Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Hasna Faiha | Dilema Pangestu


Namanya Pangestu, lebih tepatnya Pangestu Suryadi. Sebelumnya, dia adalah seorang petani di kawasan Mojokerto, bekerja bersama sang istri yang selalu setia mendampinginya. Kehidupan mereka sederhana, tapi penuh makna. Namun, takdir mengantarkan mereka untuk mengadu nasib di kota yang jauh dari kampung halaman, kota perusahaan yang gemerlap, Kota Tangerang.

Berhari-hari, Pangestu menjadi penumpang gelap dalam truk pengangkut barang, berdesakan dengan barang-barang yang serasa menindih tubuhnya. Tanpa tahu apa yang dibawanya, barang itu terasa berat, basah, dan sesekali mengguncang tubuhnya seiring gerakan truk yang menderu. Ia ingin sekali tahu apa yang ada dalam terpal besar yang menyelubungi itu, namun rasa ingin tahu itu tak terwujud. Urung ia mengintip, karena toh itu bukan urusannya.

Akhirnya, mereka tiba di rumah kerabat. Keadaan menyambut mereka dengan seulas senyum yang kaku. Si bayi dalam gendongan menangis keras, raungan tangis yang seakan menggambarkan ketegangan yang meliputi hati. Mereka menumpang di atap milik sang saudara, sebuah rumah yang sempit, sesak, dan tampak tak layak huni. Namun, mau bagaimana lagi? mereka yang memilih untuk bertahan dan mencoba nasib di negeri orang.

Pangestu, dengan dokumen ijazah sekolah dasar yang sudah mulai lusuh, terjepit di bawah ketiak basah yang dipenuhi peluh. Di sekelilingnya, orang-orang sibuk dengan tujuan masing-masing. Semua melangkah menuju kereta, Pundak mereka berat oleh tuntutan pekerjaan yang tiada habisnya. Sedangkan Pangestu, meski tanpa beban pekerjaan apapun, merasakan bahwa pundaknya tak lebih ringan—justru terasa hampa, kosong. Ia tidak membawa apa-apa selain secarik harapan dan impian yang terbungkus rapat dalam saku celana robek yang sudah mulai usang.

Semua orang yang ada di dalam kereta itu, Pangestu pikir, pasti memiliki dompet yang gemuk, penuh dengan hasil jerih payah mereka. Dompet yang mungkin mereka isi dengan keringat, dengan air mata yang terkadang jatuh tanpa terdengar. Pangestu ingin sekali merasakan sensasi itu, merasakan ada sesuatu yang menghangatkan kantongnya yang kosong, seolah bisa menghangatkan juga hatinya yang kedinginan. Ia membayangkan, suatu hari nanti, ia akan punya dompet yang penuh. Suatu hari nanti, ia akan pulang ke rumah dengan tangan penuh, membanggakan istrinya yang girang, di antara rumah megah yang dibangun dengan kerja kerasnya.

Namun, itu hanya angan. Realitas menuntutnya untuk terus berjuang. Ia berusaha mencari pekerjaan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, meski sering ditolak. Sang istri tetap setia, memberinya semangat. "Setiap usaha akan membuahkan hasil," katanya sambil memijat pundak suaminya yang lelah.

Hari demi hari berlalu dengan kelelahan yang semakin menggunung, namun semangat Pangestu tak pernah padam. Ia sering terjaga di tengah malam, memikirkan nasibnya. Ia tahu hidupnya tak akan berubah dalam semalam, tetapi setiap langkah yang ia ambil adalah bagian dari takdir yang ia pilih. Meskipun berulang kali gagal, ia tetap bertahan.

Suatu pagi, sebuah panggilan telepon mengubah hidupnya. "Selamat, Pangestu Suryadi. Anda diterima bekerja di perusahaan kami." Ia hampir tak percaya, nama perusahaan itu begitu besar dan terkenal, sesuatu yang selama ini hanya ada dalam angan-angannya. Pangestu merasa seperti ditarik keluar dari dunia penuh keterbatasan dan memasuki lembaran baru yang penuh harapan.

Ia kini adalah seorang pekerja dari PT Agung Sentosa. sebuah perusahaan Ternama Raksasa sepanjang siluet permukaan sejarah. sebuah perusahaan yang bergerak di bidang komersial dan hunian.

