Friday, March 7, 2025

Cerpen Palito | Sepotong Malam Dingin di Piring Langit

Cerpen Palito




Aku membuka jendela. Di bawah sana, manusia berjejalan, berdesakan seperti kawanan lapar. Debu dan sinar matahari kesiangan melebur dalam bisikan angin yang enggan bergerak.


Di hadapanku, pohon besar mencakar langit. Ia seperti tiang tua yang tak tergoyahkan di antara arus manusia yang tak pernah berhenti. Bayangannya terentang di atas aspal, diinjak ribuan kaki tanpa disadari. Mereka menyebutnya pohon kehidupan—akar-akarnya menjalar ke dalam tanah, menghisap sesuatu yang lebih tua dari ingatan manusia. Aku melihat sepasang burung bercinta di dahan. Si jantan mendekat dengan gerakan yang dihafal, seperti naskah pidato politisi sebelum pemilu. Aku ingin tertawa, tapi pohon ini sudah lebih dulu menertawakan mereka—diam-diam, dengan akar yang menyelusup ke dalam tanah, mencelah celah untuk dicekik.


Selama beberapa saat merenungi pemandangan itu, aku memutuskan untuk turun ke jalan. Udara sesak oleh knalpot dan suara-suara samar, bercampur seperti doa yang terlupakan. Bau makanan dari angkringan menguar, membaur dengan debu dan hawa mesin yang tak pernah padam.


Langkahku mengarah ke halte, tempat seorang lelaki tua duduk bersama perempuan muda. Dari kejauhan, suara mereka terdengar seperti bisikan yang berusaha melawan hiruk-pikuk kota. Lelaki itu menatap masa lalu, seakan melihat sesuatu yang tak bisa terjamah, sementara perempuan itu berbicara cepat, seolah mengejar waktu yang tak pernah cukup.


Aku menarik napas dalam-dalam—asap kendaraan dan keringat manusia bercampur, terasa asing. Aku melangkah di dunia yang terasa seperti panggung orang lain. Nama baru, tubuh baru, keluarga baru—tapi aku tetap aku, seperti ular yang berganti kulit, tetap melata di lumpur yang sama.


Aku mencoba mengingat tubuh lamaku—rambut yang lebih mirip bayang-bayang, kulit setipis kertas yang tak bisa menyembunyikan tulang. Aku adalah siluet tanpa nama, selalu mengikuti manusia, meniru gerak dan kata mereka. Tapi tak satu pun wajah yang bisa kuingat lebih dari semalam. Transformasi ini terjadi setiap tahunnya, membawa identitas baru yang harus kupelajari dan kujalani. Namun semakin kupelajari mereka, semakin aku tersesat. Pikiran mereka seperti labirin, terlalu banyak pintu yang mengarah ke kehampaan. 


Di trotoar, aku larut dalam ribuan jejak samar yang melintas tanpa henti. Matahari semakin rendah, menciptakan siluet-siluet tanpa nama. Aku menghela napas dan memutuskan pulang, meninggalkan hiruk-pikuk jalanan yang kini dipenuhi bayangan malam.


Lampu jalan menyala satu per satu, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang kian sepi. Aku kembali ke kamar—lebih luas dari kamar masa laluku yang sempit dan apak. Aku berdiri di depan cermin besar. Bayanganku menatap balik. Aku mencoba tersenyum, tapi wajah di cermin hanya diam, seolah menunggu sesuatu. Lukisan tua dari pelukis tergantung di dinding, warnanya memudar seperti ingatan yang enggan bertahan. 


Aku menjatuhkan tubuh di sofa, mencoba mengusir rasa lelah yang mengendap. Di sana, di sofa merah lusuh, tubuh seorang perempuan terbaring tanpa busana. Kulitnya putih bersih, rambutnya agak kemerahan, bibirnya penuh dan manis. Aku duduk, mengamatinya. Permainan semalam pasti melelahkan—tapi tidak bagiku. Aku sudah terlalu sering bercinta di malam panas, dalam tubuh yang berbeda-beda.


