Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Dheananda Putri Harin Pratama | Aku, Anak Pelaut

Cerpen Dheananda Putri Harin Pratama



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Biru laut, hamparan luas yang seolah merepresentasikan langit berawan cerah. Kehidupan di bawah sana terasa bebas. Ikan-ikan menari dengan sirip indahnya, biota laut lainnya saling berinteraksi ramah, serta terumbu karang dengan kecantikannya. Melestarikannya adalah suatu kewajiban. Berbagai upaya telah dilakukan, salah satunya membangun pagar laut. 


Pagar-pagar itu berdiri kokoh, berusaha kuat menjalankan fungsi aslinya. Melindungi wilayah pesisir dari abrasi, memitigasi tsunami, serta menjaga kehidupan makluk yang tinggal di sana. Namun, bagaimana dengan makluk daratan yang juga menggantungkan hidupnya pada laut?


Kami, masyarakat posisir kecil kehilangan akses terhadap wilayah laut tertentu. 


“Bapak enggak melaut?” tanyaku begitu memasuki rumah sepulang sekolah, aku mencium tangan kedua orang tuaku. Mereka mengembangkan senyum hangat untuk menenangkan kebingunganku. Dan tak ada jawaban. Seharusnya, aku sudah tahu. 


“Makan dulu, Nak.” Ibuku dengan raut wajah penuh ketenangan itu menghidangkan sepiring nasi berlauk telur goreng. Mereka seolah tidak mendengar pertanyaanku. Aku memilih segera mengambil duduk di depan Bapak, “Bapak sudah makan?”


“Belum, tapi ndak usah khawatir. Masih ada makanan nanti bapak makan. Dah, makan dulu kamu.”


“Ibu?”


Kembali Ibuku mengulum senyum hangat, “Ibu puasa, Nak.”


Harus kah aku tetap makan? Melihat kondisi ekonomi kami seperti ini membuatku tidak punya selera makan. Tetapi, kedua orang tuaku selalu punya cara agar aku melahap habis hidangan ini. Tak peduli bagaimana perut mereka, dengan senyum lebar mereka memandangiku yang sedang makan. Seperti hal itu sudah cukup mampu mengenyangkan mereka. Tentu dengan wajah penuh ketenangan seolah kami sungguh baik-baik saja. 


…. 


Subuh itu, kubuka jendela kayu kamarku, kubiarkan angin berhawa dingin menyapa. Aku selalu betah berdiri di depan jendela kamar hanya untuk menunggu sang surya menampakkan diri membawa cahaya kehidupan. Pemandangan indah itu selalu memberiku semangat baru. Perlahan, seolah dari dasar laut bintang utama itu naik ke permukaan, air laut yang menerima pantulan cahaya emas menciptakan efek kilau yang menakjubkan. Aku terpana untuk kesekian kalinya. 


Aku menarik kedua sudut bibirku sambil memejamkan mata perlahan. Aku mempertajam pancaindraku. Kuhirup aroma segar laut, kurasakan hembusan angin lembut, diiringi merdu deburan ombak yang kudengar. Aku menikmati hingga terlarut. Detik selanjutnya, aku membuka kelopak mataku perlahan, samar-samar aku menelisik sekeliling, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Aku lebih memfokuskan indra penglihatanku lagi. 


Kulihat, segerombolan nelayan sedang berlayar di tengah laut. Alisku saling menukik, aku terkejut sekaligus kebingungan. Dalam benak aku mulai bertanya-tanya. Ke mana tujuan mereka? Mengapa mereka berlayar sejauh itu? Ada kah Bapak di antara mereka?


Kegelisahan hatiku mulai mengusik aku yang tak lagi bisa menikmati kesempurnaan alam ini. Segera aku berlari keluar kamar. Kudapati ibuku tengah sibuk membersihkan dapur kecil kami, dari banyaknya sampah bahan makanan sepertinya Ibu baru saja membuat hidangan yang cukup besar. Perbekalan melaut Bapak kali ini dua kali lebih banyak. Bisa aku simpulkan Bapak berada dalam rombongan nelayan tadi. Mungkin sebab itulah, dalam beberapa hari ini kedua orang tuaku berhemat untuk keperluan melaut yang lebih jauh dan membutuhkan banyak persediaan. 


