Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Yeni Fadilah | Misi Dr. Stefon dan Harta Karun Laut Indonesia

 

    Osean, seorang Mahasiswi ilmu kelautan dari Universitas Southampton, Inggris, duduk di taman kampus dengan wajah kusut. Laptopnya terbuka, menampilkan gambar-gambar lautan. Buku-buku tebal dan kertas catatan berserakan di sekitarnya, mencerminkan wajahnya yang frustasi.

“Dr. Stefon selalu saja memberikan tugas yang aneh-aneh!” gerutu Osean, mengusap pelipisnya yang berdenyut. “Masa iya, disuruh mencari ‘sesuatu yang berharga’ dari negara maritim? Apa maksudnya?

Tiba-tiba, seorang pria tinggi dengan rambut pirang dan mata biru duduk di sebelahnya. “Hai, Osean. Tampaknya hari ini berat sekali?” sapanya ramah.

Osean menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptop. “Ronald? Ya, begitulah. Dr. Stefon memberiku tugas yang bikin pusing.”

“Tugas apa kali ini?” tanya Ronald, menyesap kopi dari paper cupnya

“Dia menyuruhku pergi ke negara maritim dan membawakan ‘sesuatu yang berharga’. Itu ambigu sekali. Apa dia mau mutiara langka? Atau mungkin sekantong garam laut?” Osean menghela nafas. “Aku bingung.”

Ronald tertawa kecil. “Mungkin garam laut Indonesia? Siapa tau rasanya istimewa.”

“Garam ya tetap garam, rasanya ya asin. Ini bukan hal baru, Ronald. Beberapa bulan lalu, dia menyuruhku mencari benda bersejarah di laut. Aku menyelam ke Selat Solent dan membawakannya kayu kapal Mary Rose. Tapi apa?  Hanya nilai B yang kudapat.” Osean menghela nafas lagi, kekecewaan terpancar jelas di wajahnya.

“Wow, Mary Rose! Itu luar biasa!” Ronald kagum.

“Tapi hanya B! Sekarang apa lagi yang harus aku temukan? Kamu punya saran negara maritim yang menyimpan sesuatu yang berharga?”

“Kenapa tidak ke Indonesia, negara asalmu?” saran Ronald. “Mungkin ada sesuatu yang berharga di sana,” ia tau betul bahwa kedua orang tua Osean berasal dari Indonesia, walaupun mereka tinggal di Inggris.

“Indonesia? Aku tidak yakin. Ku dengar banyak konflik, pendidikannya juga belum maju. Aku takut.”

Ronald menyesap kopinya lagi. “Sesuatu yang tampak buruk, mungkin menyimpan hal yang berharga. Seperti kerang yang menghasilkan mutiara.”

Osean terdiam, merenungkan kata-kata Ronald. Keesokan harinya, Osean sudah dalam pesawat menuju Indonesia. Tujuannya adalah sebuah desa nelayan di Maluku. Setibanya di sana, Osean terkejut. Tidak ada hotel. Dia berdiri di tepi pantai, kebingungan.

“Hallo, Osean. Apa kamu sudah sampai Indonesia?” tanya seseorang di seberang telepon.

“Hallo, Ronald. Aku baru saja sampai,” jawab Osean sambil mengelap keringat di pelipisnya.

“Bagaimana laut di sana?” tanya Ronald.

“Kau tau, laut yang aku liat benar-benar sangat menakjubkan. Pantainya sangat alami dan bersih, pasir putih dan air laut yang tenang membuatku ingin tinggal di sini,” kata Osean.

“Itu bagus. Aku jadi ingin ke sana dan melihatnya. Tapi, aku hanya ingin mengingatkan bahwa perjalananmu ke sana bukan untuk liburan, tapi untuk membawakan Dr. Stefon sekantong garam laut yang istimewa atau sesuatu hal berharga lainnya.”

Ronald benar. Sejauh ini, ia belum tau apa yang akan ia bawa untuk memenuhi tugas dari Dr. Stefon. ‘Sesuatu yang berharga’ itu membuatnya harus berpikir keras. Kali ini, Osean benar-benar  ingin memberikan hasil tugas yang bagus. Tapi, waktunya terbatas. Mungkin, kalau ia tidak menemukan sesuatu hal yang berharga itu, ia akan benar-benar membawakan Dr. Stefon sekantong garam laut saja.