Pangestu diliputi kegelisahan saat menerima kesempatan besar di perusahaan ternama. Hidupnya yang sederhana, penuh kejujuran, kini berubah drastis.

Hari pertama terasa asing. Lingkungan serba cepat dan teratur membuatnya merasa seperti orang luar. Namun, ia bertekad bertahan. Lambat laun, kerja kerasnya dihargai. Meski begitu, keraguan masih menghantuinya—dunia baru ini begitu berbeda dari yang ia bayangkan.

Hari-hari berlalu, dan meskipun aneh rasanya hidup di dunia yang serba cepat dan teratur ini, Pangestu mulai merasakan bahwa ia bisa menemukan tempatnya di sini. Kejujuran dan kerja keras yang ia bawa dari desa, yang dulu tampak begitu sederhana, ternyata dihargai.

Pangestu duduk di depan meja kayu yang tampak kokoh, meskipun sedikit usang, di ruang kerja yang penuh dengan suara ketikan keyboard dan percakapan serius di sekitarnya. Di tangan kirinya, selembar dokumen tergeletak begitu saja, seperti pesan yang tak terucapkan. Di atas kertas itu, ada tanda tangan, ada instruksi, dan ada harapan. Ini adalah pekerjaan pertamanya di perusahaan besar yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—sebuah dunia yang penuh dengan hal-hal yang tampaknya begitu asing.

Dokumen itu tampak sederhana, namun berat. Tertulis jelas di bagian atas, "Laporan Proyek A – Deadline: 5 hari." Namun, bagi Pangestu, itu lebih dari sekadar kata-kata yang tertera. Itu adalah awal dari tantangan yang begitu besar, tantangan yang tak pernah ia duga akan ia hadapi.

Lima hari yang penuh tantangan menantinya—membangun jembatan, memperbaiki sarana air, dan bekerja langsung dengan masyarakat.

Hari pertama di desa pesisir terasa seperti sebuah perjalanan yang menuntut segala kesabaran dan kecermatan. Begitu tiba, Pangestu disambut oleh kepala desa yang ramah, meskipun matanya mencerminkan kelelahan hidup yang tak terlihat di balik senyumannya. Di sekelilingnya, orang-orang desa sibuk dengan aktivitas mereka—memancing, memperbaiki perahu, atau sekadar duduk di warung kopi sederhana sambil berbincang.

Pangestu langsung memulai dengan survei lapangan. Ia mengunjungi setiap titik yang perlu diperbaiki, berbicara dengan penduduk, dan mengamati dengan seksama apa yang paling mendesak.

Tentu saja, ada tantangan yang datang, seperti sulitnya akses ke beberapa titik, atau cuaca yang tidak selalu bersahabat. Namun, Pangestu tak gentar. Ia memastikan semuanya berjalan dengan lancar.

Hari kedua dan ketiga, Pangestu bersama tim yang terdiri dari beberapa warga desa mulai bekerja. Mereka menggali, memasang batu, merapikan jalur yang akan menjadi jembatan, memperbaiki pipa-pipa yang sudah bocor. Pekerjaan yang berat, namun terasa ringan ketika dilihat dari wajah-wajah yang saling membantu.

Hari keempat, pekerjaan hampir selesai. Jembatan sederhana itu sudah berdiri kokoh, sarana air bersih yang sempat bocor kini sudah diperbaiki. Pangestu melihat senyum-senyum warga yang berterima kasih. Di matanya, ada rasa haru yang dalam. Semua kerja keras, tantangan, dan ketegangan itu terasa sebanding dengan hasil yang sudah tercapai.

Hari kelima adalah hari terakhir. Meski tubuhnya mulai lelah, Pangestu merasa ada rasa kebanggaan yang besar dalam dirinya. Proyek ini bukan hanya soal menyelesaikan pekerjaan fisik, tetapi tentang meninggalkan jejak di hati orang-orang yang tinggal di sini.

Saat merasa puas, telepon dari atasannya bergetar, suaranya terdengar tegas dan dingin.

Pangestu mengangkat telepon dengan perasaan campur aduk. Suara bosnya terdengar tegas, tanpa basa-basi. "Ada tugas rahasia. Suap warga dengan uang seratusan. Jangan banyak tanya. Kalau gagal, akibatnya besar."

