Sebelum ada
pagar, laut terasa seperti rumah. Setiap pagi, Boris, Elias, Emil, dan Igor
berlari dari rumah mereka menuju Pantai,membiarkan kaki mereka tenggelam dalam
pasir hangat. Ombak menyambut mereka dengan buih putih yang pecah di tepian,
mengundang mereka bermain, berkejaran dengan air asin yang selalu kembali.
Tapi kini, laut
terasa jauh.
Boris berdiri
di atas pasir, menatap laut yang dulu begitu dekat, kini terhalang oleh tembok
beton setinggi dua meter. Angin laut masih berembus, tapi suaranya teredam di
balik dinding yang membisu.
"Dulu kita
bisa langsung lari ke laut dari sini," gumam Elias, berdiri di
sebelahnya.
"Dulu kita
bisa melihat ombak tanpa harus memanjat," tambah Emil.
"Tapi
sekarang kita hanya mendengar tanpa bisa melihat," Igor, yang paling
kecil, menempelkan telapak tangannya ke permukaan kasar pagar.
Mereka
anak-anak laut, lahir dari keluarga
nelayan, tumbuh dengan pasir di kaki dan garam di rambut. Mereka tahu kapan
angin membawa ikan, kapan ombak bersahabat, dan kapan laut sedang marah. Tapi
kini, seolah ada batas yang memisahkan mereka dari laut, seolah laut bukan lagi
bagian dari hidup mereka. Orang-orang desa awalnya tidak memahami apa yang
sedang terjadi. Pemerintah datang membawa janji: "Pagar ini untuk
melindungi desa dari abrasi, untuk masa depan yang lebih baik." Mereka
membawa peta, angka, dan pidato panjang yang sulit dimengerti oleh orang-orang
tua yang hanya tahu cara membaca laut.
Tapi ketika
pagar mulai berdiri, barulah mereka mengerti.
Boris pertama
kali menyadari perubahan itu dari ayahnya. Dulu, setiap pagi, ayahnya bisa
langsung mendorong perahu ke laut. Tapi sekarang, nelayan harus berjalan lebih
jauh ke celah sempit yang disediakan. Tidak cukup untuk semua perahu, tidak
cukup untuk semua nelayan.
"Kita ini
seperti tamu di tanah sendiri," keluh ayahnya suatu malam.
Boris melihat
tangan ayahnya yang mulai sering kosong, tidak membawa ikan sebanyak dulu.
Ibunya pun semakin sering termenung di dapur, memikirkan cara agar penghasilan
yang makin sedikit cukup untuk makan mereka.
Di rumah Elias,
keadaan serupa terjadi, Ayahnya mulai berbicara tentang pekerjaan di kota,
sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Emil melihat pamannya menjual
perahu karena sudah tak bisa melaut sesering dulu. Di seluruh desa, perubahan
terasa dan keempat anak itu merasakannya lebih dari siapa pun, mereka tidak
hanya kehilangan laut tetapi juga kehilangan dunia mereka.
Suatu sore,
mereka memutuskan untuk mencari tahu apa yang ada di balik pagar. Jika pagar
ini benar-benar untuk perlindungan, mengapa mereka merasa seperti dipenjara?
Mereka menyusuri tembok beton itu, mencari celah, mencari sesuatu yang bisa
mereka pahami. Hingga akhirnya, di ujung desa, mereka menemukannya—sebuah
lubang kecil, mungkin belum selesai dicor.Satu per satu, mereka merangkak masuk
apa yang mereka lihat membuat mereka membeku.Tanah yang dulu penuh pohon kelapa
kini rata dengan tanah. Tempat perahu bersandar kini dipenuhi alat berat.
Sebuah papan besar berdiri tegak yang bertulisakan “Kawasan Wisata Bahari Untuk Mada Depan yang Lebih Baik”.
Emil membaca
tulisan itu keras-keras, seolah ingin memastikannya bukan mimpi buruk.
"Masa
depan yang lebih baik untuk siapa?" bisik Elias.
Igor menarik
napas, matanya mulai berkaca-kaca. "Laut ini dulu milik kita…"
Boris
mengepalkan tangan. Ia mengerti sekarang. Ini bukan tentang melindungi desa.
Ini tentang mengambilnya. Kita harus melakukan sesuatu pikir anak-anak itu.
Malam itu, mereka duduk melingkar di halaman rumah Boris, berbisik-bisik.
