Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Muhammad Arizi Dhiyaa Shofaa | Antara Laut dan Pembangunan

Cerpen Muhammad Arizi Dhiyaa Shofaa



 

(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Saya adalah seorang anak nelayan. Dari kecil, laut itu sudah seperti halaman belakang rumah saya. Setiap hari, saya bermain di pantai, berenang, bahkan membantu ayah menarik jaring. Laut itu hidup saya, sumber rezeki keluarga saya. Saya mengenal setiap sudut pantai, setiap jenis ikan, dan setiap perubahan cuaca. Tapi, akhir-akhir ini, ada yang aneh. Ikan-ikan seperti pada menghilang, hasil tangkapan ayah makin sedikit. Saya jadi ikut pusing tujuh keliling, mikirin gimana nasib keluarga saya nanti.

"Ada apa sih sama laut kita?" gerutu saya sambil menatap laut yang biasanya biru cerah, sekarang seperti sedang mendung. Awan hitam menggantung, seolah ikut merasakan kegelisahan saya.

Suatu hari, saya mendengar kabar tentang pembangunan pagar laut di desa sebelah, yang membuat saya bertanya-tanya”sebenarnya laut ini milik siapa?” dalam hati saya bertanya, dan jika memang milik pemerintah mengapa bisa-bisanya ada yang memagarinya seakan taman pribadi. Awalnya, saya cuek saja. Saya pikir, paling cuma proyek kecil yang nggak bakal ngaruh ke laut saya. Tapi, makin lama, makin banyak nelayan yang mengeluh. Hasil tangkapan mereka juga pada turun drastis. Penasaran, saya akhirnya menyambangi desa sebelah, naik sepeda motor butut saya.

Dari jauh, saya sudah melihat pagar hitam panjang sekali di pinggir pantai. Pagarnya besar, kokoh, seperti tembok raksasa yang membelah laut. Saya dekati, terus mengintip ke dalam air. Buset, pemandangannya bikin saya kaget bukan main. Karang-karang yang biasanya warna-warni, sekarang pada pucat pasi, kayak orang sakit. Ikan-ikan kecil yang biasanya lincah berenang kesana kemari, sekarang pada lesu, berenang pelan-pelan, kayak nggak punya semangat hidup.

"Ini biang keroknya!" batin saya, kesal sekali. Saya merasa seperti dikhianati oleh sesuatu yang seharusnya melindungi kami.

Ternyata, pagar laut itu dibangun oleh perusahaan besar yang mau bikin resor mewah. Katanya sih, buat melindungi pantai mereka dari erosi. Tapi, efeknya parah sekali buat ekosistem laut. Pagar itu menghalangi jalur ikan, merusak karang, bikin keseimbangan alam jadi kacau. Ikan-ikan jadi susah mencari makan, susah berkembang biak. Akibatnya, nelayan seperti ayah saya yang paling kena dampaknya. Mereka merusak rumah kami sendiri.

Saya tidak tinggal diam. Saya mengajak nelayan-nelayan lain buat bersatu. Kita bikin protes, menuntut supaya pagar laut itu dibongkar. Kita bikin pertemuan di balai desa, menulis surat ke pemerintah, bahkan demo di depan kantor perusahaan. Kami membawa spanduk bertuliskan "Laut Kami, Hidup Kami!" dan "Jangan Rampas Rezeki Kami!".

Tapi, perusahaan itu seperti kebal hukum. Mereka punya uang, punya kuasa. Mereka bilang, pagar laut itu tidak merusak lingkungan, malah bagus buat mencegah abrasi. Mereka juga menawarkan uang ganti rugi ke nelayan, tapi kita tolak mentah-mentah. Kami tidak mau menjual laut kami dengan uang.

"Kami tidak butuh uang kalian. Kami cuma mau laut kami balik! Laut adalah ibu kami, kami tidak akan menjual ibu kami!" kata saya lantang, berdiri di depan para nelayan yang lain.

Saya dan nelayan-nelayan lain tidak menyerah. Kita terus berjuang, mencari dukungan dari mana-mana. Kita hubungi organisasi lingkungan, media, bahkan ahli kelautan. Kita mau buktikan kalau pagar laut itu merusak lingkungan dan merugikan nelayan. Kami mengumpulkan bukti-bukti kerusakan, foto-foto karang yang rusak, video ikan-ikan yang mati, dan kesaksian para nelayan.

