Cerpen Yohana L. A. Suyati
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
“Mak, aku mau pindah. Boleh ya?” ucapku perlahan-lahan. Aku menatap wajah wanita paruh baya di hadapanku. Semilir angin memainkan ujung-ujung anak rambut di kening wanita yang mulai terlihat keriputnya itu. Wanita itu tak bersuara. Ia hanya terdengar menarik napas berat.
Angin terus berhembus. Dengan genit ia menyentuh dedaunan menciptakan gemeresik merdu nyanyian alam. Sesekali kicau burung terdengar di kejauhan menambah kemerduan suara alam ini.
“Sebenarnya, apa yang mau kamu cari dengan pindah itu? Berkali-kali selalu kamu tanyakan pertanyaan yang paling mamak benci itu,” sahut wanita itu. Kini, wanita itu menatap kosong langit yang membiru.
“Aku bosan di sini, Mak. Cobalah mamak lihat, dari aku kecil hingga sekarang, bertahun-tahun hidup kita, saudara-saudara kita, hanya begini-begini saja, tak ada perubahan, tak ada kemajuan. Aku yakin dengan merantau, aku bisa membawa kita dan keluarga kita ke keadaan yang lebih baik daripada sekarang ini,” ujarku. Aku berulang kali menyampaikan argumen itu untuk menguatkan mamak yang selama ini selalu membantah dengan alasan yang sama pula.
“Kamu masih terlalu muda, Nak! Kalau terlalu awal kamu pergi, kamu hanya akan menjadi pribadi yang rapuh, mudah patah, dan akhirnya sia-sia tak berguna. Waktumu belum tiba. Kamu masih memerlukan tanah di kampungmu ini. Tanah di kampungmu inilah yang akan menempamu dan menyiapkan pondasi dalam dirimu untuk siap menghadapi masa depanmu. Kelak, tempaan tanah di kampungmu ini akan menjadikanmu sosok yang matang dan dewasa untuk menopang dirimu sendiri dan keluarga besarmu,” ujar mamak.
Aku hanya menunduk sembari melihat serangga-serangga yang melintas di depanku. Mamak tetaplah mamak yang tak mudah tergoyahkan. Meskipun angin bertiup kencang, mamak selalu berdiri tegak menghadapi angin dan mamak tak pernah kalah.
“Kamu lihat kan Topa, Mamat, Dwi, Udin, Sapar, Topik, dan saudara-saudaramu yang lain, yang telah duluan pergi dari kampung kita ini?” tanya mamak sambil menatapku. Tatapan itu lembut, tapi menusuk. “Mereka pergi dan tak pernah kembali ke kampung ini. Kamu tahu mengapa?”
Aku hanya terdiam.
“Kita dan siapa pun di antara kita yang pergi dari tanah ini, tak akan pernah kembali ke tanah ini, tak akan pernah bisa kembali. Itulah perjanjian tanah ini, perjanjian yang ada sejak leluhur kita berada di tanah ini,” jelas mamak. “Kamu juga harus tahu perjanjian itu. Itu sebabnya mamak belum mengizinkan kamu pergi dari tanah ini sekarang karena waktumu belum tiba. Kalau sudah sampai waktumu, kamu memang harus pergi tanpa pernah bisa kembali. Dan, di saat itu terjadi, kamu sudah harus siap berpisah dengan tanah kelahiranmu ini, berpisah dengan saudara-saudaramu, berpisah dengan mamakmu ini karena kamu tak akan pernah bisa kembali ke sini selama-lamanya. Ingat, selama-lamanya.”
Kicau burung tak terdengar lagi. Matahari semakin meninggi. Angin yang tadi berhembus sejuk kini terasa mulai memanas.
***
“Meskipun tumbuh banyak dan liar di hutan, tapi mengambil bambu-bambu ini tidak boleh sembarangan, ada perhitungannya supaya bambu yang kita ambil kuat, awet, tahan lama,” kata laki-laki itu sambil tetap menebaskan parangnya ke bagian bawah bambu yang berada di depannya.
“Bagaimana perhitungannya?” tanya seorang lelaki yang lebih muda. Ia sedang mengunjungi pamannya di kampung ketika pamannya itu mendapat pekerjaan pengadaan bambu untuk sebuah proyek. Lalu, pamannya mengajaknya ikut memanen bambu untuk proyek itu.
“Bambu harus diambil di atas jam dua belas siang. Pada saat tengah hari, kadar air dan kadar gula dalam bambu sudah berkurang karena sinar matahari sehingga bambu akan lebih kuat dan tahan lama. Kadar air dan kadar gula dalam bambu itu mengakibatkan bambu mudah diserang hama bambu. Bambu juga harus diambil di atas tanggal 15,” lanjutnya.
“Kok gitu, Paman?” tanya laki-laki muda itu.
