Friday, March 21, 2025

Puisi-Puisi Polanco S. Achri

Puisi Polanco S. Achri




Kepada Duryudana, Anakku

 

Oh, Duryudana, Anakku, mestilah dirimu tahu, bahwa seorang bisa

hidup tanpa mata; tetapi tiada bisa bila tanpa kenangan di kepala.

Dan kenangan yang kupunya, Duryudana, hanya sebuah sahaja,

hanya perjumpaan dengan seekor ular purba: ular yang sama

dengan yang suguhkan Khuldi pada Hawa. Digigitnya

sepasang mataku dan berkata seolah sabda: Oh, Drestarata,

yang akan dirimu lihat, di kehidupan nanti, hanya pertunjukan

berwarna merah, pertunjukan yang basah oleh darah; dirimu

lebih butuh sepasang telinga dibanding sepasang mata lebih butuh

menyimak suara dibanding saksikan lakon-cerita yang amat gulita

yang amat menyiksa!

 

(2019—2025)

 

 

Sepasang Mata yang Buta

 

            1.

Oh, Dewa-dewa yang gemar menunggu, telingaku

masih bisa mendengar suara; lidahku masih bisa bersabda;

dan sepasang tanganku masih bisa meraba benda; bahkan

hidungku masih bisa mencium aroma duka. Akan tetapi,

kenapa para tetua Astina tiada rela bila diriku, Drestarata,

menjadi raja—selama Pandu, adiku, masihlah ada?

 

            2.

Aku bisa mengingat suara Gandari; bisa meraba

tubuh halus-sintalnya; bisa mencium aroma wangi

kembang tubuhnya; bisa merasa lembut bibir serta

yoninya. Akan tetapi, sekalian tiada percaya jika

aku, Drestarata, adalah suami Gandari; hanya

karena tiada dapat genap kubuktikan, di balik kain

penutup matanya, tertulis nama Pandu, tertulis nama

saudaraku yang dikutuk pandita tua tersebab suatu tabu.

 

            3.

Meskipun buta sepasang mata, aku tetaplah manusia

yang bisa menangis dan menjatuhkan airmata; tetaplah

manusia yang bercita bebas dari derita, dan berharap kuat

kala maut datang menjemput—meski datang begitu lembut.

 

(2019—2025)

 

  

Kepada Gandaraiku

 

            1.

Mata adalah gerbang hati, kata seorang pandhita sakti. Lalu,

bila tertutup matamu, dengan kain tebal itu, oh, Gandariku,

bagaimanakah pula caranya masuk ke dalam sepi hatimu?

Memang buta sepasang mataku tapi sungguh terbuka

bagimu senantiasa. Karenanya, dirimu bisa masuk

ke dalam hatiku dengan sesuka. Dan cinta, Gandariku,

tiada buta seperti yang dirimu kata—sehingga dirimu mesti

menggenapi dengan mengikat kain di sepasang mata. Cinta,

Gandariku, adalah bisik yang menggoda; adalah bisik

yang membuat seorang buta, sepertiku, terjatuh ke dalam

palung yang teramat maha . . .

 

2.

Duh, Gandari, apa dirimu masih sesali, sebab istri Pandu

bukan dirimu menjadi? Jika iya, sesalilah yang ingin disesali.

Akan tetapi, kini, Gandari, jawablah tanyaku, apa dirimu yakin,

Pandu dapat genap memandu? Apakah karena matanya dapat

melihat dan terbuka, lantas dengan serta merta segala soal

jadi tepat untuk dikata, diterka dan dilaksana?

 

(2016—2025)

 


 

Sabda Sengkuni kepada Duryudana sebelum Pertempuran Akbar

 

Keponakanku, mestilah dirimu tahu, bahwa masa depan

adalah sebuah permainan tebak-tebakan, bahwa masa kini

adalah sepasang dadu, dan masa lalu adalah tangan gaib

yang mengocok sepasang itu! Kemenangan, bagimu,

Keponakanku, seperti yang diajarkan tetua-tetua itu,

bukanlah pilihan; tetapi suatu keharusan. Namun,

izinkan aku bertanya padamu: Apa asyiknya bertaruh

pada sesuatu yang pasti akan dimenangkan? Perjudian

yang demikian tiada mengasyikan! Sungguh, setelah

kalah seratus kali, dan dirimu masih betah untuk percaya,

bahwa ada kemenangan sesudah itu, maka sungguh dirimu

adalah keponakanku! Karenanya, pertaruhkanlah semua.

