Puisi Philip Levine (Penerjemah: Karst Mawardi)
Berapa Harga Bumi
Robek ke dalam cahaya, kau bangun menggeliat
di telapak tangan seorang wanita. Terbagi menjadi dua, empat,
terparut oleh angin, engkau tak lain kehidupan
yang menggairahkan di sepanjang perut
segumpal batu. Diam di kolam membeku
kaubilas surga dengan satu desahan.
Berapa harga bumi adalah satu manusia.
Sebidang tembok keji ambruk dan mawar-mawar
bergegas dari giginya; pada genggaman
orang lapar itu, timun-timun melelapkan
hidup mereka lebih dalam, di bawah kuku-kukumu
samudra mengerang dalam ranjangnya.
Berapa harga bumi.
Padang es besar tergelincir
dan pembuluh-pembuluh yang pecah dari satu bola mata
terkejut di bawah cahaya, satu tangan ditanamkan
dan kubur merekah naik
dalam sinaran matahari dan bergerak di jalan-jalan.
Yang Tidak Diketahui
Los Angeles mendengungkan
satu lagu kecil —
truk-truk menyusuri
jalan pesisir itu
menuju Monday Market
sesak dengan wajah-wajah kecil
yang berkedip dalam gelap.
Ibuku bermimpi
dekat jendela terbuka.
Pada papan pengering piring itu
punuk-punuknya yang kelabu terpanggang
tidak tersentuh, oven itu
menggebrakkan rahang besinya,
tetapi ini sudah berakhir.
Di hadapannya pada meja itu
ditata bagi begitu banyak orang
gelas apinya
padam.
Foto-foto yang kekanak-kanakan itu,
surat-surat dan kartu-kartu itu
berhamburan pada akhirnya.
Orang mati itu terbakar sendirian
menjelang fajar.
Kepal Tangan
Besi tumbuh di kegelapan,
ia bermimpi sepanjang malam
dan tak akan mampu. Setangkai bunga
yang membenci Tuhan, seorang anak
mencabiknya, yang satu ini
tak akrab pada apa pun.
Jum’at, larut,
Detroit Transmission. Andai aku hidup
selamanya, cahaya kabur pertama
dari fajar akan membanjiriku
di sungai-sungai kecil yang dingin
di utara Pontiac.
Tadinya lapang tetapi tidak lagi.
Kuncup amarah, sulur
berbelit kehidupanku, di sini
pada pagi yang dipalsukan
diisi dengan apa pun -- air,
cahaya, darah -- kecuali yang mengenyangkan.
Namaku
Seorang anak melihat namaku melewati
awan-awan merah muda yang bergerak perlahan
ke arah matahari terbenam, dan ia berkata,
“Philip Levine?” seolah-olah bagaimanapun
ia semestinya mengenali nama itu atau
maknanya, dan begitulah aku hidup pada hari lainnya
tetapi hanya sebagai suara itu dan sehembus
napas berbau susu coklat. Malam itu
huruf-huruf kehilangan satu sama lain dalam gelap,
dan tatkala hari baru menyingsing hanya
terdapat huruf “L” dan “e” yang
telah bersanding bersama, sekarang berputar-putar di atas
Ontario mencari sepatah kata benda maskulin
dalam bahasa Perancis. Kedua huruf “P” besar dan kecil
telah turun di Sungai Detroit
sebagai, yang hidup, aku tak pernah berpikir untuk melakukannya
dan tenggelam bagai roda-roda yang terberai berputar
dan berputar tanpa gandar hingga mereka
tiba untuk beristirahat di dasar yang sunyi
di sebelah kacamata hitam Morgan Sang Bajak Laut
yang berhiaskan permata dan hancur berkeping. Huruf “v”
lain kisah, putus asa untuk penceritaannya.
Huruf “h” tak pernah gembira melakukan hal-hal begitu sedikit.
Tiga huruf “i”, setelah lelah menjadi
bahkan sebagai bagian terkecil dari sesosok manusia, pergi
mencari tiga kaki baru. “l” kecil
dan “e” lain saling meraba-raba satu sama lain
bagai sepasang kekasih di dalam neraka dan bersama angin
mengembuskan udara sarat belerang
dari Del Ray, Michigan, melalui jiwa mereka
mereka berada di neraka. Itu menyisakan hanya
satu “n”, yang pernah tinggal bersamaku
dengan nyaman seolah-olah itu adalah “my nose”
atau untuk mengatakan “notorious” kepada dunia
yang lupa bahwa aku terlahir untuk membuat masalah.
