Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Prasetyo AW | Prakiraan Cuaca yang Tak Kunjung Terdengar di Radio

 



            Di antara deru suara hujan yang terdengar mengganas dari dalam rumahnya, Sam memasang telinga lebar-lebar. Radio transistornya yang sudah butut belum juga menyiarkan prakiraan cuaca. Sam tidak mau melewatkannya. Ketika rasi bintang dan umur rembulan sudah tidak lagi dapat menjadi petunjuk untuk melaut, maka prakiraan cuaca di radio menjadi harapan terakhirnya saat ini. 

Dahulu Sam dan para nelayan, sebagaimana juga nenek moyangnya, mampu membaca bintang. Mereka selalu mengandalkan kemampuan itu untuk menentukan arah pelayaran serta lokasi dan waktu yang tepat untuk menangkap ikan. 

Semua orang di kampung nelayan tempat tinggal Sam paham tanda-tanda alam itu. Sepaham bahwa tidak mungkin melaut saat angin musim barat, kecuali kalau ingin menantang maut. Angin itu membawa curah hujan yang sangat lebat dan mengakibatkan gelombang laut yang tinggi. Pada musim itu para nelayan menyandarkan perahu mereka di pantai.

Namun beberapa tahun belakang ini tidak ada yang bisa memprediksikan cuaca. Kini tidak ada lagi yang bisa membaca suasana laut. Alam sudah banyak berubah. Maka sejak saat itu Sam selalu menunggu prakiraan cuaca dari radio transistor bututnya.  

Suara petir yang bersautan acapkali mengalahkan musik dangdut yang diputar stasiun radio satu-satunya yang bisa tertangkap oleh radio transistor butut di kamar Sam. Sam merasa musik dangdut itu terus diulang-ulang. Kisah percintaan picisan dan lirik patah hati. Mungkin sehari bisa lima sampai tujuh kali stasiun radio memutar lagu yang sama. Membuat Sam teringat dengan Safitri istrinya yang pergi beberapa tahun yang lalu dan sekarang tidak terdengar kabar beritanya. 

Safitri memang bukan gadis asli kampung nelayan tempat tinggal Sam. Bersama bapaknya pada suatu waktu menjajakan dagangan perabotan rumah tangga kepada para nelayan. Piring, mangkok, sendok, dan berbagai perabotan berbahan plastik lainnya. Mereka berasal dari kota berpuluh kilometer dari kampung nelayan. Dan seperti para pedagang lain yang menjajakan dagangan di kampung nelayan, mereka akan tinggal beberapa hari dengan menumpang tinggal di salah satu rumah nelayan.

Senyum manis dan sifat Safitri yang supel segera menjadi pusat perhatian para jejaka di kampung nelayan itu. Namun apabila kemudian Safitri mau menerima pinangan Sam, tentu bukan karena Sam memiliki harta yang berlebih atau karena wajah rupawannya. Sam jauh dari semua itu. Safitri melihat jiwa kepemimpinan dari seorang Sam. Sam tempat bertanya bagi para nelayan di kampungnya. Tentang bagaimana menangkap ikan yang benar. Tentang cara menjahit kembali jaring yang koyak. Bahkan tentang ikan apa yang akan didapat pada musim tertentu. Apakah baronang ataukah kakap. Sam menguasai semua itu. Tak heran kalau hasil tangkapan ikan Sam pun selalu lebih banyak dibanding dengan nelayan lain. Hasil yang Sam perkirakan akan cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya bersama Safitri.

Namun kecukupan setiap orang berbeda-beda. Bagi Sam hasil melautnya yang  semakin hari semakin sedikit masih bisa membuat dia bertahan hidup. Namun mungkin tidak bagi Safitri. Dan dari situlah dimulai petaka dalam hidup Sam.  

Sam baru pulang dari melaut pagi itu. Sauh masih terasa hangat. Jaring belum juga tergantung dengan benar. Hasil tangkapan ikan pun baru selesai dibawa tengkulak. Bau bacin garam angin laut di tubuh Sam belum hilang benar. Apalagi lelah yang dirasakannya. Sam sedang menikmati kopi pahit panas dalam gelas belimbingnya ketika Safitri memulai pembicaraannya.

