Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | A. Warits Rovi | Drama Pagar Laut

Cerpen A. Warits Rovi



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Aku ingin tak ada hari lain yang lebih mencekam dari hari ini. Man Suna, si ketua RT idaman berdiri di tepi pantai Sango dengan betis berendam air. Tangannya masih erat menggenggam tombak. Meski ada desir angin, peluh tetap menetes di bagian kening dan menghilir ke dadanya. Berkilat oleh sinar matahari. Kedua matanya selalu tertuju ke barisan pagar bambu yang berada 5 meter di depannya. Di balik pagar itu, para pekerja asing dan tiga ekskavator sedang mengeruk pasir, dibuat timbunan memanjang serupa batas petak tambak.


Warga yang sebelumnya berdiri di bagian tepi yang berpasir, perlahan melesak maju. Turut berdiri di belakang Man Suna. Ada yang membawa batu, celurit, parang, golok, dan senjata tajam lainnya. Tinggal menunggu komando dari Man Suna untuk menyerang paksa mereka jika terus beraktivitas. Sebab, peringatan dengan mulut, sudah tak digubris.


“Bagaimana, Paman? Apa tidak sebaiknya langsung kita seruduk?” tanyaku pelan.


“Tunggu sebentar lagi. Biar kita tak terkesan kasar. Jika setengah jam lagi mereka masih bekerja, maka tak ada pilihan lain kecuali itu.” Kedua mata Man Suna melirikku dengan pandangan yang tak biasa. Seperti penuh api perlawanan kepada mereka.


Aku mengangguk. Menuruti nasihat Man Suna. Ternyata apa yang disampaikan Sahir kepadaku betul-betul kabar bohong; katanya, Man Suna adalah salah satu orang proyek itu. Aku menepis anggapan itu. Tidak mungkin Man Suna bagian dari mereka, apalagi dia ketua RT, karena selama ini Man Suna memang selalu menyulut api perlawanan di hati warga. Malah aku khawatir; jangan-jangan Sahirlah yang sebenarnya orang mereka yang menyamar jadi orang baik.


#


Sudah ratusan tahun Pantai Sango jadi sumber penghidupan warga Dusun Samin ini. Tepi pantai menghampar pasir putih lembut dengan cucup air yang semi bening berbuih tipis. Orang-orang menjulukinya Istana Ikan, sebab hampir bisa dipastikan, setiap orang yang telanjang kaki, berjalan menyisir pantai ini dengan hanya setenggelaman kaki, pijaknya bakal menyentuh tubuh ikan, kepiting,  atau udang. Jika iseng saja, telapak tangan meceburkan ke air lalu diangkat dengan cepat, bisa dipastikan bakal mendapat ikan, kepiting atau udang. Itu karena dari saking banyaknya ikan, kepiting, dan udang di sini.


Wajar bila warga dusun ini tak mesti harus melaut untuk mendapat hasil tangkapan, cukup membawa jaring kecil dan setangah jam di pantai ini, maka hasil tangkapan sudah banyak dan bisa dijual ke pasar. Ikan, udang, dan kepiting pantai ini sangat laris karena rasanya lebih gurih.


Di pasaran, hasil tangkapan dari pantai ini harganya lebih mahal, terutama udangnya. Hingga terkenal di mana-mana dengan sebutan udang Sango—udang berpostur kecil dengan perut buncit dan sepasang jepit yang pendek. Jika dimasak, warnanya tidak seperti udang pada umumnya. Ia berwarna merah bata. Dimasak sebentar saja, aromanya sangat kuat dan khas. 


Konon banyak orang menangkap udang jenis itu untuk diternak di tambak dan pantai lain, tapi setelah dimasak, rasanya biasa, tak segurih udang yang hidup di pantai ini. Maka benar kepercayaan orang-orang dusun ini bahwa sebenarnya pantai Sango inilah yang bisa membuat udang dan ikannya jadi terasa sangat gurih. Itulah sebabnya warga dusun sini percaya kepada cerita tetua tentang doa Nyai Atmi. 