Aku menarik napas dalam-dalam. Penurunan hasil tangkapan ikan membuat para nelayan kecil sungguh terbebani. Aku mengkhawatirkan masa depan seperti apa yang ditawarkan pada nelayan kecil seperti kami. Jika untuk bertahan hidup saja harus berhadapan dengan konsekuensi buruk. Ada kah secercah harapan?


“Eh, Nak?” Ibuku berbalik badan begitu menyadari keberadaanku. Beliau tersenyum hangat, ciri khasnya. “Mau sarapan atau mandi dulu?”


Aku terdiam sejenak. Pikiranku berkecamuk, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan tetapi aku terlalu bingung. Kalimat apa yang harus mulutku keluar kan?


“Nak?” panggilnya lagi, nadanya terdengar khawatir. Aku menghela napas sebelum menjawab, “Aku puasa, Bu. Aku mandi dulu.”


Entahlah, aku hanya sedang tidak ingin membicarakan apapun dengan ibuku yang menyembunyikan penderitaannya. Kutarik gorden kamarku. Kembali aku memandangi bentangan luas itu, semakin jauh rombongan nelayan itu dari sudut pandangku. Dalam lubuk hatiku paling dalam, aku berdoa mereka pulang dengan selamat. 


…. 


Siapa yang sebenarnya diuntungkan?


Kami, masyarakat pesisir miskin mulai kesulitan mencari nafkah untuk melanjutkan hidup. Kondisi ekonomi kami semakin buruk, akses terhadap sumber daya alam terbatasi, pada akhirnya kami semakin terjepit dalam kemiskinan. Secara terpaksa mereka yang ingin berlayar harus melintasi laut lebih jauh. Bukan hanya mengeluarkan biaya lebih banyak, tetapi resiko keselamatan sangat berbahaya. Belum lagi ketidakpastian tangkapan. Namun, tidak ada pilihan selain nekat.


Mungkin, Bapak dan para nelayan lain tidak peduli hal buruk apa yang akan datang. Mereka tidak kenal takut. Bagi mereka yang utama ialah mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Mereka menjalankan tanggung jawab penuh sebagai kepala keluarga. Bentuk cinta paling luar biasa. 


Aku marah. Tentu saja melihat situasi krisis seperti ini membuatku prihatin dan simpati. Aku lebih marah pada diriku sendiri yang hanya bisa diam tanpa berbuat apapun. Aku ingin sekali ikut Bapak berlayar atau menggantikan Bapak yang mulai kurang sehat. Namun, izin itu tak pernah kudapat. Bahkan, kedua orang tuaku tak pernah membagikan sedikit pun bebannya pada anak laki-lakinya yang hampir menginjak usia 16 tahun. Mereka selalu memintaku untuk fokus belajar hingga nanti bisa meraih pendidikan setinggi mungkin. Tak peduli sekeras apa dunia luar, aku hanya diwajibkan untuk belajar. Tentu kewajiban utamaku ialah beribadah, selanjutnya berbakti pada kedua orang tua. Dan belajar yang tekun ialah bentuk baktiku. Demikian kata mereka. 


Begitu kah orang tua? Hanya ingin berjuang sendirian tanpa melibatkan anak mereka, sama sekali tidak ingin anaknya tahu. 


Sayangnya, untuk saat ini aku ingin menjadi pemberontak. Aku tidak akan membiarkan orang tuaku berjuang sendirian lagi. Mempertaruhkan segalanya hanya untuk aku tetap hidup. Namun, anak laki-laki yang tak berdaya ini tidak punya arah untuk melakukan aksi sebagai bantuan. 


Ke mana aku harus memohon pertolongan? Ada kah yang mendengarku? Siapa kah yang dapat aku mintai pertanggung jawaban? Sempat kah mereka memikirkan nasib masyarakat pesisir miskin seperti kami?


Sore itu, matahari sudah bersiap untuk pamitan, tanda akhir hari. Tapi aku masih belum beranjak dari tempatku berdiri, di depan jendela kamarku yang tak kunjung kututup. Kepalaku sedikit mendongak, di langit megah itu terlukis cahaya jingga yang manis. Cahaya dengan warna-warna indah memantul di atas permukaan air laut yang tenang. Tempat di mana indra penglihatanku tak beralih sejak tadi. Kali ini aku tak terpana. Pesona alam kalah dengan kegundahan hatiku. Berharap-harap cemas penuh penantian. Hingga laut menelan habis cahaya terang itu, aku masih menanti para pahlawan muncul dari ujung nan jauh sana. Menunggu kepulangan pahlawanku, Bapak.