“Bang, kita tidak mungkin tinggal terus menerus di kampung nelayan ini,” ujar Safitri sambil menyendokkan nasi dengan lauk ikan bumbu kuning untuk suaminya. “Di sini kita tidak mungkin bisa maju. Cuaca sering tidak bersahabat dengan nelayan. BBM bersubsidi pun semakin susah didapatkan. Hasil tangkapan ikanmu hari demi hari semakin sedikit. Belum lagi kalau nanti kita punya anak. Kebutuhan akan semakin meningkat.”

Sam terkejut dengan perkataan Safitri yang  sangat tiba-tiba itu. Selama ini Safitri telah menjelma menjadi istri seorang nelayan tulen. Pandai membuat terasi dari udang setengah busuk. Cakap membelah ikan manyung. Mengeluarkan isi perutnya. Memasak kepalanya menjadi gulai yang lezat dan menjemur badannya menjadi ikan asin jambal roti. Bahkan Safitri telah terampil pula menjalin jaring yang robek setelah dipakai suaminya. Tak ada tanda-tanda Safitri tidak betah tinggal di gubuk kampung nelayan bersama Sam.

“Kamu kenapa, Dik? Adakah dari bujang-bujang nelayan itu yang mengganggumu?” tanya Sam curiga. 

Bukan menjadi rahasia umum lagi kalau Safitri masih mempunyai banyak penggemar di kalangan laki-laki di kampung nelayan itu. Penampilannya dengan pakaian gaya orang-orang kota tentu berbeda dengan perempuan asli kampung nelayan. Tidak ada pupur bercampur kunyit kekuningan pada wajah Safitri seperti lazimnya ibu-ibu kampung nelayan. Pupur kuning itu memang selalu digunakan perempuan di kampung nelayan untuk menghindari terik matahari yang membakar wajah. Safitri menolak memakainya. Tapi kulit muka Safitri tetap mulus seperti gadis kota pada umumnya.

Safitri menjawab pertanyaan Sam dengan gelengan kepala pelan.

“Ataukah kamu kangen dengan bapakmu?” lanjut Sam.

Safitri kembali menggeleng. Kali ini tetesan air mata jatuh ke pipinya yang tirus.

 “Kita berdua atau salah satu dari kita harus mencari peruntungan keluar kampung,” ujar Safitri dengan sedu sedan. ”Dan lagi aku mulai jenuh dengan suasana kampung ini, Bang. Segalanya terasa monoton bagiku.”

Sam paham. Bagi orang yang terlahir di kota seperti Safitri tentu suasana kampung nelayan sangat menjemukan. Maka ketika ada seorang pedagang yang singgah ke kampung nelayan dan Safitri pamit untuk ikut serta ke kota, Sam tidak kuasa untuk tidak mengizinkannya. Satu hal yang sangat Sam sesali adalah perkataan terakhir Safitri sebelum dia pergi : apabila dalam setahun Safitri tidak kembali, dia rela apabila Sam mencari penggantinya sebagai istri.

Lebih dari setahun telah berlalu dan Safitri benar-benar tidak kembali. Kepada para pedagang dari kota yang singgah di kampung nelayan, Sam terkadang masih menanyakan keberadaan Safitri. Satu dua dari beberapa pedagang itu mengaku pernah berjumpa dengan Safitri. Tapi tak satu pun dari mereka yang mendapat titipan salam ataupun kabar dari Safitri untuk Sam.

“Tidakkah kamu berencana menyusul Safitri ke kota, Sam?” tanya seorang pedagang yang singgah suatu waktu. “Mungkin di sana kamu bisa merubah nasibmu. Bukankah hasil laut dari tahun ke tahun semakin tidak menentu. Ataukah kamu mau berdagang sepertiku? Aku siap menjadi mentormu.”

Tentu pedagang itu menawarkan bantuannya kepada Sam dengan tulus.