Dahulu kala, Nyai Atmi dikenal sebagai penjaga pantai ini. Setiap hari kerjanya hanya membersihkan pantai. Selain bersih-bersih, ia juga selalu melakukan ruwat pantai dengan menyembelih tiga ekor ayam jantan berbulu putih. Saat disembelih, darahnya diteteskan ke pantai ini, sambil ia berdoa, “Dengan tetes darah ini, gurihkan segala ikan di pantai ini. Dan dengan tetes darah ini, buatlah orang yang berusaha merusak pantai ini bernasib sama seperti ayam putih ini”. Atas cerita itulah, hingga saat ini warga dusun kami rutin melakukan ruwatan setiap tiga bulan sekali dengan menyembelih tiga ekor ayam putih.


Selain itu, udang ini juga bisa dijadikan obat bagi banyak penyakit. Maka wajar bila harganya mahal. Tak heran bila ayah bisa membangun rumah dan membiayai anak-anaknya kuliah hanya dengan bekerja menangkap udang. Tapi itu dulu. Setelah pemasangan pagar bambu, warga Dusun Samin—termasuk ayah—sudah tidak punya akses untuk menangkap ikan, kepiting, dan udang.


“Lebih baik kita hancurkan pagar bambu itu,” usul salah seorang warga di pertemuan rutin RT.


“Jangan! Tidak boleh. Biar kita tidak dicap kasar dan jahat,” sambung Man Suna kala itu.


“Lantas menurut Pak Ketua RT apa yang harus kita lakukan?”


“Biarkan pagar itu terus berdiri. Biarkan proyek tambak itu dibangun. Nanti, baru kita hancurkan,” kata Man Suna kemudian.


“Kalau sudah dibangun ya lebih sulit untuk dihancurkan, Pak,” sela seorang warga yang lain.


“Itu urusan gampang. Percayalah padaku. Nanti biar aku yang mengomando,” pinta Man Suna.


Semua anggota terdiam. Hanya saling pandang.


#


Di sebuah belokan, aku sigap sembunyi ke pangkal pohon saat tiba-tiba melihat Sahir sedang bicara dengan dua pekerja tambak yang sedang istirahat di sebuah warung bambu. Aku semakin curiga; Sahir kini berkomplot dengan pengusaha yang memasang pagar laut itu.


Setelah dua pekerja itu pergi, aku langsung mendatangi Sahir dan bertanya dengan nada guyon.


“Sudah berapa juta kau dikasih uang hingga begitu mudahnya kau berkomplot dengan mereka yang nyata-nyata melenyapkan mata pencaharian orang-orang sini?” aku duduk berhadap mata dalam jarak dekat dengan Sahir. Tapi aneh, Sahir tak sedikit pun terkejut. Wajahnya redup. seperti didera kabar buruk atau hal lain yang membuatnya terluka. Entah itu hanya bentuk drama atau memang sungguhan. Tapi setahuku, Sahir jarang bersandiwara. Ia tipe orang yang selalu serius.


“Atas dasar apa kau menuduhku berkomplot dengan mereka?”


“Barusan kamu kan mengobrol dengan dua pekerja.”


“Apa kamu tahu? Apa yang kubicarakan kepadanya? Atau yang mereka bicarakan padaku?”


Aku tersenyum, lalu menggeleng.


“Kau boleh percaya atau tidak. Mereka itu membujuk aku untuk bergabung dengannya. Tapi aku tak mau. Dia lalu bercerita tentang orang-orang dusun ini yang sudah memihak kepada kelompok mereka setelah diberi banyak uang,”


“Siapa saja mereka?”


“Satu di antaranya adalah ketua RT kita; Pak Suna.”


“Ha?” aku menganga. Sedikit bercampur amarah. “Kamu jangan bercanda, Hir!”


“Buktikan saja nanti.” Sahir menjawab, masih dengan raut wajah yang redup, seperti merasa getir dengan kenyataan yang ia terima. Tapi aku tak percaya.


#


Pagar laut terus dibangun atas nama perorangan dan perusahaan. Warga tak punya kekuatan karena kepala desa sudah mengizinkan mereka. Perizinan itu sebenarnya ditentang banyak orang karena tidak sesuai dengan undang-undang. Tapi kepala desa tidak peduli hal itu. Ia tetap memihak pengusaha, tentu saja setelah pengusaha memberinya banyak uang. Di depan warga, kepala desa kadang memperlihatkan sertifikat palsu dengan segala manipulasinya.