“Kau benar. Aku harus segera menemukannya. Kita bicara lagi nanti, bye!”

“Baiklah. Jaga dirimu baik-baik, Osean. Jangan nekad masuk kedalam laut hanya untuk mencari mutiara. Bawakan saja Dr. Stefon sekantong garam atau seekor bulu babi yang mudah di dapat.” 

Setelah menutup telepon, mata Osean menatap para nelayan yang sedang berlayar mengarungi lautan. Perhatiannya kemudian teralihkan kepada seorang anak kecil yang menenteng ember. Ia hanya memakai celana selutut, kulitnya cokelat kehitaman, badannya kurus, dan rambutnya sedikit keriting. Anak itu mendorong sampannya sendiri menuju laut.

Lalu, anak itu tampak mengangkat benda berbentuk kerucut yang terbuat dari bambu. Itu adalah bubu, alat penangkap ikan tradisional. Namun, bubu itu tidak berisi ikan, melainkan beberapa ekor udang. Udang-udang yang ia dapatkan kemudian dimasukkan ke dalam ember kosong. Lalu, ia menaruh bubu itu ke laut lagi dan berlayar menuju lokasi lainnya. Tampak ia mengangkat bubu lagi. Kali ini, ia mendapatkan lebih banyak udang. Setelah selesai, ia membawa perahunya ke darat dan menambatkannya di tiang supaya tidak hanyut. Osean takjub dengan kegigihan dan kerja keras anak itu. Lalu, ia bergegas berlari kecil menghampirinya.

 “Hai,” sapa Osean.

Anak itu mendongak menatap Osean yang lebih tinggi darinya. “Hai, Kak. Ada apa?” 

“Aku lihat kau menangkap udang sendiri? Kamu tidak takut berlayar di laut? Di mana orang tuamu?” tanya Osean.

“Aku sudah terbiasa melakukannya sendiri. Lagipula, aku hanya menangkap udang di perairan dekat pantai. Kalau orang tua, aku sudah tidak punya orang tua,” jawab anak itu sambil mengambil beberapa udang yang berserakan di sampannya.

Osean terkejut. “Lalu, kamu tinggal bersama siapa?” 

“Aku tinggal bersama bibi. Kakak  sedang liburan di sini, ya?”

“Ah. Tidak. Aku ke sini untuk tugas kuliah. Siapa namamu?” 

“Oh. Kakak mahasiswa. Namaku, Alwy.” Alwy menatap koper yang dibawa Osean. “Ngomong-ngomong, untuk apa kakak membawa koper ke pantai?”

“Namaku Osean. Sebenarnya, aku belum menemukan tempat penginapan.”

“Di sini desa nelayan, Kak. Tidak ada penginapan atau hotel. Tapi, kalau kak Osean mau, ada rumah kosong yang disewakan warga.”

Itu kabar baik. Setidaknya ia bisa menemukan tempat tinggal. Setelah menyetujui saran yang diberikan Alwy, Osean memilih untuk menyewa dan menginap di rumah yang ditunjukkan oleh Alwy.

Setiap hari, Osean rajin pergi ke pantai untuk mencari sesuatu yang berharga yang mungkin bisa digunakan untuk tugasnya. Namun, ia tak kunjung menemukannya. Setiap hari, setelah matahari berada tepat di atas kepala, ia hanya melihat Alwy yang sedang menangkap udang, sesekali mengumpulkan kerang dan kadang membawa seember rumput laut. Anak itu benar-benar rajin dan pekerja keras. Osean sempat mengambil beberapa foto Alwy yang sedang mengumpulkan kerang. Alwy bahkan memberinya beberapa kerang yang sangat cantik.