"n" itu ada di sana sekarang, keras kepala dan setia,
melalap asap yang memualkan dari tempat-tempat pengolahan bir
dan menenggak cordial exotis yang bocor
dari seribu satu toko pelat kromium
yang menjadi tempat tinggalku. Segala hal dariku berjejal
dalam “n” kecil itu, ketakutanku, harapanku,
kenanganku yang gemerlap tentang hujan, air mata
yang tak pernah kupelajari untuk menyerah dan sedikit
yang menitik dengan sendirinya, bekas luka
pada bahuku, seluruh gigiku yang tanggal,
sendawa panjang yang kuwariskan pada setiap fajar,
segala hal dariku berimpit dalam satu huruf yang mengatakan
“nothing” atau “nuts” atau “no one” atau “never”
atau “nobody gives a shit.” Tetapi mengatakannya
dengan gaya seorang anak lelaki rajin yang belajar
bicara sambil mengisap sebatang sigaret atau mengorek
hidungnya tepat ketika prokantor melambung di hadapannya
ke sebuah surga dari kata-kata tanpa makna.
Salt dan Oil
Tiga lelaki muda dengan pakaian kerja yang kotor
dalam perjalanan pulang atau menuju sebuah bar
ketika pagi menjelang siang. Ini bukan
sebuah foto, ini satu momen
dalam kehidupan sehari-hari di dunia,
satu momen yang akan berlalu menjadi
biografi yang tak ditulis
dari kotamu atau kotaku
kecuali jika momen itu membeku dalam cetakan halus
dari sepasang mata kita. Aku memutar kepala
untuk membaca koran pagi dan kehilangan
kata-kata. Aku pergi ke jalanan
selama satu jam atau lebih, berjalan perlahan
bahkan untuk pria seusiaku. Aku membeli
sebuah apel tetapi tidak memakannya.
Wanita tua yang menjualnya berkata
mengenai tekstur dan getirnya, ia
tertawa dan pembuluh-pembuluh pada pipinya nampak coklat.
Aku memandang ke sungai ketika waktu
menolak untuk bergerak. Sementara itu ketiganya
mulai memudar, menyerahkan
nama-nama dan suara-suara mereka, aura dari
asap dan pelumas mereka, aroma anggur tajam mereka.
Kita harus menamai salah satunya untuk mengabadikannya,
kita akan menamainya Salt, si tinggi pirang
yang sepasang pergelangan tangannya terluka, yang merahasiakan
sesuatu, serapah atau air mata, dan mengibaskan
rasa lelah, sepasang mata birunya
membengkak karena tak dapat tidur, kata-katanya
porak-poranda pada tandukan dari napasnya.
Kita dapat pergi ke katedral
dari masa kecilnya dan menangkap kembali
suara-suara yang adalah miliknya, kita dapat
merebut kembali dirinya dari ambang api,
tetapi kemudian kita akan kehilangan yang lainnya,
seseorang yang kita panggil Oil, karena Oil
tengah merenung di celah-celah sempit
antara masa lalu dan masa kini, Oil bertahan
dalam arsip-arsip jam yang terkunci.
Sepucuk surat darinya memproklamirkan, “Presidenku
yang Terhormat, saya lebih memilih tidak . . .”
Satu lengannya tersampir menutup punggung
Salt, mulutnya lebar oleh tawa,
rambut hitam mengaburkan dahi,
ia ulurkan tangan kanannya, terbuka
dan kotor untuk mengurus rantai berkarat,
laher yang rekat pada as, sepasang tangan berparut
dari orang tak dikenal, tiada yang
tak dapat ia lakukan. Kedua orang ini bukan
sepasang saudara, yang satu tinggi dan serius,
berhidung panjang persis bangsa Slavia, bermata putih pudar,
mulut yang terengah tersinggung oleh surat kabar
lalu lintas, sedang yang satu lagi bersenang-senang
bersama kami di waktu pagi menjelang siang ini
di surga. Jika kau bertanya padanya,
“Apakah kau meredakan air yang bergolak?”
