Puisi Polanco S. Achri
Kepada Duryudana, Anakku
Oh, Duryudana, Anakku,
mestilah dirimu tahu, bahwa seorang bisa
hidup tanpa mata; tetapi tiada
bisa bila tanpa kenangan di kepala.
Dan kenangan yang kupunya,
Duryudana, hanya sebuah sahaja,
hanya perjumpaan dengan seekor
ular purba: ular yang sama
dengan yang suguhkan Khuldi
pada Hawa. Digigitnya
sepasang mataku dan berkata
seolah sabda: Oh, Drestarata,
yang akan dirimu lihat, di
kehidupan nanti, hanya pertunjukan
berwarna merah, pertunjukan
yang basah oleh darah; dirimu
lebih butuh sepasang telinga
dibanding sepasang mata lebih butuh
menyimak suara dibanding
saksikan lakon-cerita yang amat gulita
yang amat menyiksa!
(2019—2025)
Sepasang Mata yang Buta
1.
Oh, Dewa-dewa yang gemar menunggu, telingaku
masih bisa mendengar suara; lidahku masih bisa
bersabda;
dan sepasang tanganku masih bisa meraba benda; bahkan
hidungku masih bisa mencium aroma duka. Akan tetapi,
kenapa para tetua Astina tiada rela bila diriku,
Drestarata,
menjadi raja—selama Pandu, adiku, masihlah ada?
2.
Aku bisa mengingat suara Gandari; bisa meraba
tubuh halus-sintalnya; bisa mencium aroma wangi
kembang tubuhnya; bisa merasa lembut bibir serta
yoninya. Akan tetapi, sekalian tiada percaya jika
aku, Drestarata, adalah suami Gandari; hanya
karena tiada dapat genap kubuktikan, di balik kain
penutup matanya, tertulis nama Pandu, tertulis nama
saudaraku yang dikutuk pandita tua tersebab suatu
tabu.
3.
Meskipun buta sepasang mata,
aku
tetaplah manusia
yang bisa menangis dan menjatuhkan airmata;
tetaplah
manusia yang bercita bebas dari derita, dan berharap kuat
kala maut datang menjemput—meski datang begitu lembut.
(2019—2025)
Kepada
Gandaraiku
1.
Mata
adalah gerbang hati, kata
seorang pandhita sakti. Lalu,
bila
tertutup matamu,
dengan kain tebal itu,
oh, Gandariku,
bagaimanakah pula caranya masuk ke dalam sepi
hatimu?
Memang
buta sepasang mataku
tapi sungguh terbuka
bagimu senantiasa.
Karenanya,
dirimu bisa masuk
ke dalam hatiku dengan
sesuka. Dan cinta,
Gandariku,
tiada buta seperti yang dirimu
kata—sehingga dirimu mesti
menggenapi dengan mengikat
kain di
sepasang mata. Cinta,
Gandariku,
adalah bisik yang menggoda; adalah bisik
yang
membuat seorang buta,
sepertiku,
terjatuh ke dalam
palung
yang teramat maha . . .
2.
Duh, Gandari, apa dirimu masih sesali, sebab istri
Pandu
bukan dirimu menjadi? Jika iya, sesalilah yang ingin
disesali.
Akan tetapi, kini, Gandari, jawablah tanyaku, apa
dirimu yakin,
Pandu dapat genap memandu? Apakah karena matanya dapat
melihat dan terbuka, lantas dengan serta merta segala
soal
jadi tepat untuk dikata, diterka dan dilaksana?
(2016—2025)
Sabda
Sengkuni kepada Duryudana sebelum Pertempuran Akbar
Keponakanku,
mestilah dirimu tahu, bahwa masa depan
adalah sebuah permainan tebak-tebakan, bahwa masa kini
adalah sepasang dadu, dan masa lalu adalah tangan
gaib
yang mengocok sepasang
itu! Kemenangan,
bagimu,
Keponakanku, seperti yang diajarkan tetua-tetua itu,
bukanlah
pilihan; tetapi
suatu keharusan.
Namun,
izinkan
aku bertanya padamu: Apa
asyiknya bertaruh
pada
sesuatu yang
pasti akan dimenangkan? Perjudian
yang
demikian tiada
mengasyikan! Sungguh, setelah
kalah seratus kali, dan dirimu masih betah untuk percaya,
bahwa
ada kemenangan sesudah
itu, maka sungguh dirimu
adalah keponakanku!
