Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Yesrun Eka Setyobudi | Surat dari Laut yang Terkurung

Cerpen Yesrun Eka Setyobudi




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Desa Pantai Biru dulu adalah surga kecil di tepian samudra. Lautnya jernih, membentang sejauh mata memandang, menyatu dengan langit biru yang kadang dihiasi burung camar melintas rendah. Sejak dahulu, penduduk desa hidup berdampingan dengan laut, menggantungkan nasib mereka pada ombak yang datang dan pergi. Para nelayan berlayar setiap pagi, pulang menjelang siang dengan perahu penuh hasil tangkapan. Anak- anak tumbuh dengan kaki berlumur pasir, belajar membaca ombak sebelum mereka bisa mengeja kata. Laut bukan sekadar sumber kehidupan, tapi juga bagian dari jiwa mereka.


Namun, keadaan berubah ketika pemerintah, bekerja sama dengan perusahaan swasta, membangun pagar beton tinggi yang membentang di sepanjang garis pantai. Pagar itu diklaim sebagai solusi untuk mencegah abrasi, melindungi desa dari ancaman gelombang pasang, dan mendukung proyek reklamasi untuk pembangunan resort wisata mewah. Tetapi bagi penduduk desa, pagar itu lebih terasa seperti tembok penjara. Mereka tidak bisa lagi bebas mendekati laut, tidak bisa lagi turun melaut seperti dulu. Pagar itu berdiri sebagai batas yang merenggut ruang hidup mereka.


Bagi Ilham, seorang remaja 17 tahun, pagar itu adalah lambang kehilangan. Sejak kecil, laut adalah tempat di mana ia dan ayahnya, Pak Rasyid, berbagi cerita. Ia masih ingat hari-hari ketika ayahnya mengajarinya cara membaca arah angin, memahami kapan waktu terbaik untuk melaut, dan mengenali bintang-bintang sebagai penunjuk jalan. Namun, sejak pagar itu berdiri, ayahnya berhenti melaut. Kapal-kapal kayu dibiarkan membusuk di tepian, jaring-jaring ikan hanya tergantung kering di sudut rumah, dan Pak Rasyid lebih sering duduk termenung di beranda, memandang laut yang kini terhalang dinding.


Ilham sering berjalan menyusuri tepi pantai yang tersisa, tempat di mana ombak masih bisa mencapai daratan meski dengan ruang yang semakin sempit. Di sanalah, suatu hari, ia menemukan sebuah botol kaca terbawa arus ke tepi pantai. Di dalamnya ada gulungan kertas yang tampak lusuh, basah di beberapa bagian, tapi masih bisa dibaca. Dengan hati-hati, Ilham membuka dan membacanya.

 

"Tidak bisakah kalian mendengarkan suara laut yang menangis? Ia tidak marah, hanya bertanya… Mengapa kalian mengurungnya? Mengapa kalian membatasi ia yang tak pernah mengenal batas?"

Ilham tertegun. Siapa yang menulis ini? Kenapa surat ini ada di dalam botol dan hanyut ke pantai? Apakah ada orang lain yang merasakan kesedihan yang sama seperti dirinya? Sejak saat itu, Ilham mulai sering menemukan botol-botol serupa, seolah laut sendiri yang mengirim pesan padanya. Ia membaca setiap surat dengan hati berdebar, seakan sedang berbicara dengan seseorang yang memahami kegelisahannya.


Surat-surat itu bukan sekadar kata-kata, melainkan curahan hati tentang kehilangan, kemarahan, dan rindu pada laut yang dulu memberi kehidupan. Ilham semakin yakin bahwa ia harus menemukan siapa yang menulisnya. Dan lebih dari itu, ia harus menemukan cara agar laut tidak terus terkurung dalam sunyi.


Sejak pagar laut berdiri, kehidupan di Desa Pantai Biru berubah drastis. Para nelayan yang dulu pergi melaut setiap pagi kini hanya bisa memandang hamparan beton tinggi yang menghalangi mereka dari samudra. Tidak ada lagi perahu yang berangkat subuh, tidak ada lagi suara riuh nelayan yang menarik jaring di sore hari. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan deru ombak yang terpantul dingin di dinding beton.


