Saturday, March 29, 2025

Resensi Alexander Robert Nainggolan | Susi dalam Puisi

 Oleh Alexander Robert Nainggolan




Judul: Susi (Sajak-Sajak 2008-2013)

Penulis: Gus tf

Penerbit: JBS, Yogyakarya

Terbit:  September 2024

Tebal: 86 hlm.



Lorong tubuhmu: daging terbakar menuju padam. Ah,

erangku parau, biru-lebam, tersangkut di nganga jeram (Puisi “Susi: dari Batangku”, hal. 15)



Untuk apa sebenarnya puisi ditulis? Apaklah hanya sebatas pergumulan ide dan penyulingan diksi dari dalam benak penyairkah? Apakah puisi bisa berubah menjadi sebuah “tangan”, meminjam ucapan Sutardji Calzoum Bachri—untuk memberikan reaksi terhadap sebuah peristiwa dan membalikkan keadaan.


Nyatanya memang, puisi senantiasa bergumul dengan sejumlah peristiwa; segala hal ihwal yang membalutnya acapkali tak akan dapat lepas dari realitas. Dengan sejumlah citraan yang dibangunnya, puisi mungkin bisa aneh dan ambigu, namun sesungguhnya ia tak pernah lepas dari kenyataan yang terjadi—tentunya dari setiap kejadian kehidupan ataupun keseharian dari penyair yang menuliskannya. 


Dan apakah puisi acap mengisahkan tentang biografi seseorang, katakanlah jika tokoh yang diciptakan penyair nyata adanya dengan satu nama yang sama: Susi. Susi yang berkelebat dan melingkupi pelbagai ruang, peristiwa, citra, anarsir. Susi yang menelusup ke seluruh bagian kehidupan. Susi yang bisa berubah bentuk menjadi apa pun. Metamorfosa dalam sejumlah kata dan fragmen. 


Adalah Gus tf, seorang penyair—dengan pergumulannya lewat kata seperti mendedahkan segala hal ihwal tentang Susi dalam buku ini. Ia mengembara dengan sejumlah ingatan, menelusup ke pelbagai sisi metafisika, mengambil petuah, mendedahkan luka juga anomali. Pun ia hadir dalam wujud yang lain, mencari saripati kata juga menyingkap segala tabir dari sejumlah kitab suci. Sejumlah puisi yang hadir terasa absurd, namun setelah dibaca berulang kali membuka pelbagai sisi ruang yang lain.


Dengan pergulatannya terhadap sejumlah metafora, ia menciptakan kelindan yang baru. Memberikan sejumlah “ruang” dan menciptakan dunia lain yang berbeda—barangkali agak asing, kesepian, namun menawarkan sketsa yang baru terhadap bingkai peristiwa itu sendiri.  Buku ini merupakan kumpulan puisi dengan titimangsa 2008-2013, terdiri dari lima bagian: Sesudah Tahun-Tahun, susi dari Siang dan Malam, Susi dari Puisi, Susi dari Rumah Gadang dan Atau Apa pun Itu. 


Sebagaimana yang pernah diungkapkan penyair Gwen Dolyn Brooks, jika puisi adalah kehidupan yang disuling. Setidaknya, di tangan Gus tf, puisi memang menghasilkan nektar kata yang murni, ia terbaca sebagai jejak kata yang karib lebih bertenaga dan menghasilkan citra dengan penuh kejernihan. 


Bagaimana dirinya membedah mitologi dalam puisi “Susi dari Cashinava”: 


Apa yang dulu nyata, kini menjadi dongeng kuno,

apa yang dulu dongeng kuno, kini menjadi mitologi


Si pemegang kunci yang mengenalkan diri sebagai Damis, tak pernah kautemui di Nineveh. Nineveh yang dulu kaukenal sebagai kota, pun kini cuma tinggal sebuah sumur tua. Tak ada timba. Ada seekor ular menjaga; ular yang setiap kaubutuh air dan berhasil menimba, setiap kali itu pula akan berganti kulitnya: dari putih ke hijau, hijau ke biru, biru ke jingga. Dan setiap kembali ke putih, kau segera tahu wujud aslinya: Heracles.  (hlm. 30)


Atau bagaimana Gus tf membaca sebuah riwayat dalam puisi “Susi dari Shandiar” yang turut mengambil kisah dari Al-Qur’an surat 37 ayat 21:


Kaudengar, pahat itu lengking, nyaring pilu batu. Rayng-sedan, hari pemisahan. Dua juta tahunku—empat puluh lima ribu tahunmu, mengerut surut di Baradostian. Sesrat mengendap, dedaging bertahan, ruang-waktu pudur di Barda Balka. “Wahai, tangga spiral berputar itu, yang dulu kaubawa dari Sumeria, pernahkah sudah sampai ke Inca?” (hal. 40)



Labirin Puisi


Mulanya terlihat sebagai ruang yang sempit, namun ia banyak membuka ruang lainnya menjadi semakin lebar dan luas. Meskipun kita berhadapan dengan banyak pintu yang lain, semacam usaha untuk mencari jalan keluar. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Joko Pinurbo, jika membaca puisi ibarat memasuki rimba dan di tangan pembacalah bagaimana bisa memilah terhadap hal ihwal yang ditemui di dalam rimba tersebut. 


Membaca puisi-puisi Gus tf, seperti masuk ke “rimba” semacam itu, seperti hinggap di labirin puisi. Kita seperti diajak untuk mencari segala ilmu pengetahuan yang jarang terkuak dengan turut memadukan semua pengetahuan yang dimiliki.. Namun dengan mengkhidmati setiap bauran kata yang dihadirkan, seperti menemukan pintu dari jalan tersebut. 


Dan, Gus tf, telah tanak menuliskan puisinya, ia memegang teguh jika puisi memang sebuah sulingan dari dunia itu sendiri. Ia tak cadas mengisahkan kebingaran dunia dan seisinya, ia mendedahkan sebuah dunia baru di mata pembaca. Setidaknya, bagi saya, Gus tf telah berhasil menyuguhkan puisi-puisi yang mencerahkan. Ia menawarkan puisi dari sisi lain, dengan tetap menjaga kekhasan dari gaya ucap.


Bagaimana ia menghidupkan segala musabab yang telah lama menghilang di kehidupan:


karena tak cukup kata-kata dalam dirimu bisa mengerti

kata-kataku, bisu mengamuk pada bibirmu. Bisu milikku.

karena setiap kau memanggil hanya tebal dinding yang

menyahut, lengang memekik di dadamu. Lengang milikku.

karena semua apapun telah pulang kecuali Susi yang kau

rindu. ah, kekal menunggu sampai bungkuk. Kekal milikku.

(Puisi “Susi, Karena”, hal. 75)


Dan semua puisi dalam buku ini mengambil nama :Susi. Susi yang bisa bermetamorfosa ke pelbagai hal, peristiwa, kisah, keadaan—ataupun dalam segala macam benda. Susi yang acap mengembara dan menyuguhkan bentangan lanskap yang lain. Untuk hal ini saya teringat Goenawan Mohamad dalam tulisannya, akhirnya, pada gilirannya kita mengikuti bahasa—bukan bahasa yang mengikuti kita. Saya hadir bukan sebagai subyek. Pun dalam puisi, penyair tak lagi sepenuhnya menentukan aliran diksi-diksinya akan ke mana sepenuhnya bermuara. Kata-kata bebas dengan sendirinya. 


Kata-katanya sebagaimana dalam puisi “Susi Gema” menjelma jadi gema yang panjang dan tak jarang kerap bersahutan. Puisinya meninggalkan rongga dengan sjeumlah pertanyaan yang tak pernah tuntas untuk dijawab:


Dari sebuah gua, kau teriakkan sebuah nama.

namamukah? Dinding bukit memantulkan,

menjadikannya dua-tiga suara; memisah,

sat uke masa lalu, satu lagi ke masa depanku.

“Jangan biarkan ia terpisah,” katamu. Apa peduliku? (hlm. 47)



______

Penulis


Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016), Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, Penerbit JBS, 2023), Fragmen-fragmen bagi Sayyidina Muhammad (kumpulan puisi, Penerbit Diva Press, 2024).

Facebook: alexr.nainggolan@yahoo.co.id- Alex R.  Nainggolan

Email: alexr.nainggolan@gmail.com / alexr.nainggolan@yahoo.co.id

Instagram: alexrnainggolan

Kini berdomisili di Taman Royal 3 Cluster Edelweiss 10 No. 16 Kel. Poris Plawad Kec. Cipondoh Kota Tangerang Banten.



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

This Is The Newest Post