Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Alexander Robert | Batas Laut

Cerpen Alexander Robert



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


”Apakah laut memiliki batas?” tanya Pedro menggema. Menatap jauh ke depan. Di cakrawala yang jauh. Sebuah garis panjang horisontal membentang—saat matahari terbenam—senja yang mungkin kerap ia rindukan dengan ornamen perahu nelayan, bau asin garam yang memantul, ombak yang datang tanpa bisa dicegah.


”Apakah ada batas pada laut?” ia bertanya lagi kepada perempuan itu. Mereka duduk beralaskan tikar di atas pasir pantai menjelang senja. 


Dan iapun berulang kali datang ke tepi pantai itu. Laut yang terus bergerak, semilir angin basah menepuk wajah. Meski baginya laut memang hadir tanpa batas. Laut yang biru. Laut yang penuh ombak. Ombak yang kecipak membetur karang, terus bergerak menuju gigir pantai. 


**


Pada suatu hari di tepi laut. Ketika pagi baru saja menetas dan angin masih terasa malas menyentuh daun kelapa di sepanjang pantai.


”Ayo, cepat berikan tanda lagi. Tancapkan batangan bambu di sana!” seseorang dengan kumis tebal melintang menunjuk ke arah laut, badannya kekar. Sekumpulan orang dengan kulit legam terbakar matahari membawa puluhan batang bambu. Mulanya hanya semeter, dua meter, lalu sepuluh meter, ratusan meter, ribuan meter. 


”Dulunya ini tanah milik kami. Tapi air laut beratus tahun menggerus tanah hingga batasnya menjadi samar. Yang jelas ini harus dikembalikan lagi patoknya, sekarang ayo tancapkan bambu-bambu itu. Hei, kalian cepat bergerak. Ambil, dayung sana ke tengah laut, tancapkan yang lebih jauh. Nanti tinggal kita urug lagi menjadi daratan. Sekarang berikan dulu tanda. Bukankah segal;a yang akan menjadi milik harus diberikan tanda. Ayo cepat bekerja!”


Demikianlah, mereka terus bekerja dari pagi ke senja. Ribuan bambu, ada yang telah terbelah, namun ada pula yang utuh tertancap dari pinggir pantai sampai ke tengah laut. 


”Jangan takut, aku telah memiliki izin untuk membuat penahan bagi laut. Kerja kita akan bermanfaat untuk orang banyak, ini kita lakukan untuk mencagah abrasi,” 1) dan jumlah bambu semakin banyak menancap dan diikat dengan temali yang ketat. 


**


Berpuluh tahun kemudian, Pedro kembali lagi ke pantai. Kali ini, ia hanya sendiri. Tanpa perempuan yang dulu begitu sering menemaninya. Saban tiga hari ia selalu datang ke pinggir pantai. Begitulah. Setiap kali ia mengunjungi laut, selalu teringat padanya. Entah mengapa. Barangkali memang selalu ada yang ganjil saat ia merenung, dan menatap laut dari kejauhan. Dari tempat dirinya berdiri di tepi pantai. Alangkah jauhnya. Alangkah birunya. Apakah kenangan dapat dijelaskan? Ah, betapa segala yang sentimentil telah lengkap menelan dirinya. Di kebiruan laut yang lepas, deburnya yang sedu sedan mengiba, sampai ke ujung kaki. Seperti mencubit ujung kuku. Dan mendadak ia tenggelam di dalamnya!


Apakah ini serupa dengan mimpi? Atau hanya sebatas fatamorgana dirinya saja, yang lama tersesat setiap kali ombak menampar karang yang telah gompal itu. Dan senja itu, seperti cair, tenggelam di perut bumi. Kaku—menghitam. Dalam jalan pikiran Pedro:


(Sesungguhnya, ah, mengapa mesti kujelaskan padamu, jika ia cuma perempuan biasa. Yang tak perlu kusebutkan namanya sepatahpun. Justru, dengan demikian ia telah merebut semua isi hatiku, dengan segala sikap atau percakapan yang pernah terjadi di antara kami. Perempuan yang gemar memainkan poni rambutnya, saat angin laut berhembus di seluruh wajahnya. Perempuan yang suka mencari lokan-lokan kecil, memungutinya ke dalam suatu wadah untuk dibawa pulang. Entah untuk apa. Perempuan yang tak pernah menjauh dariku, bahkan ketika aku terjatuh dalam kubangan sekalipun. Perempuan yang lucu dan selalu membuatku tertawa lepas.


Tapi, sebagaimana yang kutulis di atas tiba-tiba ia menghilang. Tanpa kabar berita barang sedikitpun. Tidakkah sebuah kepergian terasa menikam jantung hati? Dan kini aku sendiri. Memandang laut yang lepas. Memandang di kejauhan, sembari berharap dengan sekuat hati dan pikiran jika suatu waktu ia akan kembali padaku. Berkisah tentang sebuah negeri di pinggir pantai yang tak pernah terhempas. Negeri yang pernah utuh. Tak seperti puzzle yang telah retak dan mesti disusun kembali satu per satu.