Dampaknya begitu nyata. Hasil tangkapan berkurang drastis. Dengan akses ke laut yang terbatas, banyak nelayan terpaksa menjual perahu mereka, atau lebih parahnya, membiarkan kapal-kapal itu membusuk di tepi pantai. Beberapa mencoba melaut dari desa lain, tapi perjalanan menjadi lebih jauh dan lebih berisiko. Ekosistem pesisir pun mulai rusak terumbu karang yang dulu menjadi rumah bagi ikan-ikan kini tertutup endapan pasir akibat proyek reklamasi. Udang, kepiting, dan ikan-ikan kecil yang dulu bisa dengan mudah ditemukan di dekat pantai kini menghilang.


Sebagian warga memilih menyerah dan beradaptasi. Mereka beralih profesi menjadi buruh di proyek pembangunan resort. Setiap hari, mereka bekerja menggali, mencampur semen, dan membangun gedung-gedung yang mereka tahu suatu hari nanti akan menggusur rumah mereka sendiri. Beberapa lainnya memilih meninggalkan desa, mencari kehidupan yang lebih pasti di kota. Desa yang dulu ramai dengan suara anak-anak bermain di pantai, kini semakin sepi.

 

Di tengah semua itu, Ilham merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia masih memikirkan surat-surat yang ia temukan dalam botol. Kata-kata di dalamnya terlalu dalam, terlalu nyata, seolah ditulis oleh seseorang yang benar-benar merasakan kehilangan yang sama dengannya. Tapi siapa? Dan bagaimana surat itu bisa sampai ke pantai, terbawa arus melewati pagar laut yang mengurung desa mereka?


Setiap kali ia bertanya pada ayahnya, Pak Rasyid hanya menggeleng pelan. "Jangan terlalu dipikirkan, Ilham," katanya dengan suara lelah. "Kita tidak bisa melawan tembok yang sudah berdiri."


Itulah yang membuat Ilham semakin gelisah. Ayahnya, seorang nelayan tangguh yang dulu tidak pernah takut menghadapi badai, kini memilih diam dan menerima keadaan. Ilham tidak bisa mengerti bagaimana ayahnya bisa begitu pasrah. Baginya, pagar itu adalah lambang ketidakadilan. Bukan hanya membatasi akses mereka ke laut, tetapi juga merampas kebebasan dan masa depan mereka.


Setiap malam, Ilham berdiri di dekat pagar, mendengar suara ombak yang terhalang dinding beton. Dalam hati, ia merasa laut sedang memanggilnya. Ia tidak tahu bagaimana, tapi ia yakin ada sesuatu di balik pagar ini yang harus ia temukan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar surat dalam botol. Sesuatu yang bisa mengungkap kebenaran tentang siapa yang mengirim pesan itu dan mengapa.


Ilham tidak bisa tinggal diam. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia lihat sendiri, sesuatu yang tidak akan ia temukan hanya dengan berdiri di balik pagar dan membaca surat- surat dalam botol. Maka, suatu malam, saat sebagian besar warga sudah tertidur, ia mengambil senter kecil dan berjalan menuju pagar laut.


Sejak awal, ia tahu bahwa pagar itu tidak sempurna. Seberapa kuat pun manusia mencoba membangun batas, selalu ada celah yang bisa ditembus. Setelah beberapa kali mengamati, Ilham menemukan sebuah lubang kecil di bagian pagar yang tidak terpasang sempurna. Ia harus merunduk dan sedikit merangkak, tetapi akhirnya ia berhasil keluar ke sisi lain.

 

Begitu ia berdiri tegak, pemandangan di hadapannya membuatnya tertegun. Laut membentang luas di depan matanya, tanpa penghalang, seperti yang selalu ia bayangkan. Namun, kegembiraannya segera sirna saat ia menoleh ke sisi lain.


Di kejauhan, lampu-lampu proyek bersinar terang, menerangi deretan alat berat yang berdiri seperti monster di tepi pantai. Tanah yang dulu hijau kini berubah menjadi hamparan pasir dan beton. Suara mesin menderu, menciptakan irama yang jauh berbeda dari deburan ombak yang biasa ia dengar di desanya. Tidak ada lagi pantai yang bebas, tidak ada lagi tempat bagi nelayan untuk menepi.


Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Ilham menegang, siap untuk lari, tetapi suara seorang gadis menghentikannya.

"Kau bukan dari sini, kan?"