Pergilah ke ibundamu, Keponakanku, minatalah ajian itu.

Andaipu kalah, marilah kita kalah dalam kemegahan!

 

(2020—2025) 

 


Adegan setelah Membuka Kain Penutup Mata guna Putra Tertua

 

Saat kain penutup mata kubuka, kupandang tubuh telanjang putraku

yang tertua, Duryudana; dan jadilah kebal tubuhnya—sebab sakti netraku

yang telah bertapa. Akan tetapi, betapa bergetar hati kala dikatanya:

 

Ibunda, seluruh tubuh sahaya kini telah kebal, sebab telah dipandang

sakti netra yang memancar. Akan tetapi, Ibunda, bukankah hati sahaya

tiada genap dipandang sepasang itu mata? Karenanya, apabila ada

lembut jarum kenai hati sahaya, tetaplah sahaja sahaya akan dapati luka.

 

(2024—2025)

 

 

Dua Perempuan di Bawah Pohon yang Kering Tanpa Daun

 

            Nimas Gandari, apakah benar kiranya, di balik penutup matamu,

            tertulis nama suamiku, tertulis nama Kanda Pandu?

 

Oh, Rayi Kunthi, apakah benar pula kiranya, sebelum berjumpa

dengan Pandu, dirimu telah membuang putra—yang adalah

Adipati Angga, lelaki yang dikenal sebagai Karna putra Radha?

 

Nimas Gandari, apakah dirimu pernah bermimpi menikahi

Kanda Pandu dan melahirkan Pandawa berjumlah seratus satu?

 

Oh, Rayi Kunthi, apakah dirimu pernah membayangkan, pabila

menikahi Drestarata, seorang yang ingin meminjam sebelah mata,

dari pujangga istana, hanya supaya bisa melihat wajah istrinya?

 

Sebuah mantra yang dikata anugerah telah membawa musibah, telah

membawa serangkaian susah. Andai mantra itu tiada diberi padaku,

mungkin sahaja tiada akan benar aku menderita—

 

Menyesalah, Rayi Kunthi. Sesalilah yang mesti disesali. Namun,

semua tiada bisa diulangi kembali, tiada genap bisa diperbaiki. Aku,

Gandari, hanya bisa menyesali juga mengutuki. Sedih ini hanya

sejenis bukti: kita manusia biasa, meski melahirkan anak-anak dewa.

 

(2019—2025)

 

 

Bhisma sebelum Perang Akbar Dimulai

 

Apabila kupilih tahta dan jadi seorang raja Astina, juga

tiada jadi pandita-petapa, apakah perang di Kurusetra

bisa dicegah terlaksana? Apabila tiada kuangkat sumpah

berganti nama, apakah perang ini kan tetap terlaksana?

Oh, Dewi Gangga, Ibunda yang kucinta, kenapa dadaku

kering selalu? Oh, Amba, apabila aku bercinta denganmu

apa perang ini bisa sirna? Ah, apakah benar sabda itu,

bahwa yang bisa menyembuhkan asmara hanya

perang agung yang begitu maha?

 

(2024—2025)


 

Adegan yang Lain, Percakapan yang Lain

 

Aku tiada mau ke Kurusetra, Krisna, sebab ada

perang lebih besar yang harus kumenangkan.

 

Perang di dalam hatimu? Itu hanya umpama,

Arjuna. Itu hanya sanepa, hanya bunga bahasa.

 

Ya. Memang umpana, memang sanepa,

bunga bahasa. Dan itu seperti ucapanmu, Krisna.

 

(2024—2025)

 


 

Percakapan Akhir Drestarata dan Gandari sebelum Sirna

 

Apakah setelah kita mati segala derita

akan sungguh-sungguh berhenti?

 

Setelah mati, barangkali hanya lega,

hanya kembali menjadi Hampa.

 

Apa dirimu bisa membayangkan

warna neraka, Suamiku?

           

Aku bisa melihat dengan jelas surga,

Gandariku.

 

(2024—2025)

 

______

Penulis


Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Ia menulis puisi, naskah drama, dan esai-esai tentang seni. Selain menulis, terkadang, ia menyutradarai pertunjukan teater dan menguratori pameran. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan Instagram: polanco_achri.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com



This Is The Newest Post