Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Windi Apriyani Isabela - Saat Laut Tak Lagi Bebas


Sebelum ada pagar, laut terasa seperti rumah. Setiap pagi, Boris, Elias, Emil, dan Igor berlari dari rumah mereka menuju Pantai,membiarkan kaki mereka tenggelam dalam pasir hangat. Ombak menyambut mereka dengan buih putih yang pecah di tepian, mengundang mereka bermain, berkejaran dengan air asin yang selalu kembali.

Tapi kini, laut terasa jauh.

Boris berdiri di atas pasir, menatap laut yang dulu begitu dekat, kini terhalang oleh tembok beton setinggi dua meter. Angin laut masih berembus, tapi suaranya teredam di balik dinding yang membisu. 

"Dulu kita bisa langsung lari ke laut dari sini," gumam Elias, berdiri di sebelahnya. 

"Dulu kita bisa melihat ombak tanpa harus memanjat," tambah Emil. 

"Tapi sekarang kita hanya mendengar tanpa bisa melihat," Igor, yang paling kecil, menempelkan telapak tangannya ke permukaan kasar pagar. 

Mereka anak-anak laut,  lahir dari keluarga nelayan, tumbuh dengan pasir di kaki dan garam di rambut. Mereka tahu kapan angin membawa ikan, kapan ombak bersahabat, dan kapan laut sedang marah. Tapi kini, seolah ada batas yang memisahkan mereka dari laut, seolah laut bukan lagi bagian dari hidup mereka. Orang-orang desa awalnya tidak memahami apa yang sedang terjadi. Pemerintah datang membawa janji: "Pagar ini untuk melindungi desa dari abrasi, untuk masa depan yang lebih baik." Mereka membawa peta, angka, dan pidato panjang yang sulit dimengerti oleh orang-orang tua yang hanya tahu cara membaca laut. 

Tapi ketika pagar mulai berdiri, barulah mereka mengerti. 

Boris pertama kali menyadari perubahan itu dari ayahnya. Dulu, setiap pagi, ayahnya bisa langsung mendorong perahu ke laut. Tapi sekarang, nelayan harus berjalan lebih jauh ke celah sempit yang disediakan. Tidak cukup untuk semua perahu, tidak cukup untuk semua nelayan. 

"Kita ini seperti tamu di tanah sendiri," keluh ayahnya suatu malam. 

Boris melihat tangan ayahnya yang mulai sering kosong, tidak membawa ikan sebanyak dulu. Ibunya pun semakin sering termenung di dapur, memikirkan cara agar penghasilan yang makin sedikit cukup untuk makan mereka.

Di rumah Elias, keadaan serupa terjadi, Ayahnya mulai berbicara tentang pekerjaan di kota, sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Emil melihat pamannya menjual perahu karena sudah tak bisa melaut sesering dulu. Di seluruh desa, perubahan terasa dan keempat anak itu merasakannya lebih dari siapa pun, mereka tidak hanya kehilangan laut tetapi juga kehilangan dunia mereka. 

Suatu sore, mereka memutuskan untuk mencari tahu apa yang ada di balik pagar. Jika pagar ini benar-benar untuk perlindungan, mengapa mereka merasa seperti dipenjara? Mereka menyusuri tembok beton itu, mencari celah, mencari sesuatu yang bisa mereka pahami. Hingga akhirnya, di ujung desa, mereka menemukannya—sebuah lubang kecil, mungkin belum selesai dicor.Satu per satu, mereka merangkak masuk apa yang mereka lihat membuat mereka membeku.Tanah yang dulu penuh pohon kelapa kini rata dengan tanah. Tempat perahu bersandar kini dipenuhi alat berat. Sebuah papan besar berdiri tegak yang bertulisakan “Kawasan Wisata Bahari Untuk Mada Depan yang Lebih Baik”.   

Emil membaca tulisan itu keras-keras, seolah ingin memastikannya bukan mimpi buruk. 

"Masa depan yang lebih baik untuk siapa?" bisik Elias. 

Igor menarik napas, matanya mulai berkaca-kaca. "Laut ini dulu milik kita…" 

Boris mengepalkan tangan. Ia mengerti sekarang. Ini bukan tentang melindungi desa. Ini tentang mengambilnya. Kita harus melakukan sesuatu pikir anak-anak itu. Malam itu, mereka duduk melingkar di halaman rumah Boris, berbisik-bisik. 

