Cerpen Rainier Pearson Saputra
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Senja merayap perlahan, mewarnai langit Pantai Tanjung Biru dengan rona lembayung. Pak Togar, seorang nelayan sepuh yang kulitnya legam diterpa matahari dan garam laut, berdiri mematung di tepi pantai. Matanya yang teduh namun menyimpan bara amarah, menerawang jauh, menembus batas pagar besi yang kini berdiri kokoh, merampas laut yang dulu menjadi rumah, sumber rezeki, dan bagian tak terpisahkan dari jiwanya. Dulu, sebelum pagar itu menjulang, ia bebas menebar jala, berburu rezeki di antara ombak yang bergelora, merasakan sentuhan angin laut yang membelai wajahnya, dan mendengar nyanyian camar yang riang. Namun kini, ia hanya bisa menyaksikan laut dari kejauhan, hatinya perih dipenuhi amarah dan kepedihan, seperti luka yang tak kunjung sembuh.
Pagar itu bukan sekadar penghalang fisik, tetapi juga simbol keserakahan dan ketidakadilan yang merenggut hak-hak mereka. Orang-orang kota datang dengan janji-janji manis pembangunan, mengubah desa nelayan yang tenang dan damai menjadi kawasan wisata mewah yang gemerlap. Mereka bilang, pembangunan ini akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi warga. Namun nyatanya, para nelayan tergusur dari tanah leluhur mereka, terpaksa mencari pekerjaan serabutan di kota dengan upah yang tak sebanding, hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Mereka kehilangan identitas mereka sebagai nelayan, kehilangan kebanggaan mereka sebagai penjaga laut.
Lila, cucu Pak Togar, seorang gadis cerdas dan pemberani yang mewarisi semangat juang kakeknya, tumbuh dengan cerita-cerita tentang laut dari sang kakek. Ia hafal nama-nama ikan, jenis-jenis ombak, dan arah angin. Ia mengenal laut sebagai sahabat, sebagai sumber kehidupan, dan sebagai bagian dari dirinya. Lila menyaksikan perubahan ini dengan mata yang lebih kritis, hatinya dipenuhi kepedulian dan kemarahan. Ia tidak percaya begitu saja dengan janji-janji manis para pengembang. Ia tahu, di balik kata "kemajuan", ada kepentingan segelintir orang yang mengorbankan kehidupan orang banyak demi keuntungan pribadi.
"Kek," kata Lila suatu sore, "kita tidak bisa terus diam saja. Mereka sudah merampas laut kita, dan mereka akan merampas segalanya jika kita tidak melawan."
Pak Togar menghela napas panjang, dadanya terasa sesak. Ia tahu Lila benar, tapi ia juga merasa tak berdaya. Pengalaman pahit mengajarkannya bahwa melawan kekuatan besar tidaklah mudah.
"Melawan dengan apa, Lila? Kita ini cuma nelayan kecil. Mereka punya uang dan kekuasaan. Kita tidak punya apa-apa."
"Kita punya suara, Kek," jawab Lila dengan mata berbinar penuh semangat, "dan kita punya bukti."
Lila tidak hanya berdiam diri. Ia mulai mendokumentasikan dampak pembangunan terhadap lingkungan dan kehidupan para nelayan. Ia merekam wawancara dengan para nelayan yang kehilangan pekerjaan, memotret kerusakan terumbu karang akibat pembangunan resort mewah yang megah namun merusak lingkungan, dan mengumpulkan data tentang penurunan populasi ikan secara drastis akibat penangkapan ikan yang berlebihan dan pencemaran laut. Ia juga merekam kesaksian dari beberapa nelayan yang dipaksa menjual tanah mereka dengan harga murah, dan bagaimana mereka sekarang hidup dalam kemiskinan di kota, terpisah dari laut yang menjadi sumber hidup mereka.
Dengan kelihaiannya bermain media sosial, Lila menyebarkan informasi ini ke seluruh penjuru dunia. Awalnya, hanya segelintir orang yang peduli. Tapi lama-kelamaan, semakin banyak orang yang tertarik dengan kisah pilu mereka. Wartawan, aktivis lingkungan, dan bahkan selebriti papan atas mulai menyuarakan dukungan untuk para nelayan yang terpinggirkan. Mereka menyadari bahwa apa yang terjadi di Tanjung Biru adalah representasi dari masalah yang lebih besar, yaitu ketidakadilan dan keserakahan yang merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat kecil.
Pak Togar menyaksikan perubahan ini dengan perasaan campur aduk antara harapan dan kecemasan. Ia gembira karena suara mereka mulai didengar, namun ia juga dihantui rasa takut akan risiko yang mungkin mereka hadapi. Ia ingat betul bagaimana Pak Darso, salah satu nelayan yang paling vokal menentang pembangunan, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Desas-desus beredar bahwa ia diculik oleh orang-orang suruhan pengembang yang tidak ingin perjuangan mereka mengganggu bisnis mereka.
