Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Yoga A Pratama | Tutorial Menjadi Pengecut II

Cerpen Yoga A Pratama 



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Saat kubuka pintu dan masuk ke rumah, sudah ada istriku dan seorang wartawan yang duduk lesehan di ruang tamu. Barusan istriku menelepon agar aku segera pulang usai solat maghrib di Al-Husna karena ada wartawan yang—meminjam istilah si wartawan—“pengen ngobrol-ngobrol.”


Si wartawan bertubuh agak gemuk, rambut lurus tapi sedikit beruban, mungkin berusia 30-an awal. Ia mengaku sedang menjalankan penugasan dari Majalah Mingguan Perspektif. Nama yang baru aku dengar.


Sambil tetap ditemani istriku untuk mengobrol dengan si wartawan, kusapa sang tamu dengan hangat, lalu kutanya namanya.


“Saya Putra, Pak,” kata si wartawan. Lalu ia bertanya balik: “Betul ini dengan Bapak Endang, ya?” 


“Oh iya, Mas Putra—ya betul, saya Endang. Silakan diminum teh hangatnya,” ujarku sambil menyuguhkan apa yang istriku sudah sajikan. Lalu kutanya apa keperluannya ke sini.


“Jadi begini, Pak,” kata Putra. “Seperti yang sudah viral di media sosial terkait pagar laut, kami mendapat informasi kalau Bapak menjadi semacam kurir yang bolak-balik mengantarkan surat-surat, yang di mana surat-surat tersebut ternyata palsu, dari Kepala Desa ke Kantor Pertanahan, dan Bapak mendapatkan komisi sekira 0,01%, atau sekitar Rp100.000 untuk setiap sertifikat SHM dan SHGB yang terbit. Kami ingin konfirmasi, benarkah demikian, Pak?”


Aku terkejut bukan main. Istriku juga terkaget. “Wah, ini Mas Putra dapat informasi dari mana, Mas?” tanyaku spontan.


“Sayangnya, untuk disiplin pemberitaan, kami tidak bisa sebut siapa nama orang yang membisikkan informasi ini ke kami, Pak,” ujar si wartawan.


Waduh, repot! Aku tetap memaksa si wartawan untuk membocorkan siapa pembisiknya, meski dengan bahasa yang halus, supaya ia terayu. Namun si wartawan tetap teguh pada pendiriannya. Aku pun bersikeras menjawab bahwa aku bukanlah orang yang dimaksud dalam pertanyaannya.


Namun, lama-lama, si wartawan menawarkan sebuah ide. Ia bilang, aku bisa bicara terus terang mengenai persoalan ini, tetapi ia berjanji tidak akan memberitakannya. Ia menyebut istilah wawancara off the record. Ia mungkin tahu dari bahasa tubuhku bahwa aku tidak terus terang padanya. Akhirnya aku mengiyakan, dan membeberkan semuanya.


“Jadi begini, Mas Putra, saya ini memang orang dekatnya Pak Kades. Bisa dibilang saya ini orang kepercayaan beliau. Beliau itu orang baik. Nah, memang sekitar Agustus atau September tahun lalu—saya lupa tepatnya kapan—Pak Kades meminta bantuan saya. Beliau bilang, ‘Tolong titip antarkan ini ke Pak Mas’ud di Kantor Pertanahan. Pokoknya kalau nanti sertifikatnya terbit, kamu dapat komisi’. Ya, Mas Putra, gimana ya, namanya  saya orang susah, sehari-hari cuma jual ikan keliling, saya dapat komisi berapa pun, ya saya sikat, Mas,” tuturnya.


“Benar tidak, salah satu surat di dalam amplop yang Bapak bawa itu ada surat kuasa pengurusan permohonan sertifikat dari warga?” tanya si wartawan.


“Wah, kalau soal itu saya tidak tahu, Mas Putra. Saya bukan staf desa. Saya hanya terima amplop coklat besar disegel dari Pak Kades, isinya surat-surat. Saya enggak tahu isinya apa. Yang penting saya serahkan amplop itu ke Pak Mas’ud di Kantor Pertanahan, tunggu sertifikat terbit, saya dapat komisi. Sesederhana itu kalau saya,” jelasku.


Si wartawan menggelontorkan beberapa pertanyaan lain, tetapi kali ini suasananya lebih mirip mengobrol di pos ronda alih-alih wawancara dengan media massa. Ngalor-ngidul kita sampai lewat waktu isya, sampai akhirnya aku mengajukan pertanyaan balik sebelum si wartawan menyudahi wawancara dan berpamitan. “Mas Putra, kenapa ngejar saya? Saya cuma kurir, cuma dapat recehan, Mas.”


“Saya harus temui semua pihak yang diduga terlibat, Pak. Kalau Bapak punya informasi mengenai para perangkat desa yang diduga terlibat juga, bisa bisik-bisik ke saya,” kata si wartawan.


“Saya no comment, Mas,” ujarku.


***


Usai si wartawan minggat, aku langsung menoleh ke istriku. Pecah juga air matanya. Mungkin ia sudah menahannya sedari tadi. Atau ia sempat meneteskan air mata saat mengobrol dengan si wartawan tadi? Ah, aku tidak terlalu memperhatikan.


Wajah istriku memerah, dan aku mengerti, karena aku pun merasakan hal yang sama. Pertanyaan si wartawan tadi membuat darah dalam tubuhku bergolak. Ini berefek pada bahasa tubuh yang kikuk dan canggung, dan perasaan malu sekaligus kaget. 