“Iklim makin tidak terduga,” sahut Sam. ”Kami semakin kesulitan menduga musim yang ada di laut. Bintang-bintang dan rembulan sudah tidak bisa lagi menjadi patokan kami. Karenanya ikan makin susah kami tangkap. Belum lagi BBM bersubsidi harapan kami juga semakin susah didapatkan.”

“Beberapa kawan sudah ada yang meninggalkan laut mencari peruntungan ke kota,” Sam kembali berkata dengan penuh datar. “Tapi aku adalah anak kandung laut. Waktu aku lahir ari-ariku dilarung ke laut oleh bapakku. Dengan harapan bahwa aku tetap menjaga laut. Aku rela bila harus ditakdirkan menjadi penjaga terakhir laut ini.”

Hujan masih deras disertai petir berkali-kali ketika terdengar pintu rumahnya digedor orang. Sam terjaga dari lamunannya. 

“Sam keluarlah!”

Sam bergegas membuka pintu rumahnya. Istri salah seorang nelayan terlihat basah kuyup berdiri di depan rumahnya.

“Suamiku sudah tiga hari ini pergi melaut dan sampai sekarang belum juga pulang.”

“Bukankah tiga hari ini hujan badai melanda laut,” seru Sam. “Kenapa suamimu nekat berangkat juga?”

“Aku sudah berusaha mencegahnya. Tapi sepertinya dia sudah tidak punya pilihan lain. Tak ada lagi yang bisa kami makan di rumah.”

Sam bisa membayangkan kebingungan yang dirasakan keluarga nelayan itu. Mereka hidup tergantung dengan laut. Namun beberapa hari ini cuaca kurang bersahabat untuk melaut. Persediaan makanan keluarga nelayan pasti mulai menipis.

“Tadi sore aku menyisir pantai, berharap suamiku kembali. Tapi perahunya belum tampak juga. Justru aku menemukan termos bekalnya terhempas ombak ke pantai.”

Perempuan itu tampak gusar, “bantulah aku menyisir pantai sekali lagi. Aku takut terjadi sesuatu dengan suamiku.”

Sam segera mengumpulkan semua laki-laki di kampung nelayan. Walaupun hujan masih turun dengan derasnya, mereka tetap menyusuri pantai. Berbekal lampu badai mereka berjalan kaki sepanjang pantai. Mata terlatih mereka terus mengawasi setiap benda-benda yang terhempas oleh ombak. Beberapa batang kayu. Buah kelapa. Sampah-sampah. Semua tergulung-gulung dibawa ombak. Beberapa mendarat di pasir pantai, selebihnya terseret lagi oleh ombak ke lautan.

Tiba-tiba seseorang berteriak melihat sesosok tubuh terseret ombak. Cahaya kilat membantu menerangi tubuh itu ketika sampai di daratan.

Dan memang tubuh itu adalah tubuh nelayan yang mereka cari. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Bahkan tubuhnya sudah menggembung, pertanda sudah lebih dari satu hari meninggal. Seorang nelayan yang telah berkorban untuk keluarganya, diamuk badai laut yang sedang tidak bersahabat. 

Kampung nelayan masih berduka ketika Sam menunggu prakiraan cuaca di radio transistor bututnya. Hanya itu yang diharapkannya untuk memberi tahu nelayan yang lain waktu yang tepat untuk pergi melaut. Ketika rasi bintang dan rembulan sudah tidak bisa lagi dijadikan patokan. Dan ketika angin musim barat selalu datang tanpa bisa disangka-sangka.

Sam bergegas merapikan pakaiannya ke dalam tas ransel. Tekadnya sudah bulat. Dia akan segera pergi ke kota. Rasa rindu pada Safitri sudah tidak tertahankan lagi. Stasiun radio masih saja memutar lagu dangdut tentang kisah percintaan picisan dan lirik patah hati yang membuat Sam semakin teringat pada Safitri istrinya. Segera dimatikannya radio transistor butut itu, karena prakiraan cuaca tak kunjung terdengar.