Pangestu terdiam. Hatinya bergejolak antara moralitas dan kebutuhan. Bosnya menambahkan, "Lakukan ini, hidupmu aman bersama istrimu. Ada bonus menanti."

Menatap malam yang sunyi, Pangestu merasa terjebak. Ia mengenal warga desa, orang-orang baik yang mempercayainya. Tapi perintah bos adalah jalan yang harus ditempuh demi kelangsungan hidupnya.

Dengan langkah berat, ia melangkah menuju takdirnya, terhimpit antara integritas dan keterpaksaan.

Pangestu menggenggam erat uang seratusan yang ada di sakunya, merasa benda itu begitu berat. Ia merasa tercekik antara dua pilihan yang tak menyenangkan.

Pangestu melangkah menuju rumah nelayan tua, Pak Samad, yang menyambutnya dengan senyum bijak. Namun, senyum itu meredup saat melihat kecemasan Pangestu. Dengan tangan gemetar, Pangestu menyerahkan uang seratusan, berharap tak ada yang perlu dibicarakan. Pak Samad menatapnya dalam, mengingatkan bahwa uang tak bisa membeli segalanya, terutama hati nurani.

Dengan perasaan bersalah, Pangestu melanjutkan tugasnya, mengetuk pintu warga, menawarkan "bantuan" demi proyek pembangunan. Warga menerima dengan harapan, tak menyadari niat tersembunyi di baliknya. Semakin banyak yang setuju, semakin besar beban Pangestu.

Malam kian larut. Para pekerja mulai berkumpul, tapi bukan jembatan atau sarana air bersih yang dibangun—melainkan pagar laut, sesuatu yang tak dibutuhkan warga. Pangestu menatap kosong, sadar bahwa ia telah menyeret desa ini ke dalam sesuatu yang lebih besar dan gelap.

Pekerjaan dimulai, tapi bukan proyek kesejahteraan yang dijanjikan, melainkan perintah yang harus ditaati. Warga, meski bingung, tetap bekerja, mengikuti arahan pekerja suruhan bos demi uang seratusan yang telah mereka terima. Pangestu menyaksikan mereka berkeringat membangun pagar laut yang membatasi akses ke sumber penghidupan mereka.

Hatinya bergejolak, ingin memperingatkan mereka, namun ketakutan membungkamnya. Sementara itu, para pekerja memerintah kasar, mendesak warga untuk menyelesaikan tugas tanpa banyak tanya. Laut yang dulu memberi kehidupan kini perlahan tertutup, membawa ketidakpastian.

Di kejauhan, Pak Samad berdiri menatap pagar dengan kecewa. “Apa yang kita bangun ini?” tanyanya lirih. Pangestu tak mampu menjawab, menyadari bahwa mereka hanya membangun batas yang akan merantai kehidupan mereka sendiri.

Pangestu merasa pengkhianatan itu bukan hanya pada orang lain, tapi juga pada dirinya sendiri. “Maafkan aku,” bisiknya lirih.

Pagi datang dengan cahaya yang terasa menusuk kekosongan di hatinya. Langit biru tampak seperti ilusi, sementara langkahnya berat menuju rumah kerabat yang ia tinggalkan lima hari lalu. Tak ada sambutan hangat, hanya keheningan. Istrinya duduk di meja makan, menatap kosong. “Kapan kita punya lebih banyak uang?” tanyanya datar.

Pangestu tak menjawab. Di benaknya, terngiang kata-kata rekannya yang peduli pada laut. "Pagar ini bukan sekadar pembatas, tapi ancaman bagi biota laut dan mata pencaharian kita." Saat itu, ia hanya mengangguk, terperangkap dalam ketakutan akan kehilangan pekerjaannya.

Kini, semuanya terasa hampa. Laut, sumber kehidupan, kini tersembunyi di balik pagar. Bukan kesejahteraan yang mereka bangun, melainkan belenggu. Keputusan telah dibuat, semua terjadi hanya karena uang.

Hari-hari berikutnya hanyalah bayangan penyesalan yang tak bisa ia ubah. Pangestu duduk diam, tak tahu ke mana harus melangkah. Semalam, sesuatu telah hilang darinya—dan tak akan pernah kembali.

Sialan. Ia tak lagi peduli pada dompet yang Gemuk Berisi.