Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Fitra Firdaus Aden | Nada Merah Muda, Kamu Masih Ingat Gaza?



Naga raksasa berukuran 30,16 km itu meliuk-liuk di ujung sana, sama persis dengan yang diceritakannya. 

---o0O0o---


"Mim, kamu masih ingat Gaza?"

Pesan WA dari Yasin itu meruyak konsentrasiku. Cuk! Diri ini mengumpat sekerasnya dalam hati. Bisa-bisanya Yasin mengirim pesan pada saat seperti ini! Dia kan tahu, aku editor di sebuah media online yang kerjanya 7 to 5? Presentasiku tentang jumlah pembaca kanal humaniora di depan Pak Wapemred terhenti.

"Mim, Aku rindu waktu kita mancing di PLTU Kronjo itu."

Hendak apa lagi dia? Basa-basi begini pasti ujung-ujungnya cuma pinjam uang lagi untuk anaknya. Yang tiga bulan lalu saja baru dibayar seperempatnya!

"Oke, oke. Kita ada reporter yang meluncur ke lokasi pagar laut itu, Mim. Oke, kamu kerahkan timmu untuk mengulik tema yang muncul di pencarian google. Nangkap maksudku, Mim?" Pak Wapemred bicara, menghalau ingatanku tentang Yasin.

"Siap, Mas."

Hanya itu yang kuucap.

---o0O0o---


Malam itu, Bumi, anakku, rewel minta ampun. Ibunya sudah meninabobokannya, menggendong kian-kemari, tapi dia tak kunjung mau tidur. Bumi terus merengek, mengisap ASI ibunya tanpa henti, menggigit puting payudara Nun keras-keras dengan gusinya.

"Mas, kalau ada masalah di kantor, selesaikan di sana, jangan bawa pulang! Lihat anakmu ini!” Nun menyergah, menegurku yang juga nyaris meledak.

Aku diam, takut Nun terkena muntab suaminya yang sedang oleng ini. Dia tidak bersalah. Aku yang salah. Dia selalu menyambutku dengan senyum, menuangkan teh manis hangat, tapi justru ini balasanku: menebar aura negatif yang mengganggu Bumi.

"Mim, di pantai dekat rumahku ada naga raksasa! Kamu mesti melihatnya."

Pesan Yasin yang muncul selepas isya' tadi nyatanya mengganggu kami hingga sekarang, waktu jarum jam pendek bergerak ke angka sepuluh. Nun mengeluh, dan Bumi menjerit.

---o0O0o---


Mataku membeliak tidak percaya dengan pemandangan di depan sana. Seekor naga berwarna merah muda duduk di kursi meja makan kami. Tangan mungilnya menggenggam secangkir teh hangat yang uapnya meliuk-liuk.

"Makhluk apa kamu? Kenapa bisa masuk ke rumahku?! Apa istriku yang menyediakan teh untukmu?!" tanganku menggapai-gapai ke belakang, mencari sapu, potongan pipa, atau apa pun itu, sembari mataku terus menatapnya tajam, coba mengintimidasi.

"Eheee, jangan khawatir, Tuan Mim. Saya datang bukan untuk menyakiti Anda. Eheee, saya cuma ingin mengingatkan untuk berkemas-kemas. Mulai besok ... eheee ... ini jadi rumah saya."

Bangsat! Apa maunya naga merah muda ini?!

"Sejak kapan kamu membeli rumah ini?!"

"Eheee ... sejak Anda tidak membalas pesan WA sahabat Anda sendiri."

---o0O0o---


Seminggu lamanya aku bermimpi yang nyaris sama. Ada naga merah muda yang masuk rumahku dengan skenario berbeda-beda. Pernah dia muncul di kamar mandi sedang menggosok badan dengan sabun. Sekali waktu di ruang tamu, membersihkan lukisan Kabah dengan kemoceng. Terakhir, dia tidur mendengkur sembari memeluk guling.

Anehnya, sejak naga itu meruyak mimpiku, tidak ada lagi pesan WA dari Yasin. Barangkali dia kecewa sahabat lamanya di kampus ini tak mau menjawab barang dua-tiga kata. Barangkali pula dia sadar, aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Sudah 9 tahun kami tak bertemu muka, sudah 5 kali dia meminjam uangku.

Yasin kuliah di fakultas yang sama denganku, tapi beda jurusan. Kami akrab karena masuk di lembaga dakwah islam fakultas. Sejak awal jumpa, Yasin sudah sangat peduli dengan konflik Israel-Palestina. Apalagi, pada masa-masa awal kuliah kami, terjadi peristiwa Bentrokan Armada Gaza. Dengan semangat berapi-api yang kadang membakarku, Yasin menyatakan, sudah saatnya sang penjajah itu tumbang, sudah waktunya sang perebut tanah itu binasa.

Tapi, pada semester enam, Yasin tiba-tiba menghilang. Tidak ada kabar apa-apa darinya. Nomornya pun tak bisa dihubungi. Kupikir dia mungkin ambil cuti barang satu semester. Ternyata tidak. Dua, tiga semester berlalu, jejak Yasin tetap tak terbaca. Apakah ia lantas memilih jadi nelayan, melanjutkan pekerjaan ayahnya yang sudah sakit-sakitan, aku tak tahu.

Lalu, tibalah hari itu. Hari ketika aku dan dia bertemu. Tidak secara fisik, tetapi lewat Instagram. Seseorang mengirimiku DM, "Bro apa kabarnya?". Kuabaikan berbulan-bulan karena bukan mutual. Namanya pun aneh, Bapak Losta Masta. Sampai kemudian, dia mengirim pesan "Mim, kamu masih ingat Gaza?". Cuma satu orang yang akan bertanya demikian kepadaku.