Karenanya,
pertaruhkanlah semua.
Pergilah ke ibundamu,
Keponakanku, minatalah ajian itu.
Andaipu kalah, marilah kita
kalah dalam kemegahan!
(2020—2025)
Adegan setelah Membuka Kain Penutup Mata guna Putra
Tertua
Saat
kain penutup mata kubuka, kupandang tubuh telanjang putraku
yang
tertua, Duryudana; dan jadilah kebal tubuhnya—sebab sakti netraku
yang
telah bertapa. Akan tetapi, betapa bergetar hati kala dikatanya:
Ibunda,
seluruh tubuh sahaya kini telah kebal, sebab telah dipandang
sakti
netra yang memancar. Akan tetapi, Ibunda, bukankah hati sahaya
tiada
genap dipandang sepasang itu mata? Karenanya, apabila ada
lembut
jarum kenai hati sahaya, tetaplah sahaja sahaya akan dapati luka.
(2024—2025)
Dua Perempuan di Bawah Pohon yang Kering Tanpa Daun
Nimas
Gandari, apakah benar kiranya, di balik penutup matamu,
tertulis
nama suamiku, tertulis nama Kanda Pandu?
Oh,
Rayi Kunthi, apakah benar pula kiranya, sebelum berjumpa
dengan
Pandu, dirimu telah membuang putra—yang adalah
Adipati
Angga, lelaki yang dikenal sebagai Karna putra Radha?
Nimas Gandari, apakah dirimu
pernah bermimpi menikahi
Kanda Pandu dan melahirkan
Pandawa berjumlah seratus satu?
Oh,
Rayi Kunthi, apakah dirimu pernah membayangkan, pabila
menikahi
Drestarata, seorang yang ingin meminjam sebelah mata,
dari
pujangga istana, hanya supaya bisa melihat wajah istrinya?
Sebuah mantra yang dikata
anugerah telah membawa musibah, telah
membawa
serangkaian susah. Andai mantra itu tiada diberi padaku,
mungkin
sahaja tiada akan benar aku menderita—
Menyesalah,
Rayi Kunthi. Sesalilah yang mesti disesali. Namun,
semua
tiada bisa diulangi kembali, tiada genap bisa diperbaiki. Aku,
Gandari,
hanya bisa menyesali juga mengutuki. Sedih ini hanya
sejenis
bukti: kita manusia biasa, meski melahirkan anak-anak dewa.
(2019—2025)
Bhisma sebelum Perang Akbar Dimulai
Apabila
kupilih tahta dan jadi seorang raja Astina, juga
tiada
jadi pandita-petapa, apakah perang di Kurusetra
bisa
dicegah terlaksana? Apabila tiada kuangkat sumpah
berganti
nama, apakah perang ini kan tetap terlaksana?
Oh,
Dewi Gangga, Ibunda yang kucinta, kenapa dadaku
kering
selalu? Oh, Amba, apabila aku bercinta denganmu
apa
perang ini bisa sirna? Ah, apakah benar sabda itu,
bahwa
yang bisa menyembuhkan asmara hanya
perang
agung yang begitu maha?
(2024—2025)
Adegan yang Lain, Percakapan yang Lain
Aku
tiada mau ke Kurusetra, Krisna, sebab ada
perang
lebih besar yang harus kumenangkan.
Perang
di dalam hatimu? Itu hanya umpama,
Arjuna.
Itu hanya sanepa, hanya bunga bahasa.
Ya.
Memang umpana, memang sanepa,
bunga
bahasa. Dan itu seperti ucapanmu, Krisna.
(2024—2025)
Percakapan Akhir Drestarata dan Gandari sebelum Sirna
Apakah setelah kita mati
segala derita
akan sungguh-sungguh berhenti?
Setelah mati, barangkali hanya
lega,
hanya kembali menjadi Hampa.
Apa
dirimu bisa membayangkan
warna
neraka, Suamiku?
Aku
bisa melihat dengan jelas surga,
Gandariku.
(2024—2025)
Penulis
Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Ia menulis puisi, naskah drama, dan esai-esai tentang seni. Selain menulis, terkadang, ia menyutradarai pertunjukan teater dan menguratori pameran. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan Instagram: polanco_achri.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com