ia akan tersenyum dan menggoyangkan kepala tampannya,
tidak yakin dengan maksud ucapanmu. Jika kau menanyakan
sumber kegembiraannya ia akan mengangkat bahunya
yang berisi dan menggulirkan sepasang matanya
ke atas ke tempat di mana daun-daun berputar
menerima angin, dan burung-burung kota berwarna kelabu
bergegas terbang ke arah mangsanya, dan awan-awan pipih
menuliskan wasiat-wasiat samar mereka
di udara. Sesaat
energi yang menjadikan diri mereka
sebagaimana adanya memecahkan cahaya siang
ke dalam sepasang mata kita, dan ketika kita melihat
kembali mereka telah tiada dan nampak sunyi
itu jalanan, bertukar hari menjadi
malam, dan berlangsung musim gugur
di ini tahun. “Lelaki ketiga,”
kau bertanya, “siapa lelaki ketiga
dalam foto itu?” Tidak ada
foto, tidak ada misteri,
hanya Salt dan Oil
dalam kehidupan sehari-hari di seluruh dunia,
tiga lelaki muda dengan pakaian kerja yang kotor
dalam perjalanan mereka di bawah selingkar halo
dari awan-awan yang tercabik dan burung-burung kota yang amat lapar.
Ada asap dan pelumas, ada
lelah milik pergelangan tangan, ada suara tawa,
ada huruf yang macet pada jam
dan bau tajam buah apel, sungai
melancar di sepanjang tepiannya, kini
lebih gelap tinimbang langit yang turun
untuk terakhir kalinya menyebarkan berlian-berliannya
ke dalam perairan hitam ini yang mengandung
hari yang telah berlalu, malam yang akan tiba.
______
Penulis
Philip Levine (lahir pada 10 Januari 1928 di Detroit, Michigan, A.S.—wafat pada 14 Februari 2015 di Fresno, California) adalah seorang penyair Amerika yang hidup di kalangan pekerja urban. Ia memenangkan banyak sekali penghargaan bergengsi dan menjadi U.S. poet laureate (2011–12). Dalam puisinya Levine mencoba untuk bicara mewakili mereka yang kecedasannya, emosinya, dan imajinasinya dibatasi oleh kondisi pekerjaan yang kasar dan membosankan. Puisi-puisinya menawarkan gambaran grafis tentang kota-kota yang kelabu, percakapan dan tindakan yang tak berarti, penghinaan halus, perampasan, dan keputusasaan. Levine menulis dalam bentuk sajak bebas dan dalam larik-larik dengan ritme yang bervariasi, dan bahasanya jelas. Kendati perhatian Levine pada kebrutalan kehidupan modern, ia juga menulis puisi tentang cinta dan sukacita. Dari banyaknya buku kumpulan puisi karyanya, antara lain: On the Edge (1963), They Feed They Lion (1972), Ashes (1979; pemenang National Book Award), dan A Walk with Tom Jefferson (1988).
Penerjemah
Karst Mawardi, lahir di Banjarmasin pada 28 Juni 1999. Bekerja di salah satu sekolah dasar di Kota Banjarmasin. Di samping kesibukannya, ia juga melakukan studi untuk mempersiapkan naskah puisinya, Tendensi.
Sumber Teks Asli Puisi
1. Berapa Harga Bumi (How Much Earth) dari laman: https://www.poeticous.com/philip-levine/how-much-earth
2. Yang Tidak Diketahui (The Unknowable) dari laman: https://www.best-poems.net/philip_levine/the_unknowable.html
3. Kepal Tangan (Fist) dari laman: https://www.best-poems.net/philip_levine/fist.html
4. Namaku (My Name) dari laman: https://www.poetryfoundation.org/poetrymagazine/browse?volume=134&issue=6&page=5
5. Salt dan Oil (Salt and Oil) dari laman: https://www.poeticous.com/philip-levine/salt-and-oil#google_vignette
Sumber biodata
Biodata penyair Levine dikutip dan diterjemahkan dari:
https://www.britannica.com/biography/Philip-Levine-American-poet