Cerpen Yuditeha
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Ombak bergemuruh, mengirim nyanyian laut yang serak ke telinga para nelayan. Namun, belakangan ini, nyanyian itu seperti kehilangan irama. Sesuatu telah berubah, seolah-olah laut yang dulu memberi, kini menjadi sekadar akuarium raksasa yang dingin dan bisu.
Langit temaram, bulan tergantung seperti mata dewa yang mengawasi sunyi. Di bawahnya, bayang-bayang kapal terombang-ambing tanpa arah, seolah bukan angin yang menggerakkan mereka, melainkan bisikan halus dari dasar laut. Para nelayan mulai berbisik di antara mereka sendiri, ada sesuatu di air, sesuatu yang bukan hanya gelombang, tetapi kenyataan yang meringkih.
Di ujung dermaga, seorang nelayan tua bernama Arung duduk memandang hamparan air yang dipisahkan oleh pagar yang memanjang dan tak memberi celah bagi kapal-kapal kecil untuk melintas. Di balik pagar, air laut tampak lebih jernih, lebih kaya ikan, namun hanya bagi mereka yang memiliki kapal besar dan izin dari orang-orang di daratan.
Arung menggulung jaringnya yang semakin lama semakin ringan. Dulu, setiap lemparan membawa hasil yang cukup untuk keluarganya. Sekarang, hanya ada serpihan ganggang dan satu-dua ikan kecil yang lolos dari batas. Ia mengembuskan napas berat, menatap laut seperti seorang anak yang merasa dikhianati ibunya sendiri.
Pada malam yang aneh itu, Arung tertidur di perahunya yang mengambang perlahan. Dalam mimpinya, ia melihat seekor hiu besar berenang mendekat, tubuhnya dilapisi baja berkarat, siripnya berlumuran minyak hitam yang mengalir dari celah-celah tubuhnya.
“Apa yang kau cari, manusia?” suara hiu itu bergaung, berat dan tua.
“Laut yang dulu. Laut yang memberi,” jawab Arung.
Hiu itu tertawa, gemanya menyebar seperti pusaran air yang menyeret ke dasar laut. “Laut tak lagi bernyanyi untukmu, manusia. Laut telah dipagari, seperti aku yang dipenjara dalam tubuh ini.”
Arung menatap sekeliling, mencoba memahami dunia yang perlahan kehilangan wujud asli. Permukaan air yang biasanya jernih kini memantulkan cahaya dengan cara yang aneh, bukan lagi biru kehijauan, melainkan perak kusam yang bergelombang seperti logam cair. Udara di sekitarnya terasa berat, seolah mengandung partikel halus yang tak terlihat, membuat napasnya sedikit lebih dalam dari biasanya. Ia melihat bayangan pagar yang melingkari tempat itu, bukan lagi garis tegas yang diam, tetapi bentuk yang menjalar seperti akar tua, bergerak perlahan namun pasti, seakan memiliki kehendak sendiri untuk menggenggam dan menahan apa pun di dalamnya.
Di balik pagar yang meliuk seperti makhluk hidup itu, ikan-ikan bergerak dalam ritme yang tidak biasa. Mereka tidak berenang dengan gesit seperti yang diharapkan dari makhluk laut, tetapi melayang-layang dengan tubuh yang gemuk dan mata kosong. Beberapa di antaranya tampak lebih besar dari seharusnya, perut mereka menggelembung seperti balon berisi sesuatu yang bukan sekadar makanan alami. Arung mengamati salah satunya dengan lebih saksama, siripnya menggeliat pelan, hampir seperti jari-jari yang mencoba menggenggam sesuatu. Ia bergidik. Sejak kapan ikan-ikan ini berubah? Dan apa yang membuat mereka seperti ini? “Mereka?” tanya Arung.
“Ikan-ikan pilihan, yang tumbuh dalam kendali. Mereka tidak tahu tentang ombak yang liar, tentang arus yang tak bisa dikendalikan. Mereka puas dalam batas-batas yang ditetapkan,” jawab hiu.
Angin bertiup ringan, membawa bisikan halus yang terdengar seperti suara riak kecil, namun Arung merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik bunyi itu. Seakan-akan air sendiri ingin mengatakan sesuatu, sebuah rahasia yang telah lama terpendam di dasar dan kini menggelembung ke permukaan. Ia bergerak lebih dekat, tangannya hampir menyentuh air, tetapi tiba-tiba, kilauan perak itu bergetar, menciptakan riak yang lebih dari sekadar gelombang. Sebuah bayangan muncul di dalamnya, samar dan tak berbentuk, tetapi perlahan menyerupai sesuatu yang mirip dirinya sendiri, hanya saja, matanya kosong, mulutnya terbuka, dan tubuhnya berkilauan seperti ikan-ikan gemuk di dalam pagar itu. Arung merasa dingin menjalari tulang punggungnya. "Dan kami? Nelayan kecil?"