Ilham menoleh dan melihat seorang gadis berdiri di bawah bayangan pohon kelapa yang tersisa. Rambutnya tergerai berantakan, wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya menyala penuh kemarahan dan kesedihan yang dalam.


"Kau yang menulis surat-surat itu?" tanya Ilham tanpa berpikir.


Gadis itu mengangkat botol kosong di tangannya. "Kau menemukannya?"


Ilham mengangguk. "Aku membaca semuanya. Siapa kau? Dan kenapa kau menulis surat-surat itu?"


Gadis itu mendekat, lalu menatap pagar laut yang menjulang tinggi di kejauhan. "Namaku Tasya. Aku dari desa sebelah desa yang sudah tidak ada lagi sekarang."


Ilham menelan ludah. "Apa maksudmu?"


Tasya menarik napas panjang sebelum menjawab. "Dulu, desa kami seperti desamu. Nelayan, anak-anak bermain di pantai, perahu berlabuh setiap pagi. Tapi lalu mereka datang. Mereka bilang tanah kami bukan milik kami. Mereka bilang kami harus pindah karena proyek ini. Dan begitulah, dalam beberapa bulan, semuanya rata dengan tanah. Rumah kami dihancurkan, pantai kami diuruk pasir, laut kami diambil dari kami."

 

Ilham mendengar nada getir dalam suaranya. "Ayahku berhenti melaut," lanjut Tasya. "Seperti ayahmu, mungkin. Mereka bilang ini demi kemajuan, tapi bagi kami ini kemunduran. Kami kehilangan segalanya."


Ilham mengepalkan tangan. "Tapi… kenapa kau menulis surat dalam botol? Kenapa tidak bicara langsung pada orang-orang?"


Tasya tersenyum pahit. "Apa gunanya bicara jika tidak ada yang mendengar? Orang- orang di kota hanya melihat angka, bukan manusia. Mereka melihat proyek, bukan rumah kami. Mereka melihat keuntungan, bukan kehidupan yang direnggut. Jadi aku menulis untuk laut, untuk siapa pun yang masih peduli."


Kata-kata itu menghantam Ilham seperti gelombang pasang. Selama ini, ia hanya merasa marah dan bingung, tetapi ia tidak pernah benar-benar memahami seberapa besar luka yang ditinggalkan pagar laut itu.


Sebelum ia bisa berkata lebih banyak, suara langkah kaki berat terdengar di belakang mereka.


"Heh! Siapa kalian?"


Dua pria berbaju seragam satpam proyek mendekat dengan wajah curiga. Ilham dan Tasya langsung menoleh, tubuh mereka menegang.


"Anak mana ini? Nggak boleh ada orang di sini!" seru salah satu satpam sambil mendekat.


Ilham mundur selangkah, tapi satpam yang lebih besar langsung meraih kerah bajunya. "Mau ngapain di sini, hah?"


"Aku Cuma aku cuma ingin melihat laut!" Ilham berusaha melepaskan diri.


Satpam itu mendengus. "Laut bukan untukmu! Laut sudah dibeli, tahu? Kalian nggak boleh sembarangan ke sini!"


Ilham meronta, tetapi cengkeraman pria itu kuat. Tasya maju selangkah. "Lepaskan

dia!"

 

Satpam lain tertawa sinis. "Kamu juga harus pergi, anak kecil! Kalau ketahuan bos, kalian bisa celaka!"


Pria yang memegang Ilham mengangkat tinjunya, siap menghantam, tetapi Tasya berteriak, "Lepaskan dia, atau aku akan berteriak lebih keras! Aku akan buat semua orang tahu!"


Sejenak, ketegangan menggantung di udara. Satpam itu menatap Tasya dengan kesal, lalu mendorong Ilham hingga jatuh ke pasir.


"Kalian berdua pergi sekarang! Jangan pernah kembali!"


Ilham merasakan pasir dingin di telapak tangannya saat ia mencoba bangkit. Tasya menarik tangannya, mengisyaratkan agar mereka pergi sebelum keadaan bertambah buruk. Dengan napas memburu, mereka berlari menuju celah pagar, meninggalkan proyek yang merampas kehidupan mereka.


Namun, di dalam hati Ilham, sesuatu telah berubah. Ia tidak bisa lagi hanya menjadi penonton. Ia tahu sekarang bahwa pagar laut bukan hanya sekadar tembok fisik, tetapi simbol dari ketidakadilan yang lebih besar. Dan ia harus melakukan sesuatu.