Dia datang ke rumah kemarin malam. Napasnya berbau alkohol. “Sudah berapa botol kau minum?” tanyaku. Dia tertawa lemah, jalannya terseok-seok. Aku menuntunnya ke tempat tidur.


“Dia lebih memilih perempuan itu. Berengsek!” rutuknya, bibirnya meracau tak henti-henti.


Aku menuangkan bir ke gelas dan menyerahkannya padanya. Dia meneguk sampai tandas, menjilati bibirnya seakan mencari sesuatu yang lebih pekat dari alkohol.


“Lihat dirimu sekarang,” kataku, setengah geli. “Menyedihkan.”


Dia tertawa miris. Rambutnya awut-awutan, kemeja longgar, memperlihatkan bayang tipis buah dadanya. Pria mana pun ingin menggenggamnya.


Lalu dia mencumbu bibirku. Kasar. Nikmat. Punggungku menghantam sandaran tempat tidur. 


Di sela desahannya, sebuah nama terucap. Nama tubuh ini atau nama yang pernah kukenal di tubuh lain? Aku tidak tahu. Kami tenggelam dalam gelombang yang menghapus batas antara siapa mencintai siapa. Atau apakah ini cinta, atau hanya permainan insting yang berulang?


Gelombang yang mengalun pelan, menghantam tepi ranjang seperti ombak yang mencari celah di karang. Aku mencengkram punggungnya, atau dia mencengkram tubuhku—sulit membedakan di mana tubuhku berakhir dan tubuhnya dimulai.


Di luar jendela, bulan tergantung lesu, dikelilingi bintang yang menertawainya. Guruh menggelegar. Hujan tak turun. Hanya angin riuh menghisap penderitaan manusia.


Aku terbangun dengan kepala berat. Matahari sudah naik, mengisi ruangan dengan cahaya keemasan. Perempuan itu masih tertidur, wajahnya tampak damai—atau mungkin mati? Aku menyentuh nadinya. Masih ada denyut.


Tapi ada sesuatu yang salah. Di dada kirinya, ada bekas kuku. Di leherku ada bekas gigitan. Di udara, ada sesuatu yang melayang—bukan bau alkohol, bukan aroma tubuh kami yang bercampur. Lebih tajam. Lebih purba.


Aku melangkah ke depan, atau ke belakang—tidak ada bedanya. Tumitku menginjak bayangan yang sama seperti kemarin.  


Di luar jendela, pohon kehidupan berdiri, tidak bergerak atau berbicara. Tapi aku tahu, akarnya tidak pernah berhenti mencari. Aku bisa merasakannya, merayap ke bawah kulitku, menyelinap ke dalam pori-pori, menunggu saatnya untuk mencengkram. 


Aku ingin yakin bahwa kali ini berbeda, bahwa aku benar-benar lahir kembali. Tapi ragu menjalar seperti akar yang mengikatku ke tanah yang sama. Besok, tubuh lain akan menyambutku, dalam dunia yang sama, dengan dosa yang tak pernah benar-benar pergi.


Di cermin, bayanganku diam. Tidak marah. Tidak tersenyum. Hanya menunggu, seperti akar yang sabar mencengkram mangsanya di bawah tanah.


Aku tidak mati. Aku pindah dari tubuh ke tubuh, seperti dosa yang tak selesai.


Dan esok, aku bukan lagi manusia. Aku menjadi akar yang merayap, mengendap di bawah tanah, menunggu kesempatan untuk mencengkram.


______


Penulis


Palito, lahir di Lohong, 18 Oktober 2001. Saat ini masih berdomisili di desa Sungai Sirah Pilubang, Sumatra Barat. Menulis adalah bagian dari ekspresi dirinya, dan beberapa karyanya ditulis untuk merenungkan kehidupan dan waktu. Dapat dihubungi melalui email: palito.20011810@gmail.com, Instagram: @paa_litoo.