“Kalian seperti ikan yang tidak diinginkan,” kata hiu itu sambil mengibaskan ekornya. “Tak ada tempat bagi yang tak bisa dikendalikan.”
Arung menggenggam jaringnya yang tiba-tiba berubah menjadi rantai berkarat. Laut seolah mengolok-oloknya. Ombak yang dulu bersahabat kini terasa asing. Arung ingin berteriak, tapi suara laut menelannya.
Ia terbangun dengan napas memburu. Perahunya masih mengambang di tempat yang sama, tapi laut terasa lebih sepi. Pagar baja itu tetap berdiri kokoh, tak tersentuh, dan di baliknya, kapal-kapal besar melintas seperti raksasa yang tak peduli pada dunia di luar mereka.
Namun, keheningan itu tidak bertahan lama. Dari kejauhan, ia melihat sirip mencuat dari air. Sirip itu terlihat berbeda dari yang lain, lebih besar, lebih berat, seperti membawa luka yang belum sembuh. Arung mendayung mendekat, dan saat air semakin jernih, ia melihat hiu yang sama seperti dalam mimpinya. Tapi kali ini, bukan sebagai penasihat. Hiu itu nyata, dengan tubuh berlubang akibat besi-besi berkarat yang tertancap di kulitnya, siripnya patah sebagian, dan matanya yang dulu berkilau kini redup.
Arung merasa dadanya sesak. “Kau, kau ada di sini?”
Hiu itu bergerak lamban, seperti seekor makhluk yang terlalu lama disiksa. Mulutnya menganga, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Arung melihat mata hiu itu, mata yang lelah, mata yang ingin berbicara, tapi sudah kehabisan tenaga untuk berkata-kata.
Arung mendekat, merasakan air yang bergetar di sekelilingnya. Pagar besi yang menjulang tinggi tampak seperti jeruji penjara yang membatasi lautan dan kehidupannya. Arung mulai memahami: bukan hanya dia yang menjadi korban pagar-pagar itu, tapi laut sendiri. Hiu itu adalah lautan yang sedang sekarat, terbebani oleh batasan dan kerakusan.
Ia melihat ikan-ikan kecil yang terombang-ambing dalam keputusasaan, mata mereka kosong seperti kaca retak yang membingkai kematian. Mereka mengitari hiu yang sekarat itu, menari dalam tarian lambat yang lebih menyerupai keputusasaan dibanding kehidupan. Beberapa dari mereka menabrak pagar, sisik mereka terkelupas, darah menyatu dengan air asin.
Langit di atas laut tidak lagi biru, tetapi retak seperti cermin yang memantulkan cahaya abu-abu. Ombak berubah menjadi lidah-lidah api yang menjilat, seakan mencoba membakar sisa harapan yang tersisa. Udara dipenuhi suara gemeretak besi, seolah-olah jeruji itu sedang menertawakan mereka yang terjebak di dalamnya.
Arung mulai memahami sesuatu yang lebih dalam. Pagar itu bukan hanya pagar fisik, tetapi batas yang dipaksakan terhadap alam. Sama seperti manusia yang mencoba mengendalikan ombak, menentukan mana ikan yang boleh hidup dan mana yang dibiarkan mati, mereka juga telah menciptakan pagar-pagar dalam kehidupan sendiri. Batas antara si kaya dan si miskin, antara yang memiliki kekuatan dan yang ditindas, antara yang diberi makan dan yang dibiarkan kelaparan.
Pergulatan batinnya memuncak. Apakah laut bisa kembali seperti dulu? Apakah ia bisa melawan pagar-pagar itu? Atau apakah ia hanya akan menjadi seperti hiu itu, makhluk yang perlahan sekarat, menunggu ajal di dalam perairan yang dulu adalah rumahnya? Arung menutup matanya, membiarkan air asin menggenangi wajahnya. Ia berpikir, apakah semua ini hanya nasib? Atau akankah suatu hari ada yang cukup kuat untuk merobohkan pagar itu?
Hiu itu akhirnya tenggelam perlahan, matanya masih menatap Arung seolah berkata sesuatu yang tak bisa diucapkan. Arung terdiam, menatap laut yang kehilangan nyanyiannya. Ia tahu, sejak saat itu, ia tak hanya kehilangan lautnya, tapi juga kehilangan sebagian dari dirinya sendiri.