan dan sambal matah bikinan ibunya.


Tetapi kini, jangankan ikan besar, udang montok, untuk mendapatkan ikan lemuru saja sudah sulit. Bukan karena ikan di laut sudah habis. Atau laut marah hingga tak lagi menyediakan ikan di lambungnya yang besar itu untuk ditangkap para nelayan. Tetapi kesempatan melaut yang jarang didapat, karena tidak bisa setiap hari melaut. Juga biota laut itu memang mulai berkurang setelah adanya reklamasi beberapa tahun lalu. Mungkin para ikan juga tidak kerasan di sana, makanya mereka migrasi entah ke mana.     


Saat sekarang, sering jukungnya hanya diam dan mangkrak  di tepi pantai, tak ada ayun gelombang seperti bayi ditimang ibunya. Jukung jukung itu seperti patung saja, tak ada pergerakan. Hanya sesekali disentuh  riak kecil ketika ada ombak besar. Bahkan jukung kecil itu pun kadang diusir dan tak boleh tertambat di sana jika akan ada tamu dari pihak investor yang hendak melintas di sekitar situ. Jika sudah begitu Nang Sura dan kawan kawannya kebingungan, di mana harus menambatkan jukungnya. 


"Hidup kami rasanya benar benar terhimpit. Piara sapi tidak bisa, melaut pun susah, lantas kami sebagai nelayan, apa yang bisa kami lakukan. Mau bertani tapi tak punya lahan" keluh Nang Sura berulang ulang. 


Buat Nang Sura dan keluarganya serta orang orang Denpasar dan Bali pada umumnya, pesisir sini banyak menyimpan kenangan indah. Karena di kawasan ini terdapat kawasan suci, beberapa Pura  suci berdiri di sini. 


Biasanya setiap hari raya Kuningan umat hindu pasti berbondong bondong ke pura tsb, untuk sembahyang karena upacara piodalan berbarengan dengan Hari Raya Kuningan. Dan itu dari jaman nenek moyang dulu. 


Jika dulu, sebelum adanya reklamasi, untuk mencapai pura, Nang Sura dan keluarganya menaiki sampan, begitu pun dengan umat lain. Mereka sangat antusias meski acap kali ibu ibu dan remaja putri, kain jariknya selalu akan menjadi basah saat tiba di pura, karena ketika turun dari sampan dan menyeberangi laut, tangannya tak bisa menyelamatkan kain jariknya karena sibuk memegangi sesaji dan bunga di kepalanya. Tetapi mereka tetap riang gembira meski harus berbasah basah ria. 


Setelah sembahyang, mereka pun biasanya belanja be Klejat yaitu ikan laut kecil kecil yang digoreng kering yang rasanya gurih dan itu khas adanya hanya di kawasan pura tsb, serta tipat santok atau  ketupat tahu isi sayur terong bulat dan tauge ditabur kacang goreng serta diaduk dengan bumbu kacang. Gurih dan sedap rasanya. Atau rumput laut yang diurap dengan kelapa bakar lalu disiram kuah pindang dengan bumbu terasi, garam dan cabe serta sedikit parutan lengkuas, tak lupa perasan jeruk  limau yang menggugah selera. "hemmm, sedap pokoknya"


Menaiki sampan dan belanja makanan seolah menjadi tradisi yang harus dilaksanakan oleh bocah bocah pesisir yang polos saat hari raya Kuningan. Begitu pun dengan Sura kecil waktu itu. 


Kenangan indah itu sering menari mari di ingatan Nang Sura. Ia benar benar rindu masa masa itu. Tetapi perkembangan jaman  terasa mengubah segalanya. Begitu pun dengan kawasan ini yang dulu terasa hening dan sejuk, kini seakan berubah total. Hawanya menjadi terasa panas dan berdebu serta riuh karena sering didatangkan alat berat untuk membangun gedung dan jalan di kawasan sini. 


Jika dulu, ketika malam sering ia saksikan kunang kunang di gerumbul gamal gamal atau pandan, atau kelepak kelelawar yang entah di pohon mana. Kini kunang kunang itu seakan raib tanpa bekas,  entah ke mana perginya mereka,  mungkin mereka punah seiring peradaban ini. 


Suara kelepak Kelelawar atau suara Tangoret, kadang berganti dengan suara motor yang menderu, pertanda sedang ada balapan liar di jembatan penghubung itu


Keheningan pulau ini rasanya benar benar hilang. Ia benar benar rindu masa lalu. Tetapi apa daya, katanya kita harus mengikuti perkembangan jaman meski harus kehilangan kenyamanan karena kesemenakan. 


Denpasar. Pebruari 2025