Kita sadar, laut itu warisan kita bersama, bukan cuma punya segelintir orang. Laut itu sumber hidup kita, anak cucu kita, dan seluruh umat manusia. Kita tidak akan biarkan laut kita dirusak sama keserakahan. Kita akan menjaga laut ini sampai titik darah penghabisan.

Suatu hari, perjuangan kita membuahkan hasil. Pemerintah turun tangan, mengecek langsung dampak pembangunan pagar laut itu. Mereka mengirim tim ahli untuk meneliti kondisi laut dan mendengarkan keluhan para nelayan. Setelah proses panjang, akhirnya pemerintah memutuskan buat membongkar pagar laut itu.

Saya dan nelayan-nelayan lain bersorak gembira. Kita menang! Kemenangan ini bukan cuma soal hasil tangkapan ikan, tapi juga soal keberpihakan pada alam dan keberlanjutan hidup nelayan. Kami merayakan kemenangan ini dengan syukuran di pantai, makan ikan bakar hasil tangkapan kami sendiri.
Malam itu, saya kembali melaut. Saya tebar jaring dengan harapan baru. Bulan bersinar terang, menerangi laut yang kembali bebas. Ombak berdesir seperti menyanyikan lagu kemenangan. Saya senyum, saya tahu, laut akan kembali memberi kehidupan buat kita yang mencintainya. Saya berjanji akan menjaga laut ini, agar tetap lestari untuk generasi mendatang.

Kemenangan ini terasa manis, tapi juga menyadarkan kami bahwa perjuangan belum selesai. Pagar laut sudah dibongkar, tapi luka di laut belum sepenuhnya sembuh. Karang-karang yang rusak butuh waktu untuk pulih, ikan-ikan masih butuh waktu untuk kembali ke habitatnya. Kami, para nelayan, menyadari bahwa kami punya tanggung jawab besar untuk menjaga laut ini.

Sejak saat itu, kami membentuk kelompok nelayan peduli lingkungan. Kami rutin membersihkan pantai dari sampah plastik, menanam kembali mangrove yang rusak, dan mengawasi aktivitas penangkapan ikan yang ilegal. Kami belajar tentang teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan, menggunakan jaring yang tidak merusak karang, dan melepaskan ikan-ikan kecil yang belum layak tangkap.

Kami juga bekerja sama dengan para ahli kelautan untuk memantau kondisi laut secara berkala. Kami mencatat jenis-jenis ikan yang ada, mengukur kualitas air, dan mengamati pertumbuhan karang. Data-data ini kami gunakan untuk membuat rencana pengelolaan laut yang berkelanjutan.

Tidak hanya itu, kami juga mulai mengembangkan wisata bahari berbasis masyarakat. Kami mengajak wisatawan untuk snorkeling dan diving, memperkenalkan keindahan bawah laut kami, dan mengedukasi mereka tentang pentingnya menjaga laut. Hasil dari wisata ini kami gunakan untuk membiayai kegiatan pelestarian laut dan meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Perlahan tapi pasti, laut kami mulai pulih. Ikan-ikan kembali berlimpah, karang-karang tumbuh subur, dan pantai kembali ramai oleh wisatawan. Kami merasa bangga karena bisa menjadi bagian dari perubahan positif ini.

Suatu hari, perusahaan yang dulu membangun pagar laut datang menemui kami. Mereka meminta maaf atas kesalahan mereka dan menawarkan kerja sama untuk membangun resor yang ramah lingkungan. Kami menerima tawaran mereka dengan syarat, mereka harus melibatkan kami dalam setiap tahap pembangunan dan pengelolaan resor.

Resor itu akhirnya dibangun, dengan konsep yang unik dan ramah lingkungan. Bangunan-bangunannya menggunakan bahan-bahan lokal, energinya berasal dari panel surya, dan limbahnya diolah dengan sistem yang canggih. Resor itu juga menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar dan mendukung kegiatan pelestarian laut.

Kami merasa senang karena bisa membuktikan bahwa wpembangunan dan pelestarian lingkungan bisa berjalan beriringan. Kami juga senang karena bisa mengubah pandangan perusahaan besar tentang pentingnya menjaga laut.