“Setiap tanggal 13 sampai 15, bulan sedang penuh alias bulan purnama. Pada saat itu, air laut sedang tinggi sehingga air tanah pun naik. Nah, akar serabut bambu sangat mudah menyerap air sehingga kadar air dan kadar gula pada bambu meningkat,” jawabnya.
Lelaki muda yang mendengarkan penjelasannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tak paham dunia bambu. Ia hanya tahu pamannya yang sedari kecil menggeluti perbambuan pastilah sangat paham tentang bambu. Alam telah menjadi guru sejati bagi pamannya itu.
“Selain itu, bambu jangan diambil pada hari Selasa atau Sabtu. Bambu aman diambil selain pada hari Selasa atau Sabtu,” lanajut laki-laki itu.
“Kayak ada mistis-mistisnya aja sih, Paman?” ujar laki-laki muda itu.
“Aih, hari gini kamu masih aja percaya dengan mistis? Itu gak ada kaitannya dengan dunia mistis,” tawa laki-laki itu terdengar ketika ia menghentikan ayunan parangnya dari bambu setelah mendengar ucapan ponakannya itu. “Itu ada penelitiannya bahwa bambu mengalami pertumbuhan pada hari Selasa dan Sabtu. Pada saat itu, bambu kembali muda karena sedang terjadi pertumbuhan sehingga kondisinya lemah. Akibatnya, bambu mudah terserang hama.”
Aku hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dan menyaksikan mereka bersama beberapa laki-laki dewasa lainnya sedang sibuk menebangi bambu-bambu di sekitarku. Mereka menarik bambu-bambu yang bertumbangan ke arah yang lebih terbuka. Beberapa di antara mereka mulai memotong bambu-bambu yang bertumbangan itu dengan ukuran panjang yang kurang lebih sama. Sepertinya, besar sekali proyek mereka ini karena meskipun kulihat sudah banyak sekali bambu yang terkumpul, mereka belum ada niat untuk berhenti menebang dan memotong bambu.
Suara parang-parang besar mereka yang mengenai bambu-bambu itu terdengar nyaring dan menyakitkan telingaku. Kulihat pias pucat wajah mamak memandang cemas ke arah mereka. Mereka terus menebang dan memotong bambu. Mereka semakin dekat dengan lokasi kami berdiri.
***
Entah sudah berapa purnama aku dan saudara-saudaraku berdiri di sini. Aku tak mampu mengingatnya. Yang kuingat hanyalah hamparan air laut karena hanya itu yang ada di hadapanku. Sesekali ombak menghempas ke pantai. Sesekali, aku dan saudara-saudaraku mendengar mereka menyebut kami sebagai pagar laut. Sesekali, kami mendengar mereka menyebut kami dibuat oleh orang-orang suruhan orang kota yang punya niatan terselubung. Entah, apa niat terselubung yang mereka maksud. Kami tak tahu.
Yang kami tahu hanyalah perahu-perahu nelayan tak bisa melewati kami. Mereka harus berputar lebih jauh mencari rute yang bisa dilewati untuk mencari ikan. Tak jarang mereka mengeluh karena rute itu membuat mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli bahan bakar perahu-perahu meraka. Kadang, jika sedang apes, mereka menabrak kami. Tabrakan itu bisa mengakibatkan kebocoran di perahu mereka. Kalau perahu sudah bocor, alamat runyamlah urusan rumah tangga mereka.
Tapi, aku bisa apa? Sejak aku dan saudara-saudaraku dibawa keluar dari hutan bambu dan ditancapkan di laut ini oleh orang-orang yang tak kami kenal, kami hanyalah tonggak-tonggak pemagar laut yang tak punya daya. Kami hanya bisa melihat kesulitan nelayan-nelayan itu melaut dan mendengar keluh kesah mereka yang tak berjawab. Kami hanya bisa menyaksikan barisan kami yang semakin panjang dari hari ke hari ketika orang-orang itu terus menancapkan saudara-saudara kami di jalur pantai ini. Tak terbilang berapa jumlah dari kumpulan kami yang dibawa ke pantai ini. Tak terbilang juga bagaimana kami tercerai-berai dalam deretan panjang ini dan aku pun tak pernah tahu keberadaan mamak.
Mamak? Di mana mamakku? Aku menjadi sering rindu mamak. Deretan pagar laut ini terlalu panjang bagiku untuk melacak posisi mamak. Andai waktu bisa kuputar kembali, aku akan cabut dan tak pernah tanyakan pertanyaan yang paling mamak benci itu. Mamak benar. Perjanjian tanah itu nyata. Aku memang telah pindah, pindah ke laut ini, pindah yang tak akan pernah bisa kembali. Sesungguhnya, aku belum siap berpisah dengan tanah kelahiranku, berpisah dengan saudara-saudaraku, dan terlebih lagi berpisah dengan mamak. Mamak, maafkan aku!
***