Tapi, sekitar satu jam kami melepas rindu, mengobrol masa muda penuh kemenangan dengan jemawa, jarak langsung tercipta.

"Mim, aku lagi butuh uang. Pinjam dulu boleh? 500 ribu saja kok."

---o0O0o—


Kenapa kami harus dipertemukan kembali dengan cara begini? Kenapa bertumbuh dewasa justru membuatmu jauh dari sahabatmu? Kenapa aku bisa lulus kuliah tepat waktu, bekerja di bidang yang kusukai, sedangkan Yasin terjun bebas tanpa bisa mengelak dari takdir?! 

Kenapa, dari sekian orang yang kujumpai saat kuliah, justru Yasin yang menjadi musuhku? Temanku berbagi mie instan kalau sudah tanggal tua. Temanku yang pernah mengajakku menginap di rumahnya hampir seminggu, memancing di PLTU Kronjo? Temanku yang menyuarakan kebebasan untuk Gaza dan Palestina, tetapi kakinya sendiri terjerat oleh tali bernama ketidakbebasan?! Kenapa aku membencinya hanya karena diri ini punya uang, dan dia membutuhkannya?!

Empat juta 700 ribu rupiah, -yang bukan uang kecil untuk Mim ini dan Nun- direnggutnya sedikit demi sedikit dariku; dirampasnya seakan dia yang lebih berhak, dan aku yang harus mengalah. Hingga kini.

Hingga kini, aku sekali lagi berkunjung ke rumahnya, ketika Yasin sudah menghilang selama-lamanya.


"Hari-hari terakhir, Kang Yasin sering bercerita tentang Mas Mim," adiknya, Toha, yang masih sangat muda, mungkin seusia kuliah atau SMA, mencari mataku. Toha yang bertahun lalu masih ingusan, merengek minta diajak ke PLTU Kronjo, tapi tak dibolehkan Yasin.

"Katanya, nggak ada teman yang sebaik Mas Mim. Yang lain sudah pergi, nggak mau kenal sama Kang Yasin lagi."


Kemarin, hari keenam sejak Yasin terakhir kali berkirim pesan, Pak Wapemred memintaku turun ke lapangan. Dia bilang, aku harus menemani reporter karena ada sesuatu yang besar di Kronjo. Lalu, pagi ini, grup alumni fakultasku yang biasanya sepi, dihujani pesan. Yasin ditemukan gantung diri. Semua mengucapkan kalimat ‘inna lillahi’ dan menyebut kebaikannya, walaupun aku yakin, ada beberapa yang menyimpan luka yang sama sepertiku terhadapnya.


"Sejak Bapak meninggal, ekonomi kami kacau, Mas Mim," Toha melanjutkan ceritanya. "Kang Yasin putus kuliah, pergi berlayar, mencari uang buat kami, adik-adiknya. Tapi, jadi nelayan itu sulit. Ikan-ikan makin sedikit. Zona melaut juga sudah dibatasi nggak boleh jauh-jauh,” Toha mengiba.

“Sekarang juga, sejak September tahun lalu, ada pagar bambu di mana-mana. Kalau nelayan mau melaut, harus memutar. Solar habis banyak, ikan yang ditangkap nggak seberapa. Kata orang-orang di sini, mending cari kerja lain saja. Nggojek atau nukang. Tapi, Kang Yasin bisa apa?"

Dan utangnya menumpuk. Saat meminjam untuk keempat kalinya padaku, Yasin bilang, baru saja ditinggal pergi istrinya. Padahal, sang anak masih kecil, belum juga 3 tahun. Dia berkata, "Aku bangun tiap hari di tempat yang sempit, Mim. Untuk bergerak saja nggak bisa."

Saat meminjam untuk yang kelima kalinya, sekitar 3 bulan lalu, tumben-tumbennya Yasin bermanis-manis di akhir percakapan, "Tenang Mim. Sebentar lagi aku dapat uang kok. Rumah bapakku akan dibeli calo tanah."

Kugigit bibir erat-erat. Ada sesak yang masuk ke dada.

Naga merah muda. Dia ingin menunjukkan naga itu kepada sahabatnya. Seseorang yang hingga akhir dia anggap sebagai sahabatnya.

---o0O0o—


Sore itu, setelah berpamitan dengan Toha dan menitipkan uang duka dari teman-teman, kupandangi pagar-pagar bambu yang menjulang itu. Pagar yang bagai tulang-belulang naga jika dilihat dari angkasa. 

 Dari laporan reporter kami, tampaknya pagar laut itu bukan pagar biasa. Ada yang lebih besar daripada itu, seperti yang dibilang Wapemredku. Pagar laut hanyalah tanda. Seluruh wilayah di belakang bambu-bambu ini, entah itu daratan atau pantai, akan dicaplok oleh raksasa kelam nun jauh di sana. Dicaplok tanpa sisa; dirampas seakan dari awal milik sang raksasa. Pemilik tanah yang asli, seperti Yaasin, suka tidak suka, harus  menyerah. Mereka mesti mau melepaskan sertifikat tanah itu dengan bayaran semurah-murahnya.

Apa bedanya ini dengan Israel yang mencaplok Gaza?!


Kuingat saat-saat sebelum meninggalkan rumah Yasin. Seorang anak muncul dari dalam kamar, memegang mainan perahu bertuliskan Losta Masta, menggelendot pada Toha. Mataku basah melihatnya. Mataku basah mengingat pesan-pesan terakhir Yasin yang tak pernah bisa kubalas sampai kapan pun jua.

"Gaza, ini Om Mim, temannya Bapak."

Mim, kamu masih ingat Gaza?