Ilham dan Tasya tahu bahwa melawan ketidakadilan bukan perkara mudah. Namun, mereka juga tahu bahwa diam berarti menerima keadaan. Maka, mereka mulai bergerak.


Malam itu, di rumah Ilham yang kecil dan sederhana, mereka duduk di lantai dengan tumpukan kertas di depan mereka. Ilham menulis, Tasya berbicara, dan Pak Rasyid duduk di sudut ruangan, memperhatikan mereka dengan wajah yang sulit dibaca.


“Kita harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi,” kata Tasya sambil menggenggam bolpoinnya erat-erat. “Kalau kita hanya diam, mereka akan terus merampas laut kita.”


Ilham mengangguk. "Kita kumpulkan cerita dari warga desa. Tentang bagaimana pagar laut ini menghancurkan hidup mereka. Tentang bagaimana mereka dipaksa berubah tanpa pilihan."

 

Mereka mulai mendatangi rumah-rumah warga. Awalnya, tidak semua orang mau berbicara. Banyak yang takut, banyak yang merasa percuma. Namun, ketika mereka mendengar kisah Tasya tentang keluarganya yang kehilangan rumah, tentang desanya yang lenyap dalam hitungan bulan perlahan-lahan mereka mulai membuka diri.


Pak Burhan, nelayan tua yang dulu menangkap ikan bersama Pak Rasyid, menghela napas panjang sebelum bercerita.“Sejak pagar itu berdiri, ikan semakin sulit didapat. Air menjadi lebih kotor, ekosistemnya rusak. Aku mencoba bertahan, tapi akhirnya aku menyerah dan menjual perahuku.”


Bu Siti, yang dulu menjual hasil laut di pasar, mengusap matanya yang basah. “Orang-orang bilang ini demi kemajuan, tapi di mana letak kemajuannya kalau kita malah kehilangan cara hidup kita?”


Ilham dan Tasya mencatat semuanya. Mereka menulis kisah demi kisah, lalu mengirimkannya ke media dan organisasi lingkungan. Mereka tahu risiko yang mereka ambil, tetapi mereka juga tahu bahwa ini satu-satunya cara agar suara mereka didengar.


Pak Rasyid, yang sejak awal hanya menjadi penonton, mulai tergerak. Ia melihat keberanian Ilham, dan hatinya tersentuh. Suatu malam, saat Ilham sedang menulis di ruang tamu, ayahnya duduk di sampingnya dan berkata, “Kau benar, Nak. Kita tidak bisa hanya pasrah. Laut adalah rumah kita. Kalau kita tidak berjuang, siapa lagi?”


Bersama warga lainnya, mereka mulai menggalang dukungan. Foto-foto proyek reklamasi, cerita para nelayan, dan surat-surat yang mereka tulis mulai menyebar. Media akhirnya melirik kasus ini. Aktivis lingkungan mulai datang ke desa, membawa perhatian yang lebih besar. Tekanan terhadap proyek semakin meningkat.


Pada suatu pagi yang mendung, seorang wartawan datang ke desa, mewawancarai Ilham dan warga lainnya. Artikel tentang "Pagar Laut yang Mengurung Hidup Warga Pesisir" muncul di berbagai media, memancing perhatian banyak orang.


Tasya tersenyum kecil saat membaca artikel itu. "Akhirnya, orang-orang mulai mendengar."

 

Pagar laut masih berdiri. Beton-beton itu masih menjadi penghalang antara desa dan laut. Tapi ada sesuatu yang berubah. Warga desa tidak lagi pasrah. Mereka tahu bahwa mereka punya suara, dan suara itu harus terus diperjuangkan.


Ilham dan Tasya masih menulis surat dan memasukkannya ke dalam botol. Namun, kali ini, surat-surat itu bukan hanya berisi kesedihan dan kemarahan. Kini, mereka menulis tentang harapan. Tentang perjuangan mereka, tentang laut yang mereka cintai, tentang dunia yang mereka impikan.


Mereka tidak tahu siapa yang akan menemukan surat-surat itu. Tapi mereka percaya, suatu hari nanti, akan ada seseorang di luar sana yang akan membaca dan memahami pesan mereka.


Laut memang terkurung oleh pagar, tetapi tidak dengan semangat mereka.