Empat hari berlalu, Osean menatap laut dengan perasaan gusar. Pagar-pagar laut dari bambu dengan pemberat berupa karung berisi pasir telah terpasang memanjang di sepanjang laut selatan Maluku itu. Para nelayan di sana tidak bisa lagi menangkap ikan. Perahu-perahu mereka tidak bisa berlayar seperti biasanya. Akhirnya, para nelayan sepakat untuk pergi ke kantor kecamatan dan melakukan demonstrasi, memprotes pemasangan pagar-pagar laut yang menghalangi mata pencaharian mereka. Yang mengejutkan Osean adalah Alwy, anak itu ikut berdemo. Padahal ia masih bisa menangkap udang di perairan dangkal, mengumpulkan kerang atau rumput laut seperti biasa. Pagar laut itu tidak menghalangi mata pencaharian Alwy.

Berhari-hari para nelayan itu terus melakukan demonstrasi. Alwy, anak itu masih setia ikut berdemo bersama para nelayan.

 “Alwy tunggu!” panggil Osean ketika Alwy hendak berangkat demonstrasi bersama warga lainnya.

“Kak Osean? Ada apa, Kak?” tanya Alwy. 

“Kenapa kamu harus ikut berdemo? Kamu masih bisa menangkap udang dan mengumpulkan kerang di dangkalan laut,” ujar Osean, hatinya merasa kasihan melihat anak itu.

“Ini bukan tentang aku saja. Aku peduli pada semua warga nelayan di sini. Mereka sudah seperti keluargaku. Mereka menangkap ikan secukupnya dan tidak merusak ekosistem. Mereka merawat laut, mengumpulkan sampah yang dibawa turis-turis agar tidak mencemari lingkungan, dan menanam pohon mangrove untuk menjaga lingkungan pesisir pantai. Tapi sekarang, ada pagar laut ilegal yang merusak terumbu karang dan mangrove, menghalangi para nelayan untuk mencari ikan. Aku tidak terima. Apalagi kalau pagar laut itu untuk kepentingan pribadi saja!”

Osean terdiam, hatinya tersentuh oleh kata-kata Alwy. Dia tidak menyangka anak itu memiliki kepedulian sebesar ini. Air mata menetes di pipinya. “Kenapa kamu begitu peduli dan ingin membantu orang lain?” 

Alwy menunduk. “ Bibiku bilang, kita ini seperti teko. Untuk terus diisi air, air lama harus dikeluarkan. Sama seperti manusia, kebaikan harus terus dialirkan ke orang lain. Supaya kita terus mendapat kebaikan yang baru. Orang yang hanya menyimpan kebaikan untuk diri sendiri seperti teko yang menahan air. Tidak pernah dikelurakan, lama-lama bisa rusak sendiri. Termasuk orang-orang yang memasang pagar laut ilegal ini, mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri. Mereka menahan kebaikan untuk diri mereka sendiri dan tidak memperdulikan orang lain.”

Angin berhembus perlahan. Membawa daun-daun kering terbang ke angkasa. Osean baru saja mendapatkan sesuatu yang berharga. Ia ada dalam diri Alwy serta semua warga di sana yang selalu berbuat baik. Ia kemudian memeluk Alwy. Osean telah menemukan harta karun laut Indonesia.

Perjalanan Osean dipenuhi dengan refleksi. Dia terus memikirkan kata-kata Alwy dan kebaikan hatinya. Beberapa hari setelah para nelayan dan Alwy berhasil membuat pemerintah mencopot pagar laut itu, Osean pulang ke Inggris dan menghadap Dr. Stefon dengan seekor kerang pemberian Alwy.

“Kau pergi jauh ke Indonesia, dan membawakanku seekor kerang?” tanya Dr. Stefon.

“Ya, hanya itu yang ku dapat.”

“Bagaimana jika aku hanya akan memberimu nilai C untuk kerang ini?”

“Nilai C atau A tidak jadi masalah. Yang terpenting, aku mendapat pelajaran berharga yang tak bisa dinilai dengan angka di kertas. Aku mengerti  bahwa nilai sejati bukan hanya tentang angka. Dan sesuatu yang berharga bukanlah benda, tapi kebaikan yang ada dalam hati.”

Dr. Stefon tersenyum. “Akhirnya kamu sudah menemukan sesuatu yang benar-benar berharga.”

-Tamat-

Biodata Penulis:

1735466501313.jpg