Pantai ini terlihat begitu tenang. Aku jadi ingat bagaimana kita berdua, mengguratkan nama pada tepiannya. Kita mengambil sebatang kayu pohon dan mulai menuliskan abjad demi abjad, hingga yang terlihat hanyalah nama kita berdua. Mungkin, itulah saat-saat bahagia kita, menghabiskan waktu bersama. Bersendawa, kemudian menafsirkan makna kehadiran seseorang. Tetapi, itu seakan tak lama—begitu cepat. Sampai tiba-tiba kelam malam datang. Kemudian kau berkelebat, tanpa penjelasa, dengan dalih pergi ke negeri orang. Apa yang sebenarnya kau cari? Uang, kekayaan, atau sedikit kehormatan. Dengan harapan orang-orang akan segera memandangmu ketika menyodorkan berapa penghasilanmu di sana pada saat kau kembali di kota ini. 


Aku sudah letih menantimu. Tetapi, tetap saja aku masih mendatangi pantai itu. Kalau sudah begini, aku akan berlama-lama di sana. Membiarkan angin menerbangkan ingatanmu. Namun, rasanya percuma saja. Ingatan itu akan berbalik lagi dengan segera, begitu cepat. Tak pernah bisa kusingkirkan. Siapa yang bisa menghilangkan sebuah kenangan dari seseorang?


Akhirnya, aku hanya bisa mengenangmu. Di pantai ini. Di mana kita selalu mengunjunginya pada saat akhir pekan. Pantai yang masih bersih, dengan pasirnya yang begitu teduh. Dengan lautnya yang masih kebiruan, di mana dasar pantainya masih kelihtan, begitu bening. Aku menggali kenangan itu, ketika rambutmu yang sebahu itu tergerai dipermainkan angin yang nakal. Seperti biasa, aku hanya bisa mengingatmu. Barangkali, tak seluruhnya lengkap. Memaknai kembali semua masa lalu yang pernah tercecer. Aku mencoba menguntainya, merangkaikannya kembali, setiap jalinan peristiwa. Di pantai ini, aku telusuri kembali. Bahu pantai, dengan ombak yang  tak kenal lelah mencapai tepiannya. Dengan kepiting merah yang berlarian, kemudian bersembunyi di balik pasir, setiap kali aku mencoba menangkapnya. Betapa bayang-bayang dirimu hadir. Di pantai ini, aku merasa berjalan berdua denganmu. Tak lagi memedulikan panasnya matahari, sampai senja jatuh di pelupuk barat. Senja yang menenggelamkan lelehan cahaya, seperti sebuah bara api yang tercelup, kemudian amblas. Senja memang penuh dengan kegamangan, membuatku luput menandainya. Senja selalu mengalirkan ketenangan juga sebuah kecemasan. Lelehan jingganya seperti turut menarikku, untuk tetap terjaga, jika suatu waktu kau akan kembali)


Ia terus saja memikirkan perempuan itu. Di pantai yang kini terbatas dengan jejak langkah.  Aku datangi pantai itu lagi. Disusurinya lagi tapak-tapak tubir di pasir. Menikmati kembali bagaimana pasir hangat mengurubungi seluruh jangat di permukaan kakiku. Ia seperti mengenang kesemuanya. Angin yang telanjang membawa bau laut yang sedemikian khas. Tak terasa lidahnya mendadak asin, apakah sebuah kehidupan harus berliku semacam ini? Melompat, seperti riak ombak yang mendaki gelisah, mencapai tubir? Pedro menatap lekat-lekat laut dari kejauhan. Ada sesuatu yang mengambang. Entah apa, mungkin sebuah jarak yang terentas begitu panjang. Matanya berkaca, basah. 


Laut yang tak lagi bisa dilihat dengan jelas batasnya karena terhalang ribuan bambu. Kelengangan yang tak lagi biru—yang didapati hanya kerumunan pagar bambu, menancap ke sepanjang pantai hingga hampir seperempat bagian pantai hingga ke tengah laut. Menjulang tinggi. Kembali Pedro bergumam, ”Apakah laut memiliki batas? Seberapa jauhkah batas laut?”


Tak ada lagi perahu nelayan, ombak terasa landai, begitu pelan dan lambat menuju pantai, bahkan bola matahari yang tenggelam pun tak lagi terlihat. Dengan sekejap, langit tiba-tiba menjadi gelap.


Hening. Hening. Hening. Semakin sunyi, bahkan ia tak lagi terasa saat napasnya mendadak parau...


2025


Catatan

1) Diambil dari laman https://news.detik.com/berita/d-7738237/serba-serbi-pagar-laut-di-tangerang?page=1