Jangan pernah percaya apa pun di negeri sialan ini. Semua berita dan cerita tak ubahnya bualan semata, serupa igauan dalam mimpi buruk yang menghantui tidur bocah. Jika ada yang percaya Ascarloero, makhluk serupa kadal laut raksasa yang membawa muatan berupa pulau karang berhutan di atas tempurungnya—tempat yang nantinya bakal ditinggali oleh Seymone, penguasa laut, bersama Aisthrevit, istrinya yang cantik—maka tak ubahnya telah menelan sampah mentah-mentah.
Di setiap pidato, mereka acap kali mengisahkan khayalan di telinga orang-orang yang buta sejarah, sembari diam-diam mulutnya rakus memangsa tanah, merampas hutan, menghisap kekayaan laut, dan membiarkan rakyat kelaparan. Mereka meniupkan janji di setiap pesta, meludahkan kata-kata manis yang membuat siapa saja terlena hingga tanpa sadar jatuh dalam pelukan serigala. Uh! Aku muak mendengarnya. Perutku mual dan akhirnya muntah. Kepalaku berdenyut merasakan negeri yang selalu membiarkan pikiran-pikiran waras membusuk.
“Ayesha, apakah mereka benar-benar menjilati ludahnya sendiri?”
“Benar, Paman. Seakan sirup manis yang nikmat di lidah mereka.”
Lelaki paruh baya itu duduk bersila di atas bangku yang terbuat dari pecahan perahu. Laut tak lagi indah. Pagar bambu mencuat dari ombak, mencemari pemandangan. Mereka bilang, laut perlu dilindungi dari ancaman luar.
Bah! Ancaman luar hanyalah cerita gombal yang terlalu dibesar-besarkan. Ancaman sesungguhnya adalah justru dari dalam. Menggeregoti setiap nadi kehidupan, serupa tikus, menelan segalanya tanpa sisa. Bahkan tulang-tulang pun dengan rakus disikat. Negeri ini telah sepenuhnya menjadi sarang para pemangsa.
Aku mendengus dalam hati melihat sederet pagar bambu yang membentang di laut. Dalih apa lagi yang akan mereka pakai untuk menutupi kecurangan ini? Semuanya hanyalah alasan untuk membatasi siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh mengambil keuntungan dari laut. Itu saja sebenarnya.
Sial! Telingaku mendadak berdenging. Siapakah kiranya yang akan mengajakku makan malam dalam sebuah pesta perjamuan? Dalam primbon yang kubaca, jika telinga berdenging adalah pertanda akan adanya undangan makan besar. Tapi aku tak tahu, telinga sebelah manakah yang berdenging, hingga kupukul-pukul sendiri kedua sisi kepalaku bergantian.
Aih, kalaupun benar ada undangan makan besar, rasanya aku tak akan tertarik. Lebih baik aku makan sendiri di rumah dengan lauk ikan asin dan sambal. Aku lebih mengkhawatirkan keselamatanku sendiri daripada memenuhi semacam undangan perjamuan. Mereka bisa dengan mudah meracuniku melalui makanan-makanan yang disajikan. Tidak! Aku tak tergiur dengan makanan-makanan mewah.
Kulihat lelaki paruh baya itu berulang kali menghisap kreteknya dalam-dalam seraya melempar pandangan menembus cakrawala. Mungkin ia tengah mengenang cerita yang didengungkan para penguasa, bahwa raja laut akan bertandang ke negeri ini, mengendarai kereta yang ditarik makhluk-makhluk setengah kuda setengah kepiting. Dan sebelum kedatangannya, sang Raja Laut telah lebih dulu mengutus Cerdique, utusan paling setia berupa makhluk dengan sembilan butir kepala yang melekat di lehernya, berkalung naga dengan ikat pinggang terbuat dari dua ekor kepala anjing yang tampak menghunus taring. Selama sepekan kemarin, laut bergolak, gelombang bangkit menerjang pantai dan perkampungan para nelayan, membentuk beberapa titik pusaran di tengah laut. Mereka bilang, makhluk mengerikan itu sedang menginap di sebuah hotel megah di bibir pantai yang indah. Sementara keretanya tersembunyi di laut, dilindungi gelombang dan pusaran ombak.
Cuih!
Aku benar-benar muak dengan cerita tentang makhluk itu. Aku masih cukup waras untuk tidak peduli dengan apa pun dewa yang akan datang. Semua itu hanya bualan mereka—para penguasa rakus—yang terus memperkosa alam dengan dalih menjaga keseimbangan, tapi sesungguhnya mereka hanya menjaga keseimbangan hidupnya sendiri.
“Ayesha, menurutmu, apakah Dewi Lanjar juga akan menghancurkan istananya sendiri?”
“Tidak, Paman. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Jika memang ia membutuhkan pagar, tentu lebih baik membangun bukit karang yang di masa depan akan lebih berguna sebagai rumah bagi burung-burung, bukan tiang-tiang bambu yang ditancapkan sembarangan dengan ikatan kawat dan paku-paku.”
