Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Novita Sari Yahya | Beranilah Menjadi Benar walau Sendirian

Cerpen Novita Sari Yahya




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Aku  berdiri di panas terik matahari, di Desa Kohod, tepatnya di depan teras rumah Bu Dewi. Aku bertemu dengan warga Desa Kohod yang menyelenggarakan pertemuan tentang tanah mereka yang digusur menjadi proyek strategis nasional. Di hadapan warga, sebagian ibu-ibu saling berebut untuk menyampaikan keluhan mereka. Sepertinya mereka sudah lelah dan capek memperjuangkan keadilan atas tanah yang mereka diami selama puluhan tahun. Menghadapi teror para preman bayaran yang mengancam dan juga tekanan dari oknum aparat desa agar menandatangani persetujuan pembelian tanah..


Suara bergetar Mpok Asih bicara, “Kami sudah tinggal di tanah ini puluhan tahun sejak Babe Saya masih hidup, sekarang rumah dan tanah kami digusur untuk proyek strategis nasional. Ke mana kami akan pindah dan beli tanah dengan harga gusuran 90 ribu per meter? Di kampung ini, kami mencari ikan dan berkebun. Sekarang tanah ini harta milik kami yang tersisa dan itu pun digusur. Ke mana kami akan pergi?” Mpok Asih terisak menangis. Mpok Asih memberikan fotokopi sertifikat tanah kepada tim.. 


Tim merekam kesaksian Mpok Asih dan mencatat penerimaan fotocopy sertifikat tanah milik Mpok Asih.


Ketika sedang sibuk menerima berkas fotocopy dan kesaksian warga yang di rekam, muncul gerombolan pria berbadan kekar dengan suara keras berteriak, “Ayo bubar ... bubar sekarang juga!”


“Pertemuan ilegal yang tidak ada surat resminya,” kata salah seorang pria berbadan besar, berkulit hitam dan bertato di tangan menghardik..


Aku langsung maju dan memperlihatkan surat resmi dan identitas tim dari LBH Padusi, Bahwa kami tim kuasa hukum yang punya surat resmi untuk melakukan pembelaan warga yang tergusur dari tanahnya di desa Kohod karena kebijakan proyek strategis nasional.


Pria berbadan tegap tadi dengan beberapa pria lainnya maju ke depan dan membubarkan warga dengan paksa.. 


Aku terjepit di antara situasi yang ricuh di tengah massa yang saling bentrok. Aku merasakan sakit di lengan ketika ada yang memukul dengan keras. Tiba-tiba aku terasa ditarik keluar dari kerumunan massa. Aku dibawa menjauh dari kerumunan massa yang berusaha dilerai oleh pihak kepolisian.


Aku terduduk di atas mobil yang membawa keluar dari situasi chaos.


“Sudah aku bilang beberapa kali, kamu tidak usah terlibat lagi dalam pembelaan warga Desa Kohod, karena sangat berbahaya dengan kondisimu sebagai perempuan,” ucap Baron dengan nada tinggi.


Aku hanya diam sepanjang perjalanan dan memilih untuk tidak bicara. Baron melihat memar di tanganku dan menanyakan apakah perlu ke rumah sakit. 


Di rumah sakit, dokter mengatakan bahwa memar akan menghilang setelah beberapa hari dan meresepkan beberapa obat.


Aku dan Baron duduk di ruang tamu setelah pulang dari rumah sakit.


“Aku khawatir ketika kamu mengambil keputusan ikut terlibat dalam pembelaan warga Desa Kohod dan pembelaan pagar laut di sekitar pantai,” ucap Baron.


“Tapi kewajibanku adalah membela yang diperlakukan tidak adil!” jawabku. “Aku memilih menjadi pengacara dan bergabung dengan LBH Padusi agar bisa membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongan pembelaan hukum,”


“Tapi kamu membahayakan dirimu sendiri. Dan kamu harus ingat, bahwa kamu perempuan,” ucap Baron.  “Tidak mungkin aku setiap saat harus memantau dirimu di lapangan karena pekerjaanku sebagai intel juga sibuk.” Nada suara Baron kesal.


“Setelah kejadian hari itu, apakah aku menyerah dalam upaya pembelaan warga desa Kohod? Jawabannya tentu tidak!” balasku.


“Justru aku bersama dengan tim Pak Said Didu melakukan advoaksi hukum tentang pagar laut yang di tancapkan bambu ke dalam laut.”


Pemagaran laut Tangerang sepanjang 30,16 Km. Pagar bambu itu melintasi 16 desa di enam kecamatan dan berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai. Terbentang di tiga desa di Kecamatan Kronjo, tiga desa di Kecamatan Kemiri, empat desa di Kecamatan Mauk, satu desa di Kecamatan Sukadiri, tiga desa di Kecamatan Pakuhaji, dan dua desa di Kecamatan Teluknaga. 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya yang sehari-hari beraktivitas di kawasan Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji, kebanyakan nelayan mengeluh saat ini kesulitan mengakses area tangkapan ikan akibat struktur pagar yang tertutup berlapis-lapis.