Melihat kenyataan itu, warga akhirnya minta komando kepada Man Suna sebagai ketua RT untuk bersama-sama menggagalkan pembangunan pagar laut itu. Man Suna pun menyetujui usulan itu. Beberapa kali mengadakan pertemuan. Beberapa kali pula ia menunda rencana kami untuk menggagalkan pagar paut itu. Warga terus mendesak. Tapi Man Suna tetap tak mau. Katanya, ia ingin melawan dengan diam-diam, dengan alasan demi menjaga citra baik warga.


“Nah, iya kan? Man Suna itu pasti tak mau untuk mendemo, karena diam-diam dia itu berkomplot dengan pengusaha,” ungkap sahir kepadaku. Tapi aku tak yakin dengan pernyataan Sahir itu. Aku lebih curiga Sahirlah yang berkomplot dengan pengusaha.


#


Karena selalu didesak, akhirnya Man Suna menyanggupi permintaan warga, dan tibalah hari ini, hari yang paling mencekam. Man Suna langsung mengomando kami. Turun ke pantai. Memegang tombak di garis terdepan. Sebelum aku menyusul Man Suna, Sahir masih membisikiku saat di masih di tepi pantai,


“Apa kamu yakin, Man Suna ketua RT itu akan berhasil menyerang tambak?”


Aku hanya terdiam. Menatap lekat wajah Sahir. Sahir tersenyum atau lebih tepatnya menertawakanku. Hampir saja aku berkata bahwa Sahirlah sebenarnya orang pengusaha itu. Tapi, beruntung masih bisa kutahan. Aku memilih lekas bergegas menyusul Man Suna yang sudah di depan.


Di belakang Man Suna, aku dan beberapa tokoh dusun beberapa kali minta Man Suna agar segera memulai penyerangan. Tapi ia selalu membentangkan lengannya ke samping pertanda agar serangan ditahan dulu. Para pekerja asing di balik pagar masih tetap bekerja dengan santai. Seperti tak melihat massa. Seperti sedang tak terjadi apa-apa. Sungguh aneh.


Man Suna lalu membalikkan badan, menghadap kami. Ia angkat kedua tangannya. semua warga kian bersiap untuk menyerang. Tapi..


“Lebih baik kita tunda penyerangan. Kita pulang saja dulu. Sekarang bukan saatnya kita meneyerang. Karena para pekerja asing itu punya senjata canggih,” ucap Man Suna membuat kami tiba-tiba kecewa, “Huuuuuu.” Semua berwajah pasi, penuh kecewa.


Warga kembali ke tepi pantai dengan langkah pelan dan dada dongkol. Man Suna berjalan di belakang mereka—di samping kananku. Ketika langkahnya hampir menapak pasir, tiba-tiba ia roboh. Aku terkejut. Dadaku berdegup kecang. Orang-orang juga tampak terkejut. Mereka menoleh ke arah Man Suna yang menggelepar-gelepar di air laut setinggi tumit, menjerit keras sambil memegang lehernya sekuat tenaga.


Saat aku jongkok berusaha untuk menolong, ia sudah tak bersuara lagi. Tubuhnya lemas, dan terdapat luka besar menganga di lehernya—yang entah karena apa, persis leher ayam putih yang disembelih Nyai Atmi untuk ruwatan.


“Apa kau masih ingat cerita tetua tentang doa Nyai Atmi?” tiba-tiba Sahir ada di dekatku. Aku mengannguk. “Sekarang sudah terbukti kan, siapa yang diam-diam berkomplot dengan pengusaha asing itu. Ketahuilah bahwa orang seperti Pak Suna itu jauh lebih berbahaya dari pagar laut itu sendiri,” tambah Sahir, lantas ia pergi. Warga yang lain juga pergi begitu saja. Aku hanya berdua dengan mayat Man Suna. Sungguh tak ada yang lebih mencekam dari hari ini.


Rumah Filzaibel, 2025