"Kita
tidak bisa diam saja," kata Elias.
"Tapi kita
anak-anak," kata Emil. "Siapa yang akan mendengar kita?"
"Kita bisa berbicara lewat cara
lain," Boris tersenyum kecil. "Kita bisa membuat mereka
melihat."
Esok paginya,
mereka mengambil arang dari dapur rumah masing-masing. Dengan hati berdebar,
mereka berlari ke arah pagar laut. Dengan tangan gemetar, mereka mulai
menulis.
"Laut Adalah Hidup."
"Tanah Ini Milik Kami."
"Bukan Untuk Dijual."
Satu per satu
kata-kata itu memenuhi tembok beton yang dulu kosong. Mereka menulis dengan
hati-hati, seakan menuangkan seluruh perasaan mereka ke dalam kata-kata.Ketika
matahari mulai naik, orang-orang desa melihat tulisan itu dan sesuatu yang tak terduga pun terjadi. Orang-orang mulai berkumpul. Mereka membaca
kata-kata itu. Mereka merasakannya. Seseorang mulai menangis. Seorang nelayan
tua berdiri lama di depan pagar, lalu menyentuh tulisan itu dengan jemarinya
yang kasar dan tanpa mereka duga, seseorang mengambil kuas dan mulai
menambahkan warna disana.
Hari itu, pagar
laut yang dulu membisu berubah menjadi sesuatu yang lain. Ia menjadi suara. Ia
menjadi perlawanan.Berita itu menyebar lebih cepat dari yang mereka duga.
Wartawan datang, mengambil gambar pagar penuh coretan. Pemerintah mencoba
membersihkannya, tapi keesokan harinya tulisan itu muncul lagi. Para nelayan
mulai berbicara, bukan hanya di desa mereka, tapi di desa-desa lain. Mereka
berbagi cerita, tentang bagaimana tanah mereka diambil, bagaimana laut mereka
dijual atas nama pembangunan.
Suatu malam,
Boris dan teman-temannya mendengar suara mesin di kejauhan. Mereka mengintip
dari balik rumah, melihat truk-truk besar dan orang-orang berseragam datang.
Mereka datang untuk menghapus tulisan di pagar.Tapi keesokan harinya, pagar itu
kembali penuh warna bukan hanya dari coretan mereka, tapi dari seluruh desa dan
perlawanan kecil mereka telah menjadi gelombang.
Keesokan
harinya, orang-orang desa berkumpul di depan pagar. Mereka berdiri diam-diam,
menghadang alat berat yang datang untuk meratakan sisa-sisa tanah mereka.
“Kami tidak
akan pergi!” teriak para nelayan dengan nyaring.
Petugas proyek
mencoba membujuk mereka.
“Ini demi
Pembangunan. Akan ada lapangan pekerjaan, turis akan datang, kalian akan
Sejahtera”
“Sejahtera
bagaimana kalua kami tak bisa melaut?” balas seseorang.
Kemudia seorang
pria berpakaian dinas maju ke depan. “Kalau kalian tetap bertahan, kami akan
menindak secara hukum.”
Tak ada yang
bergerak.
Lantas
seseorang melangkah ke depan. Seorang nenek, rambutnya yang sudah memutih,
kulitnya keriput oleh garam dan matahari. Dengan suara bergetar, ia berkata
“Tanah ini adalah rumah kami. Laut ini adalah hidup kami. Kami di sini sebelum
kalian datang, dan kami akan tetap di sini setelah kalian pergi.”
Tepuk tangan
dan sorak kemenangan terdengar dari orang-orang desa itu tidak terkecuali
keempat anak-anak itu. Boris tersenyum, mereka mungkin anak-anak, tapi mereka
telah memulai sesuatu yang leboh besar dari yang mereka bayangkan.
Hari itu, Boris
berdiri di tepi pantai, melihat ombak yang masih datang dan pergi, tak peduli
ada pagar atau tidak.
"Laut
tetap ada di sana," kata Elias, berdiri di sampingnya.
"Dan kita
akan selalu menemukannya," tambah Emil.
"Laut ini
bukan milik mereka," kata Igor, tersenyum. "Laut ini milik
kita."
Mereka mungkin
tidak tahu bagaimana cerita ini akan berakhir. Tapi mereka tahu satu hal bahwa
laut tidak bisa dipagar dan selama mereka masih ada, mereka akan memastikan itu
tetap benar.