Esai Fileski Walidha Tanjung
Pada sebuah konferensi filsafat di Prancis, Jean-Paul Sartre pernah berkata, "L'enfer, c'est les autres", neraka adalah orang lain. Kalimat ini, yang diucapkan dalam konteks eksistensialisme, terasa relevan dalam membaca paradoks besar di negeri ini: sebuah bangsa yang begitu religius, tetapi tetap terjebak dalam lingkaran korupsi yang seolah tak berujung. Indonesia, dengan masjid-masjid yang penuh setiap Jumat, gereja yang khusyuk setiap Minggu, dan ritual keagamaan yang begitu meriah di ruang publik, tetap menjadi rumah bagi kasus-kasus korupsi yang mencengangkan. Seakan-akan, moralitas hanya menjadi ornamen, bukan prinsip yang mengakar dalam kehidupan.
Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche dalam karyanya Beyond Good and Evil pernah menyinggung bahwa agama sering kali digunakan bukan untuk mencapai kebajikan sejati, melainkan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana religiusitas di Indonesia lebih sering beroperasi sebagai simbol dan identitas ketimbang sebagai pedoman moral yang benar-benar dijalankan. Para pelaku korupsi sering kali tampil dengan citra religius—mengenakan peci, berhijab, atau menyelipkan ayat-ayat dalam pidato mereka—tetapi di saat yang sama, mereka terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan bangsa.
Max Weber, dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, berargumen bahwa etika kerja dan moralitas yang kuat dalam sebuah masyarakat sering kali berkorelasi dengan kemajuan ekonomi dan rendahnya korupsi. Jika kita bandingkan dengan Denmark atau Norwegia—negara-negara dengan tingkat religiusitas rendah tetapi memiliki indeks persepsi korupsi yang tinggi—kita bisa melihat bahwa kejujuran dan integritas tidak selalu bergantung pada agama, tetapi lebih pada nilai-nilai etis yang diinternalisasi dalam sistem sosial.
Ada celah besar antara ritual dan moralitas. Agama di Indonesia sering kali dijalankan sebagai bentuk kepatuhan sosial, bukan sebagai dorongan internal untuk hidup jujur dan beretika. Hal ini yang membuat korupsi tetap subur meski setiap Jumat khotbah di masjid menyerukan kejujuran, dan setiap Minggu di gereja diajarkan tentang kasih dan keadilan. Agama menjadi semacam performativitas sosial, bukan transformasi batin yang sejati.
Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus menuliskan bahwa absurditas terbesar manusia adalah ketika ia tahu sesuatu itu salah tetapi tetap melakukannya. Dalam konteks ini, absurditas itu begitu kentara dalam masyarakat kita: mereka beribadah dengan penuh penghayatan tetapi tetap mencurangi sistem ketika ada kesempatan. Mereka mencela korupsi di depan publik tetapi melanggengkan nepotisme dalam lingkup pribadi.
Neurosains modern memberikan wawasan menarik tentang fenomena ini. Dr. Suzy Yusna Dewi, SpKJ, Subsp AR (K), MARS, Kepala Unit Neuroscience, Mental Health, and Human Performance di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, menjelaskan bahwa korupsi dapat dipahami melalui tiga fungsi eksekutif otak: pengambilan keputusan berbasis etika, kendali diri, dan pemaknaan hidup. Ketika ketiga aspek ini tidak selaras, seseorang dapat tetap menjalankan ritual keagamaan tanpa merasa bersalah saat melakukan kecurangan. Dengan kata lain, seseorang bisa religius secara ritualistik, tetapi secara moral lumpuh.
Namun, apakah ini hanya masalah individu? Tidak. Sistem yang korup akan melahirkan individu yang korup. Antonio Gramsci dalam teori hegemoni kultural-nya menjelaskan bahwa kekuasaan yang korup tidak hanya menindas secara fisik, tetapi juga membentuk kesadaran kolektif yang menerima korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Jika seorang pegawai negeri melihat atasannya mencuri tetapi tetap dihormati, kesadaran yang terbentuk bukanlah "korupsi itu salah", melainkan "korupsi adalah bagian dari permainan yang harus dimainkan dengan cerdas".
Di sini, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah religiusitas yang kita anut benar-benar membawa kita lebih dekat pada keadilan, atau hanya menjadi ilusi yang kita pelihara untuk membenarkan diri sendiri?
Di titik ini, kita harus bertanya: apakah agama di negeri ini benar-benar menjadi jalan menuju kebajikan, ataukah ia hanya menjadi sekadar panggung tempat kita memainkan peran suci yang berjarak dari realitas? Jika agama sekadar menjadi ritual tanpa substansi, maka ia tidak lebih dari topeng yang dikenakan di hadapan publik, sementara di baliknya, wajah kejujuran telah pudar. Jika moralitas tidak dihidupkan dalam tindakan nyata, lalu untuk apa kita memuja nilai-nilai yang kita khianati sendiri?
Barangkali, kita perlu menggeser cara pandang terhadap makna religiusitas. Religiusitas sejati tidak terletak pada seberapa sering seseorang melafalkan doa, tetapi pada seberapa dalam nilai-nilai moralnya tertanam dalam setiap keputusan yang ia buat. Religiusitas tidak boleh berhenti sebagai identitas kolektif yang dipakai untuk meraih legitimasi sosial, melainkan harus menjadi prinsip etis yang memandu tindakan, bahkan ketika tidak ada yang melihat.
Sejarah telah menunjukkan bahwa perubahan besar dalam masyarakat tidak pernah dimulai dari seremoni atau pidato kosong, melainkan dari pergeseran kesadaran individu. Mungkin, revolusi yang kita butuhkan bukanlah revolusi politik atau ekonomi semata, tetapi revolusi batin—suatu pergeseran dari religiusitas yang hanya simbolik menuju religiusitas yang substansial.
Lantas, bagaimana kita ingin dikenang oleh generasi mendatang? Sebagai bangsa yang sibuk membangun masjid dan gereja, tetapi membiarkan keadilan runtuh di bawah kaki para pemimpin yang rakus? Ataukah sebagai bangsa yang benar-benar menghidupkan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari, di dalam dan di luar ruang ibadah?
Pertanyaan ini bukan sekadar renungan akademis, tetapi panggilan untuk bertindak. Jika kita menginginkan bangsa yang bersih dari korupsi, maka kita harus lebih dulu jujur pada diri sendiri: apakah kita sudah benar-benar menghidupkan nilai-nilai yang kita klaim kita yakini? Atau kita hanya sedang memainkan peran dalam sandiwara besar, di mana Tuhan hanya menjadi penonton yang kita abaikan setelah tirai ditutup.
______
Penulis
Fileski Walidha Tanjung, adalah seorang penulis dan pendidik yang aktif menulis esai, puisi, dan prosa di berbagai media.
Kirim naskah ke