Suatu hari, Pak Togar menerima telepon dari seorang pengacara yang menawarkan bantuan hukum secara cuma-cuma. Pengacara itu mengaku tertarik dengan kasus mereka dan ingin membantu mereka mendapatkan kembali hak mereka atas laut. Pak Togar dan para nelayan lainnya menyambut tawaran itu dengan sukacita. Mereka merasa seperti mendapat secercah harapan di tengah kegelapan, seperti ada secercah cahaya di ujung terowongan yang panjang.
Dengan bantuan pengacara, para nelayan menggugat pemerintah dan perusahaan pengembang atas tuduhan pelanggaran hak atas laut dan kerusakan lingkungan. Mereka juga mengajukan petisi kepada pemerintah untuk menghentikan proyek pembangunan yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan mereka. Mereka tidak lagi hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi penerus, untuk masa depan laut, dan untuk keadilan bagi seluruh masyarakat.
Proses hukum berjalan berlarut-larut dan penuh liku. Para pengembang menggunakan segala cara untuk menunda persidangan dan mengalihkan perhatian publik dari kasus ini. Mereka bahkan mencoba menyuap beberapa nelayan agar mau berpihak pada mereka, menawarkan uang dan jabatan untuk membungkam suara mereka. Namun, para nelayan tidak menyerah. Mereka terus berjuang dengan gigih, didukung oleh solidaritas dari berbagai pihak, termasuk organisasi non-pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat umum yang peduli terhadap isu-isu lingkungan. Mereka sadar bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan bersama, perjuangan untuk keadilan dan kebenaran.
Di tengah perjuangan yang berat, Pak Togar dan Lila menemukan secercah harapan dalam diri seorang jurnalis muda bernama Rina. Rina adalah sosok yang idealis dan berdedikasi tinggi. Ia tertarik dengan kisah para nelayan dan bertekad untuk mengungkap kebenaran di balik pembangunan yang kontroversial ini. Ia melihat perjuangan mereka sebagai inspirasi, sebagai contoh keberanian dan keteguhan hati.
Rina melakukan investigasi mendalam dan menemukan bukti-bukti kuat tentang praktik korupsi dan kolusi yang dilakukan oleh para pengembang dan pejabat pemerintah. Ia juga menemukan fakta bahwa pembangunan resort mewah telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, termasuk pencemaran air laut dan kerusakan terumbu karang yang menjadi habitat ikan. Ia tidak hanya mengumpulkan fakta, tetapi juga mewawancarai para nelayan yang terdampak, mendengarkan keluh kesah mereka, dan merasakan penderitaan mereka.
Rina kemudian menerbitkan hasil investigasinya di sebuah media online yang cukup berpengaruh. Berita ini langsung menjadi viral dan menuai kecaman dari masyarakat luas. Para pengembang dan pejabat pemerintah pun panik dan mencoba untuk menutupi kejahatan mereka, menyebarkan berita bohong dan melakukan intimidasi terhadap para nelayan dan aktivis yang mendukung mereka. Namun, upaya mereka sia-sia. Semakin banyak orang yang bersimpati dengan perjuangan para nelayan dan menuntut keadilan. Dukungan untuk para nelayan pun semakin meluas, tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.
Setelah berbulan-bulan berjuang di meja hijau, dengan bukti-bukti yang dikumpulkan Rina dan disebarluaskan melalui media, akhirnya pengadilan memberikan keputusan yang menggembirakan. Gugatan para nelayan menang! Pemerintah dan perusahaan pengembang dinyatakan bersalah atas pelanggaran hak atas laut dan kerusakan lingkungan. Mereka diwajibkan menghentikan proyek pembangunan yang merusak lingkungan dan membayar kompensasi yang pantas kepada para nelayan yang terdampak. Kemenangan ini adalah kemenangan bagi seluruh masyarakat yang peduli terhadap keadilan dan lingkungan.
Kemenangan ini disambut dengan suka cita oleh seluruh warga desa. Mereka berkumpul di pantai, merayakan kemenangan mereka dengan tarian dan nyanyian, meluapkan kegembiraan dan rasa syukur mereka. Pak Togar dan Lila berdiri di tengah kerumunan, air mata haru bercampur dengan senyum bahagia. Mereka tahu, perjuangan mereka belum usai, tetapi setidaknya mereka telah berhasil merebut kembali hak mereka atas laut, merebut kembali masa depan mereka.
Beberapa bulan kemudian, kehidupan di desa itu mulai normal kembali. Para nelayan kembali melaut, mencari rezeki di laut yang telah mereka perjuangkan, dengan semangat baru dan harapan yang lebih besar. Mereka tidak lagi khawatir akan kehilangan mata pencaharian mereka, mereka tidak lagi merasa terpinggirkan dan tidak berdaya. Anak-anak kembali bermain di pantai, menikmati keindahan alam yang dulu hampir mereka renggut, belajar tentang laut dari para nelayan, dan mewarisi tradisi luhur mereka.
Lila, dengan bantuan Rina dan aktivis lingkungan lainnya, mendirikan sebuah organisasi yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan laut. Mereka melakukan berbagai kegiatan, seperti menanam terumbu karang yang rusak, membersihkan pantai dari sampah yang mencemari laut, dan memberikan edukasi tentang pentingnya menjaga kelestarian laut kepada masyarakat, khususnya kepada generasi muda. Mereka ingin memastikan bahwa laut tidak lagi dieksploitasi.