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( Walhi ) menilai, pagar laut  di pesisir pantai  Tangerang, Banten, sepanjang 30,16 kilometer yang membentang dari Desa Muncung di barat Tangerang hingga Tanjung Burung di timur kabupaten  telah merugikan nelayan dan merusak ekosistem lingkungan.


Konstruksi pagar bambu di laut dapat mengakibatkan empat  kerusakan alam yaitu, pagar-pagar laut menghambat laju arus laut, pagar laut yang dibebani pasir sebagai media tancap juga berpotensi menimbun terumbu karang,  dapat menimbulkan terjadinya penumpukan sedimen akibat terhalang pagar bambu yang menancap di pasir, dan memicu kekeruhan perairan laut.


Dalam Siteplan, kampung desa yang terkena proyek strategis PIK 2 akan dijadikan Kota Bagan, yang nanti tanahnya dijual Rp 20 juta hingga Rp 30 juta per meter.


Warga menolak jika tanah mereka hanya diganti rugi 90 ribu per meter dan untuk bangunan 2 juta per meter. Alasannya, untuk membangun rumah dan membeli tanah di daerah lain dengan harga yang diberikan tidak cukup. Warga berharap ganti rugi tanah 200 ribu per meter dan bangunan 5 juta per meter.  Oleh karena itu, warga tidak bersedia untuk pindah ke tempat relokasi maka intimidasi terus berlangsung yang dilakukan oleh oknum aparat desa Kohod. Melibatkan juga preman yang mengintimidasi warga seperti peristiwa pembubaran paksa pertemuan warga dengan tim kuasa hukum


Masuk chat WhatsApp ke ponselku dari nomor tidak di kenal. Tulisannya: “Anda mau berakhir seperti Masinah?”


Beberapa kali ancaman bernada menghina atau ancaman bernasib seperti Marsinah muncul di chat WhatsApp.


Aku tidak memedulikan semua ancaman tersebut karena kegiatan sebagai pengacara LBH memang berhadapan dengan banyak kepentingan. Tentu mereka yang merasa terganggu kepentingannya, akan melakukan tindakan ancaman ataupun meneror. Risiko ancaman sudah biasa kami hadapi bagi yang bekerja di LBH. 


Baron yang khawatir padaku  sering meminta anak buahnya untuk memantau pekerjaanku di lapangan. Sebagai suami, tentu dia mengkhawatirkan istrinya. Apalagi kami baru satu tahun menikah. Baron sudah sering memintaku untuk tidak terlibat dalam kasus pagar laut Kohod dan penggusuran warga untuk proyek strategis nasional. Tetapi aku selalu memberikan alasan bahwa ini tanggung jawabku membela rakyat untuk mendapatkan keadilan sebagai pengacara LBH. Beberapa kali situasi bentrok antara preman bayaran dengan warga yang berdemo terjadi. Selama proses pendampingan warga, aku dan tim selalu berada di lapangan. 


Pemberitaan media  dan kritik netizen di media sosial terutama Twitter yang keras dan setiap saat memberitakan situasi tentang pagar laut dan intimidasi serta teror pada rakyat, menyebabkan presiden Prabowo memerintahkan TNI Angkatan Laut melakukan pencabutan bambu yang ditanam ke laut. 


Pada saat pencabutan bambu, terdengar suara Pak Said Didu berteriak lantang dari dalam laut sambil mencabut bambu sebagai perwujudan rasa kemenangan karena berhasil melawan kezaliman dan ketidakadilan warga yang tergusur oleh proyek strategis nasional  PIK 2. Said Didu berteriak dan meluapkan amarahnya di antara pagar-pagar bambu yang tertanam di laut tersebut.


“Para oligarki kalian biadab! Kalian zalim, merampok negara, menyiksa rakyat!” teriak Said Didu penuh amarah selain membantu mencabuti pagar-pagar bambu tersebut,


Sambil mencabut pagar bambu, Pak Said Didu berteriak penuh amarah  di antara pagar-pagar bambu yang tertanam di laut tersebut. “Para oligarki kalian biadab, kalian zalim, merampok negara, menyiksa rakyat!”


 Teriakan pak Said Didu membuat air mataku jatuh di pipi karena upaya kami sebagai tim kuasa hukum warga berhasil mendesak pemerintah untuk mencabut pagar bambu yang tertanam di laut.


Rasa capek, lelah dan tekanan besar akibat teror yang dilakukan termasuk mengirimkan pesan WhatsApp ke nomor ponselku dan tim cair ketika melihat pagar bambu itu berhasil dicabut. Pagar bambu adalah simbol kekuasaan yang berdiri tegak. Dan ketika bisa dicabut, seolah benteng kekuasaan itu pun runtuh.


Berani benar. Walau sendirian, menurut Baharuddin Lopa hal itu menjadi simbol perlawananku menghadapi kasus pagar laut membela warga yang mengalami penggusuran tanah atas nama proyek strategis nasional PIK 2.