"Kita tidak bisa diam saja," kata Elias. 

"Tapi kita anak-anak," kata Emil. "Siapa yang akan mendengar kita?" 

 "Kita bisa berbicara lewat cara lain," Boris tersenyum kecil. "Kita bisa membuat mereka melihat." 

Esok paginya, mereka mengambil arang dari dapur rumah masing-masing. Dengan hati berdebar, mereka berlari ke arah pagar laut. Dengan tangan gemetar, mereka mulai menulis. 

"Laut Adalah Hidup." 

"Tanah Ini Milik Kami." 

"Bukan Untuk Dijual." 

 

Satu per satu kata-kata itu memenuhi tembok beton yang dulu kosong. Mereka menulis dengan hati-hati, seakan menuangkan seluruh perasaan mereka ke dalam kata-kata.Ketika matahari mulai naik, orang-orang desa melihat tulisan itu dan sesuatu yang tak  terduga pun terjadi.  Orang-orang mulai berkumpul. Mereka membaca kata-kata itu. Mereka merasakannya. Seseorang mulai menangis. Seorang nelayan tua berdiri lama di depan pagar, lalu menyentuh tulisan itu dengan jemarinya yang kasar dan tanpa mereka duga, seseorang mengambil kuas dan mulai menambahkan warna disana.  

Hari itu, pagar laut yang dulu membisu berubah menjadi sesuatu yang lain. Ia menjadi suara. Ia menjadi perlawanan.Berita itu menyebar lebih cepat dari yang mereka duga. Wartawan datang, mengambil gambar pagar penuh coretan. Pemerintah mencoba membersihkannya, tapi keesokan harinya tulisan itu muncul lagi. Para nelayan mulai berbicara, bukan hanya di desa mereka, tapi di desa-desa lain. Mereka berbagi cerita, tentang bagaimana tanah mereka diambil, bagaimana laut mereka dijual atas nama pembangunan. 

Suatu malam, Boris dan teman-temannya mendengar suara mesin di kejauhan. Mereka mengintip dari balik rumah, melihat truk-truk besar dan orang-orang berseragam datang. Mereka datang untuk menghapus tulisan di pagar.Tapi keesokan harinya, pagar itu kembali penuh warna bukan hanya dari coretan mereka, tapi dari seluruh desa dan perlawanan kecil mereka telah menjadi gelombang. 

Keesokan harinya, orang-orang desa berkumpul di depan pagar. Mereka berdiri diam-diam, menghadang alat berat yang datang untuk meratakan sisa-sisa tanah mereka.

“Kami tidak akan pergi!” teriak para nelayan dengan nyaring.

Petugas proyek mencoba membujuk mereka.

“Ini demi Pembangunan. Akan ada lapangan pekerjaan, turis akan datang, kalian akan Sejahtera”

“Sejahtera bagaimana kalua kami tak bisa melaut?” balas seseorang.

Kemudia seorang pria berpakaian dinas maju ke depan. “Kalau kalian tetap bertahan, kami akan menindak secara hukum.”

Tak ada yang bergerak.

Lantas seseorang melangkah ke depan. Seorang nenek, rambutnya yang sudah memutih, kulitnya keriput oleh garam dan matahari. Dengan suara bergetar, ia berkata “Tanah ini adalah rumah kami. Laut ini adalah hidup kami. Kami di sini sebelum kalian datang, dan kami akan tetap di sini setelah kalian pergi.”

Tepuk tangan dan sorak kemenangan terdengar dari orang-orang desa itu tidak terkecuali keempat anak-anak itu. Boris tersenyum, mereka mungkin anak-anak, tapi mereka telah memulai sesuatu yang leboh besar dari yang mereka bayangkan.

Hari itu, Boris berdiri di tepi pantai, melihat ombak yang masih datang dan pergi, tak peduli ada pagar atau tidak. 

"Laut tetap ada di sana," kata Elias, berdiri di sampingnya. 

"Dan kita akan selalu menemukannya," tambah Emil. 

"Laut ini bukan milik mereka," kata Igor, tersenyum. "Laut ini milik kita." 

Mereka mungkin tidak tahu bagaimana cerita ini akan berakhir. Tapi mereka tahu satu hal bahwa laut tidak bisa dipagar dan selama mereka masih ada, mereka akan memastikan itu tetap benar.