Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Alif Kahlil Gibran | Di Balik Pagar Laut



Langit masih kelam ketika Pak Hasan melangkah ke dermaga. Ia merapatkan jaket lusuhnya, menahan dingin yang merayapi kulit. Di kejauhan, debur ombak terdengar seperti bisikan lama yang selalu menenangkannya. Laut adalah rumahnya, tempat ia mencari nafkah sejak remaja, tempat yang selalu ia percayai tak akan pernah mengkhianatinya.

Namun, rumah itu kini terasa asing. Sejak sebulan lalu, pagar laut menjulang di sepanjang pesisir, membatasi langkah nelayan-nelayan seperti dirinya. Bambu-bambu tinggi itu berdiri kokoh, menghalangi mereka menuju laut lepas. Seperti tembok yang tak kasat mata, ia merampas kebebasan mereka, membiarkan perahu-perahu kecil berderet tak terpakai di bibir pantai.

Pak Hasan menatap lautan dari celah-celah pagar. Di balik batas itu, ia bisa melihat ombak yang dulu setia menemaninya berlayar, kini hanya tampak sebagai kenangan yang menjauh. Tangannya mengusap kayu tua perahunya yang mulai berdebu, seakan ingin merasakan kembali kehangatan yang telah sirna. Ia menghela napas panjang, mengingat hari-hari ketika ia bisa dengan mudah mengayuh perahunya ke laut dan kembali dengan ember penuh hasil tangkapan. Kini, hanya angin asin yang menyambutnya, membawa serta ingatan tentang malam-malam penuh tawa bersama teman-teman sesama nelayan, yang kini lebih sering duduk termenung di rumah.

Di rumah kayunya yang sederhana, suara gelak tawa anak-anaknya pun kian jarang terdengar. Dulu, setiap ia pulang melaut, Aji akan berlari menyambutnya, berharap ada ikan segar untuk dimasak oleh ibunya. Tapi sekarang, Aji hanya duduk diam di sudut rumah, menunduk di hadapan sepiring nasi yang lauknya semakin jarang terisi ikan. Pak Hasan memejamkan mata, merasakan nyeri yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Ia kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar laut, ia kehilangan hidup yang selama ini ia kenal.

Sejak pagar laut berdiri, kehidupan Pak Hasan berubah drastis. Dahulu, setiap pagi ia pulang membawa hasil tangkapan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sekarang, ia pulang dengan tangan kosong, hanya membawa rasa lelah dan kecewa.

"Pak, ikan kita habis," kata Siti, istrinya, suatu pagi ketika ia baru saja pulang. Wajahnya tampak letih, matanya sembab setelah malam-malam sulit tidur memikirkan kebutuhan rumah tangga.

Pak Hasan hanya mengangguk, meletakkan jaring yang tak banyak berguna lagi di sudut rumah. Mereka harus berhemat, menunda membeli beras, mengurangi lauk, dan menukar ikan dengan ubi dari tetangga. Anak bungsunya, Aji, yang masih bersekolah, mulai sering mengeluh lapar.

"Ayah, aku ingin makan ikan seperti dulu," katanya dengan suara lirih. Pak Hasan terdiam. Dulu, sebelum pagar itu ada, ia bisa dengan mudah memenuhi permintaan sederhana ini.

Hari-hari berlalu dalam kesulitan. Beberapa nelayan memilih mencari pekerjaan lain, ada yang menjadi buruh bangunan, ada yang merantau ke kota. Namun, bagi Pak Hasan, laut adalah segalanya. Ia tak bisa begitu saja meninggalkan perahunya.


Dampak pagar laut ini tak hanya terasa di dapur rumahnya, tetapi juga pada ekosistem pesisir yang semakin terganggu. Struktur bambu dan pemberat pasir yang digunakan untuk membangun pagar ini mengubah arus laut secara drastis. Ikan-ikan kecil yang dulu berkembang biak di perairan dangkal mulai berkurang, populasi udang dan kerang yang menjadi sumber penghidupan tambahan bagi masyarakat juga terganggu. Para nelayan bukan hanya kehilangan akses untuk menangkap ikan, tetapi juga melihat laut mereka semakin kehilangan nyawa.