Aku mengerti dengan maksud lelaki paruh baya itu. Ia masih mengkhawatirkan cerita-cerita itu akan menjadi kenyataan yang menakutkan, mencengkeram hati setiap nelayan sehingga tak berani lagi melempar jala dan membawa pulang ikan-ikan. Sial, memang! Mereka piawai menciptakan mitos-mitos demi mengaburkan segala kejahatan yang telah direncanakan. Mereka berbicara tentang kelestarian dan perlindungan, tetapi diam-diam tangannya membangun puluhan menara berdinding kaca di atas tanah dan air laut yang dirampas. Mereka membangun taman-taman surga untuk mereka sendiri. Sementara laut dibiarkan kehilangan nelayannya. Tak ada yang peduli.
Senja merayap. Lelaki paruh baya itu masih memandang pagar bambu yang berderet di laut. Sesekali ia menghempaskan asap kreteknya keras-keras. Angin pun dengan segera menghapus jejak asap kelabu itu dari bibirnya yang hitam membiru. Sedangkan aku masih berusaha memahami apa yang mesti dilakukan lagi. Apakah aku harus diam atau melawan? Adakah gunanya melawan jika akhirnya aku hanya akan menjadi korban, seperti nasib mereka yang telah lebih dulu menentang ketamakan tikus-tikus itu?
“Jika mereka datang, apa yang akan kita lakukan?”
“Mereka tidak akan datang, Paman.”
“Tapi jika benar mereka datang, bagaimana?”
Aku tidak menjawab. Laut tetap berdebur, pasir tetap dingin, dan bambu-bambu itu tetap mencuat seperti segaris luka yang lintang-melintang di atas tubuh laut. Kapal-kapal besar di kejauhan perlahan merapat. Mungkin mereka sedang melakukan persiapan pesta perayaan kemenangan setelah berhasil menancapkan tiang-tiang. Lelaki paruh baya itu, hanya bisa menatap getir, karena mungkin sebentar lagi sebutir pasir pun tak akan bisa disentuhnya lagi di tempat ini.
Angin laut bertiup lebih kencang. Ia menghisap kretek untuk terakhir kalinya, lalu bangkit meninggalkan pantai dan aku mengikuti di belakang langkahnya.
***
Setelah fajar, berita tentang pagar bambu yang runtuh tersebar luas. Para nelayan mulai berani melaut kembali. Mereka yang dulu hanya diam kini berani berbicara. Di sisi lain, penguasa yang selama ini menancapkan pagar-pagar bambu itu mulai gusar. Mereka mengirim orang-orangnya untuk mencari siapa yang bertanggung jawab. Perahu-perahu diberangkatkan sejak pagi, menyisir setiap tepian pantai untuk menemukan siapa dalang di balik runtuhnya sebagian pagar laut.
Aku tersenyum dalam hati. Akhirnya tikus-tikus itu gerah juga. Mulutnya tak henti mencericit, memanggil-manggil sang Raja Laut, juga menyebut utusannya, makhluk dengan sembilan butir kepala berkalung naga yang menggantung di lehernya. Tapi kuyakin makhluk itu juga tak akan pernah menampakkan batang hidungnya. Karena semua itu hanya bualan dan mereka sendiri pun kesulitan membuktikannya. Sementara di dalam bilik rumah panggung milik lelaki paruh baya yang kutinggali untuk sementara waktu, aku dan para nelayan tahu, bahwa ini baru awal dimulainya sebuah cerita baru. Dan sudah barang tentu, tikus-tikus itu juga tak akan tinggal diam. Mereka akan terus mencericit sembari tak henti berlompatan ke sana kemari.
Malam itu, di antara suara debur ombak yang jauh, semilir angin seperti mendendangkan nyanyian pengantar tidur. Tiba-tiba dari balik bilik rumah panggung, telingaku menangkap suara-suara derap langkah. Aku waspada mengintip dari balik jendela. Kulihat beberapa orang berpakaian serbahitam dengan cahaya berkelebat-kelebat di tangannya. Di setiap pinggangnya juga terselip senjata. Ah, betapa busuknya tikus-tikus itu. Mereka selalu senang bermain di belakang. Kenapa mereka tak pernah berani saling bersitatap secara langsung? Apakah karena memang begitulah tabiat tikus, selalu menggunakan kelicikan?
Para bedebah berpakaian serbahitam itu mulai berbisik satu sama lain. Mungkin mereka tengah bersiap mengepung rumah ini. Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini. Dengan segera kukemasi barang-barang seadanya dan bergegas keluar melalui pintu belakang. Kalaupun akhirnya harus kalah, aku tak boleh begitu saja menyerah. Nenek moyangku adalah pejuang tangguh yang telah mewariskan darah kesatria, bukan nyali seekor tikus yang hanya senang berkubang dalam got dan ruang-ruang kosong yang gelap.
Saat aku berjingkat, ternyata salah seorang dari mereka berhasil menyergapku. Cahaya di tangannya segera ditancapkan persis ke mataku, membuatku terpejam karena tak kuasa menahan silaunya.
“Aku menemukannya!”