Setelah dicecar oleh si wartawan, kini giliran istriku yang melontarkan pertanyaan. Pertanyaannya hanya satu, tetapi sungguh menghujam tajam ke dada. “Gak rela aku kalau selama ini kita makan uang haram. Kenapa selama ini enggak bilang?” tanyanya. 


Aku sempat terdiam beberapa saat, tetapi akhirnya aku jawab juga. Alasannya kurang lebih sama dengan apa yang kujelaskan kepada si wartawan. Akan tetapi, tentu jawaban ini tidak memuaskan bagi istriku. Lagi pula, aku yakin ia pun tak mengharapkan jawaban atas pertanyaannya. Ia pasti hanya ingin menumpahkan kekesalannya kepadaku, dan aku paham.


Istriku langsung masuk ke dalam kamar. Malam-malam begini biasanya televisi dinyalakan, kecuali malam ini. Jadinya, malam ini sepi, dan suara keheningan kian lama kian mendengung, cukup memekakan hati yang resah.


Malam ini aku akan tidur di emperan tikar saja di ruang tamu. Biar istriku tidur di kamar. Lampu kumatikan, tengah malam dan dini hari sudah lewat, tetapi mata ini tak kunjung terpejam. Hanya satu hal yang berkecamuk dalam kepala: 


Mungkin iya yang aku peroleh ini uang haram. Barangkali tak masalah kalau uang itu kutelan sendiri, tetapi bodohnya aku memberi makan anak-istri pakai uang itu. Dosaku berlipat ganda. Aku adalah suami dan ayah yang gagal. Di rumah ini kita tinggal sekeluarga, tetapi saat ini aku merasa seakan-akan sedang sendiri dengan dosa-dosaku yang memalukan.


***


Sekarang jam empat subuh, dan aku sedang berada di Stasiun Batu Ceper. Rencanaku adalah, dengan segala beban dosa—dan terutama rasa malu kepada anak-istri—yang aku tanggung di atas pundak ini, aku akan mematung berdiri di atas rel ketika kereta lewat.


Aku sudah tanya satpam stasiun tadi, dan katanya kereta pemberangkatan pertama dari Batu Ceper ke Jakarta ada di jam 05.33. Rupanya, masih lama. Aku sengaja berangkat gelap-gelap begini supaya tidak banyak orang melihat gerak-gerikku di sekitar rel. Jangan ada yang sampai mencegah rencanaku ini.


Akhirnya aku menjauhi stasiun, dan menyusuri semak belukar di pinggiran rel. Begitu aku rasa aku sudah jauh dari pandangan orang-orang, aku mencari lubang untuk menyelinap ke area rel. Jarak dari stasiun sekitar 200-300 meter. Nanti begitu kereta meluncur dari stasiun, aku tinggal berdiri di atas rel, dalam gelap, tanpa ada yang mencegahku.


Detik demi detik, menit demi menit berlalu, dan aku akhirnya sukses menyelinap ke area rel tanpa ada orang yang melihat. Waktu menunjukkan pukul 05.25, dan itu berarti delapan menit lagi kereta akan berangkat. Pokoknya, aku akan mematung berdiri di rel pada jam 05.32. Satu menit kemudian, aku akan berada di kehidupan yang lain.


Seiring waktu berjalan, jantungku kian berdegup kencang. Namun—ah!—tiba-tiba aku berubah pikiran. Mengapa aku pengecut sekali? Masa hanya karena makan uang haram sekitar 0,01% saja aku harus berdiri di rel ketika kereta lewat gelap-gelap begini? Mati konyol hanya gara-gara pagar laut? Yang benar saja?


Ah, bukankah hidup akan lebih menyenangkan kalau aku petantang-petenteng di sekitar tetangga, dan membiarkan mereka mencemooh, mendamprat, atau bahkan menghantamku dengan bogem mentah karena aku makan uang haram? Dan aku tidak akan membalas perlakuan mereka kepadaku, dan aku hanya akan tertawa penuh penerimaan sambil menundukan kepala menatap tanah—menarik bukan?


Bukankah lebih indah juga kalau aparat penegak hukum, misalnya Kejaksaan Tinggi atau bahkan KPK, mencidukku karena mengendus aliran uang haram ke dompetku? Bukankah menyenangkan mendengarkan teriakan kebencian dari para wartawan ketika aku dipertunjukkan dengan tangan terborgol dan mengenakan rompi pink atau oranye saat konferensi pers?


Kalaupun petugas KPK mendatangi rumahku dan menangkapku, sepertinya aku akan berpasrah diri. Dan ini bukan karena aku taat hukum, melainkan karena kebobrokan hidupku jadi tervalidasi secara hukum, dan aku akan dengan senang hati menertawai kekalahanku sendiri.


Akhirnya aku menyelinap keluar dari area rel. Sekarang sudah pukul 05.38, kereta sudah lama lewat. Aku masih hidup, dan masih bisa tertawa—lebih tepatnya menertawai diri sendiri. Lalu aku pulang.


Istriku menyambutku pulang sembari ia mempersiapkan segala kebutuhan sekolah anakku. Ia bertanya, “Bapak dari mana?”


Aku jawab, “Bikinkan kopi dulu. Nanti aku cerita kalau anakmu sudah berangkat sekolah.”