Di perairan yang dahulu kaya, kini hanya tersisa keheningan. Karang yang seharusnya menjadi rumah bagi berbagai spesies laut perlahan tertutup lumpur yang terperangkap akibat perubahan arus. Pak Hasan mendengar cerita dari nelayan lain tentang semakin sulitnya menemukan tangkapan, bahkan bagi mereka yang masih nekat menerobos pagar di malam hari.

"Ini bukan sekadar soal kita yang tak bisa melaut, Pak Hasan," kata seorang nelayan muda. "Laut ini sekarat. Kita bukan satu-satunya yang kehilangan tempat mencari makan."

Pak Hasan mengangguk. Laut yang dulu penuh kehidupan kini mulai terasa seperti perairan mati. Tak ada ikan, tak ada nelayan. Hanya pagar yang berdiri sombong di tepi pantai.


Suatu hari, di warung kopi tempat para nelayan biasa berkumpul, seorang pemuda bernama Rian mendatangi mereka. Ia adalah seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di desa mereka.

"Pagar laut ini tidak hanya merugikan nelayan, tapi juga merusak ekosistem," katanya. "Tanpa akses ke laut, nelayan kehilangan sumber penghidupan, dan ikan pun terganggu habitatnya. Ini jelas pelanggaran hak masyarakat."

Beberapa nelayan mengangguk setuju. Mereka sudah merasakan dampaknya secara langsung. Namun, rasa takut menghantui mereka. Mereka tak tahu siapa yang membangun pagar itu, hanya ada kabar burung bahwa sebuah perusahaan besar berada di baliknya.

"Kalau kita melawan, apa kita tidak takut diancam?" tanya seorang nelayan tua.

Pak Hasan menggenggam cangkir kopinya erat-erat. Ia paham ketakutan itu. Tapi ia juga tahu, jika mereka diam, maka pagar itu akan tetap berdiri dan mereka akan terus menderita. Dengan suara mantap, ia berkata, "Kita tidak bisa terus begini. Kita harus bersuara."


Perjuangan mereka dimulai dari laporan ke pemerintah setempat. Dengan bantuan Rian, mereka mengumpulkan bukti, foto-foto pagar laut, dan testimoni nelayan yang kehilangan mata pencaharian. Namun, laporan mereka hanya dijawab dengan janji-janji tanpa kepastian. Pejabat desa seolah menutup mata.

Pak Hasan tidak menyerah. Bersama Rian, ia mengajak nelayan lain untuk berbicara kepada media. Mereka mengundang wartawan untuk melihat sendiri bagaimana pagar itu menghancurkan hidup mereka. Berita pun menyebar luas, dan dukungan mulai berdatangan dari berbagai pihak.

Tekanan publik semakin besar, hingga akhirnya pemerintah pusat turun tangan. Setelah serangkaian investigasi, terbukti bahwa pagar itu dibangun secara ilegal oleh perusahaan yang ingin menguasai lahan pesisir untuk kepentingan pribadi. Pemerintah memerintahkan pembongkaran pagar dan menjatuhkan sanksi kepada pihak yang bertanggung jawab.


Hari itu, Pak Hasan berdiri di pantai, menyaksikan pekerja-pekerja membongkar pagar yang telah lama menghalangi mereka. Air mata menetes di wajahnya. Ia merasa seperti mendapatkan kembali sesuatu yang selama ini hilang. Bukan hanya laut, tapi juga harapan.

Saat ia duduk di dermaga dengan Aji, anaknya bertanya, "Ayah, kalau suatu hari ada pagar lagi, apa kita akan melawan lagi?"

Pak Hasan menatap laut yang kembali menjadi sahabatnya. Dengan suara mantap, ia berkata, "Selama ada laut, selama ada langit, kita akan selalu berjuang. Karena yang kita pertahankan bukan hanya mata pencaharian, tapi juga kehidupan."

Tak jauh dari sana, ombak terus berdebur, membawa cerita tentang perjuangan yang tak akan pernah padam.

Saat pertama kali mengayuh perahunya kembali ke laut lepas, angin laut terasa lebih sejuk dari sebelumnya. Ombak menyambutnya dengan lembut, seolah berkata, "Selamat datang kembali, sahabat lama."

Pak Hasan tersenyum. Perjuangan ini belum selesai, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bebas.