Laut tak pernah meminta batas. Ia lahir tanpa garis, tanpa pagar. Ia mengembara dari tepian ke tepian, menari bersama angin dan menggumamkan syair kepada nelayan yang menghamparkan jaring. Namun, hari ini laut tak lagi bernyanyi. Ia dicekik pagar-pagar besi, dipasung beton-beton rakus, dan disekat garis-garis yang tak ia kenali. Laut yang dulu bebas kini terbelenggu, seperti burung yang dipenjara dalam sangkar sempit.
***
Matahari baru naik sepenggalah ketika Pak Arif menatap lautan yang tak lagi sama. Mulai dari Pantai Tangsi, Tanjung Ringgit, sampai Pantai Pink, Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, kini telah berubah. Dulu, tempat ini merupakan daerah aman bagi nelayan untuk mencari ikan. Kini, telah menjadi milik beberapa perusahaan terbatas (PT). Ada yang menguasainya untuk budidaya kerang mutiara, ada pula yang mengembangkannya untuk pembangunan hotel.
Namun, bagi Pak Arif, seperti juga nelayan lainnya, laut merupakan tempat menggantungkan hidup. Hari itu, ia bersama anaknya, Budi, pergi melaut. Pak Arif tahu, laut tak seramah dahulu lagi.
“Apa itu, Pak?” tanya Budi, sambil menunjuk pagar beton di pesisir Pantai Tangsi. Matanya penuh kebingungan. Anaknya memang belum tahu banyak tentang perubahan yang terjadi. Budi baru beberapa hari pulang dari pondoknya, liburan. Budi mondok di sebuah pondok pesantren, yang jauh dari tempat tinggalnya.
Pak Arif menarik napas dalam. “Itu tembok pembatas lahan, Nak. Mereka bilang lahan ini sudah dimiliki oleh sebuah perusahaan untuk pembangunan hotel.”
Budi tambah heran. “Tapi kenapa dipagari? Bukankah di sini tempat kita menambatkan perahu sehabis melaut?”
Pak Arif terdiam, tak bisa menjawab. Ia sendiri tak mengerti mengapa laut yang dahulu menjadi sumber kehidupan kini diubah menjadi semacam penjara. Tembok beton itu, berdiri dengan angkuhnya, melewati sepadan pantai. Membatasi akses nelayan. Para nelayan tak bisa lagi melewatinya untuk pergi melaut, apalagi mau menambatkan perahunya. Ombak yang dulu bebas berlarian kini berdebur putus asa, terhenti sebelum sempat menyentuh pasir tempat anak-anak desa biasa bermain. Mereka dipaksa menambatkan perahu di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Anak-anak dirampas hak bermain di pantainya sendiri.
Pak Arif mengarahkan perahunya ke arah Pantai Pink, tempatnya biasa mencari ikan. Di ujung pandangannya, di bawah laut, ia melihat deretan tiang beton berdiri pongah. Menancapkan kaki-kakinya ke dasar laut seperti monster yang lapar.
Pak Arif mencoba melepaskan jaring, menjala ikan, berharap ada yang tersangkut untuk menyambung hidup bersama keluarga yang menantinya di rumah. Tapi, bukannya ikan yang didapat, jaringnya malah tersangkut tiang beton dan robek. Tak cuma itu, penjaga keamanan perusahaan budidaya kerang mutiara mengusir mereka dengan sangar. Seolah mereka bukan pemilik laut, tak ada hak mencari ikan di tempat itu.
“Kenapa kita diusir, Pak?” tanya Budi, tak mengerti.
“Kita tidak boleh lagi menangkap ikan di sini. Mereka bilang ini kawasan budidaya mutiara,” jawab Arif pelan, sambil memandang ke lautan dengan tatapan kosong.
Pak Arif dan Budi mendayung perahunya, mencari tempat lain untuk menjala ikan. Hari itu, mereka mendapat ikan tak sebanyak seperti biasanya. Sekadar cukup membeli beras untuk dikonsumsi sehari bersama keluarganya. Mereka kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu.
***
Dulu, sebelum tiang dan pagar beton itu ada, laut adalah rumah. Pak Arif dan nelayan lainnya tak butuh peta atau izin untuk menebar jala. Mereka tahu kapan ikan berdansa di permukaan, kapan udang sembunyi di balik karang. Setiap gelombang membawa rezeki, dan setiap debur ombak adalah doa bagi mereka yang hidup dari air asin.