“Siapa?”
“Cecunguk ini.”
Dengan segera mereka merangsek. Semua cahaya dihunjamkan hingga membuatku tak berdaya karena keterlaluan silaunya. Tiba-tiba satu tendangan bersarang tepat di lambungku, membuatku tersungkur mencium pasir yang basah. Dalam kesakitan, aku tak henti berbisik dalam hati. Aku adalah kesatria. Nenek moyangku mewariskan darah pejuang. Aku tak akan menyerah. Sekuat tenaga aku bangkit. Dan tiba-tiba beberapa pukulan mendarat lagi tepat di kepalaku, di dadaku, di kakiku. Aku tersungkur lagi.
“Bisa apa kau?”
“Bangun! Kayak kurang makan saja kau ini. Ayo bangun!”
Mulutku mendesis. Salah seorang dari mereka mencengkeram tengkukku. Mengangkatku ke udara dan satu pukulan yang jauh lebih keras akhirnya melesak di dadaku. Aku terkapar dalam posisi telentang.
Oh, arwah nenek moyang yang gagah. Lihatlah, seorang cucumu telah dibantai. Mulutku mendesis-desis dengan bahasa yang tak akan pernah dipahami para bedebah ini. Mereka hanyalah kaum penyembah uang yang tak akan peduli dengan segala rasa kemanusiaan. Karena sejatinya mereka hanyalah binatang yang dipelihara untuk mengamankan kekuasaan.
***
Langit telah gelap sempurna di atas kepala. Bayang pohon dan batang-batang kelapa yang berjajar tampak muram. Deburan ombak masih terdengar menggempur pantai. Aku dan lelaki paruh baya itu perlahan berjalan meninggalkan pantai yang tampak semakin asing di kejauhan. Aku yakin tak akan pernah ada siapa pun yang datang dari balik gelombang, termasuk makhluk dengan sembilan butir kepala berkalung naga yang menjadi utusan penguasa laut. Semua hanya omong kosong yang dihembuskan berulang-ulang untuk mengusik tidur setiap orang.
“Kau pernah melihat wajah-wajah kepalsuan mereka, Ayesha?”
“Sudah kelewat sering, Paman. Bahkan kepalsuan mereka telah menyatu dengan jiwanya, sehingga aku tak bisa membedakan mana wajah yang asli dan mana yang palsu.”
Lelaki paruh baya itu terkekeh lalu sedikit terbatuk karena mungkin tersedak asap kreteknya sendiri. Bahunya berguncang dalam keremangan. Aku pun tersenyum mengikuti langkahnya seraya mengusapkan telapak tanganku ke punggungnya.
Tak berselang lama, lelaki paruh baya itu telah tertidur di dalam biliknya. Suara dengkurnya menyatu dengan deburan ombak di kejauhan. Sementara aku, tak sedetik pun bisa terlelap. Batinku mendadak rusuh diliputi gelisah yang entah sejak kapan mulai merasukiku. Mati-matian aku memaksa kedua mataku terpejam.
Tiba-tiba laut bergelombang. Ombaknya seakan menggedor pintu dengan sangat keras. Dan berikutnya derap langkah itu terdengar lagi. Kuintip dari balik jendela. Sudah kuduga, para bedebah itu lagi rupanya. Sepertinya mereka sengaja menyatroni tidurku. Mereka seperti tak senang aku bisa terlelap barang sebentar.
Belum sepenuhnya aku terjaga, pintu sudah didobrak paksa. Seketika cahaya menyergap mata. Aku menghalau dengan tangan, tapi sia-sia. Cahaya itu semakin menyilaukan. Dalam sergapan cahaya, di antara riuh para bedebah, dari balik gelombang, aku melihat bayangan seseorang yang tampak begitu besar bersama seorang perempuan cantik di sisinya, turun dari sebuah kereta yang ditarik makhluk-makhluk setengah kuda setengah kepiting. Mereka berjalan bergandengan. Sementara di sisi yang lain, laut bergemuruh membentuk pusaran yang tiba-tiba saja memerangkapku. Lantas dalam sekali hentakan tubuhku telah terkapar di atas sebuah altar. Seekor makhluk besar dengan sembilan butir kepala berkalung naga dengan ikat pinggang kepala anjing bertaring, mengangkat kedua tangan ke udara, bersiap mengayunkan kapak.
Aku tak kuasa dan ambruk begitu saja.
“Ayesha! Ayesha! Bangun! Bangun, Ayesha!”
Aku tergeragap. Kulihat lelaki paruh baya itu telah berada di sampingku. Sorot matanya seperti teramat mengkhawatirkanku. Napasku terasa masih memburu dengan keringat dingin mengalir di sekujur tubuh.
Di luar, semilir angin dan deburan ombak terdengar lebih keras. Kurasakan tubuhku seperti dipenuhi butiran pasir basah. Aku menatap lelaki paruh baya itu yang kini menggeleng pelan, seolah tahu apa yang hendak kutanyakan. Lalu, di kejauhan, dari arah laut yang gelap, suara derap langkah terdengar lagi.