Tapi kini? Laut seperti ladang yang dipagari tuannya sendiri. Konon katanya, tiang dan pagar laut ini demi pembangunan, demi ekonomi, demi masa depan. Namun bagi Pak Arif, tiang dan pagar ini adalah lambang pemiskinan. Perahu tak bisa lagi merapat dengan bebas. Ikan-ikan menghilang, takut pada kebisingan mesin-mesin yang menggali perut laut demi proyek entah apa. Mereka yang dulu menjaring rezeki kini dijaring aturan, terjaring ketidakpastian.
***
Di balai Desa Sekaroh, suara-suara meledak bagai petir di siang bolong. Para nelayan berkumpul, wajah-wajah mereka dipenuhi amarah dan gelisah.
“Kita ini anak laut! Tapi kenapa laut seperti bukan milik kita lagi?” seru Pak Syukur, lelaki tua yang rambutnya seputih buih ombak.
“Kita harus melakukan sesuatu! Tidak bisa diam saja!” sahut Pak Arif, kali ini dengan suara yang lebih tegas.
“Tapi apa yang bisa kita lakukan? Mereka punya kekuasaan,” kata seorang nelayan lain.
“Kita punya suara. Kita punya hak. Mari kita ajukan protes ke pemerintah. Jika mereka tidak mendengar, kita akan cari cara lain,” jawab Pak Arif.
Suasana di balai desa semakin panas. Beberapa nelayan mengusulkan untuk mengadakan demonstrasi ke kantor pemerintah setempat. Yang lain mengusulkan untuk melibatkan media agar suara mereka didengar oleh lebih banyak orang. Namun, ada juga yang ragu, takut akan konsekuensi yang mungkin mereka hadapi.
“Kita harus bersatu,” kata Pak Arif lagi, mencoba menenangkan suasana. “Jika kita terpecah, mereka akan semakin mudah menginjak kita.”
Akhirnya, mereka sepakat untuk mengumpulkan tanda tangan dari seluruh warga desa sebagai bentuk dukungan. Mereka juga akan membuat surat resmi yang akan disampaikan ke pemerintah daerah.
***
Malam itu, Pak Arif duduk di tepian pantai, menatap laut yang tak lagi leluasa. Angin membawa suara-suara ombak yang seperti menangis. Ia tahu, laut pun merintih. Tapi kali ini, ia tak hanya bisa meminta maaf.
“Kami akan berjuang untukmu, Laut,” bisik Pak Arif. “Kami tak akan biarkan mereka merampas kebebasanmu.”
Dan di langit, bulan seolah tersenyum, menyaksikan tekad baru yang tumbuh di hati Pak Arif dan para nelayan. Laut mungkin terpenjara hari ini, tetapi nyanyian ombak tak akan pernah benar-benar padam.
***
Esok harinya, Pak Arif dan beberapa nelayan pergi ke kantor pemerintah daerah. Mereka membawa surat yang telah ditandatangani oleh ratusan warga desa. Namun, mereka hanya disambut oleh pegawai rendahan yang tak bisa mengambil keputusan.
“Kami akan menyampaikan ini ke atasan kami,” kata pegawai itu dengan nada datar.
Pak Arif merasa frustrasi, tapi ia tak menyerah. Ia tahu perjuangan ini tak akan mudah. Ia dan para nelayan mulai mencari cara lain. Mereka menghubungi organisasi lingkungan dan aktivis yang peduli pada hak-hak masyarakat adat.
Beberapa minggu kemudian, sebuah tim jurnalis datang ke Desa Sekaroh. Mereka mewawancarai para nelayan dan mendokumentasikan kondisi laut yang terpenjara. Liputan itu akhirnya muncul di media nasional, menarik perhatian banyak orang.
Tekad Pak Arif dan para nelayan semakin kuat. Mereka tahu, perjuangan ini belum berakhir. Tapi setidaknya, mereka telah mengambil langkah pertama. Dan di tengah segala keterbatasan, mereka tetap percaya bahwa suatu hari nanti, laut akan kembali bernyanyi.
***
Laut mungkin terbelenggu, tapi semangat manusia yang hidup darinya tak pernah padam. Nyanyian ombak yang terpenjara itu mungkin redup, tapi ia tetap ada, menunggu saatnya untuk kembali bergema.
Jerowaru, 21 Februari 2025