Cerpen Sammy Khalifa
Dua jam usai Pratu Sulistyo dinyatakan hilang, kemarahan Serda Hermawan sudah di ubun-ubun. Warga Desa Limaupulo dikumpulkan di depan kantor keuchik. Mereka dibariskan ke dalam tiga saf. Laki-laki dan perempuan. Anggota TNI lainnya sudah bersiap-siap menunggu komando dari Serda Hermawan.
“Bajingan kalian. Siapa yang telah menculik anggotaku, heh?” Serda Hermawan menendang salah seorang warga dalam barisan tersebut di dadanya hingga tergelimpang ke belakang.
“Jawab, Anjing! Kalian GAM kan?” Satu per satu lelaki dihajar tentara dengan tangan kosong, popor senjata, dan sepatu lars mereka.
Tatapan mata Serda Hermawan semakin tajam. Perempuan sudah disuruh bersandar di dinding papan kantor keuchik. Sementara yang lelaki dibariskan menjadi satu saf. Kawanan perempuan dan anak-anak dipaksa untuk menyaksikan apa yang hendak dilakukan tentara kepada kaum lelaki. Suasana menjadi horor layaknya adegan detik-detik eksekusi terpidana hukuman mati.
Sepersekian sekon sebelum Serda Hermawan melirikkan mata dari tatapan anggotanya ke arah barisan laki-laki di depannya sebagai kode eksekusi, di kejauhan ia mendengar pekikan seseorang. Seorang lelaki berkaos putih tampak kesusahan memapah lelaki berbaju loreng dengan senapan M16 disampirkan di bahu kirinya. Mereka berjalan terseok-seok ke arah Serda Hermawan.
Serda Hermawan mengangkat tangan kanannya tinggi, ragu-ragu. Pasukannya pun mulai melepaskan jari telunjuknya dari pelatuk senjata mereka masing-masing. Tiba-tiba, ia diserang bimbang. Serda Hermawan tampak terdiam menatap dua sosok manusia yang sedang berjalan ke arahnya. Dia masih tak percaya dengan penglihatannya. Mustahil!
“GAM!” Serda Hermawan berseru lantang.
Pratu Sulistyo dengan segenap sisa tenaganya memekik dan melambaikan tangan ke arah komandannya.
“Bukan, Ndan. Justru dia yang bantu saya lepas dari kepungan orang GAM.” Sulistyo yang masih lemah lantas segera disambut oleh tentara lainnya untuk dibaringkan ke dalam truk.
“Lepaskan orang kampung ini. Mereka tidak bersalah,” ujar Amat Rajajen, pria yang memapah Pratu Sulistyo tersebut.
Serda Hermawan bergeming. Ia malah menatap pria itu dengan sinis.
“Emang kau siapa?” Serda Hermawan tak mampu menahan kemelitannya.
“Saya bukan siapa-siapa, Pak,” sahut Amat Rajajen sambil berlalu membalikkan badan kembali ke peraduannya di gua. Serda Hermawan, pasukannya, dan warga yang sebelumnya disandera hanya bisa termangu.
Semua kekacauan ini bermula saat Serda Hermawan bersama pasukannya dari Batalion Infanteri Prabu Salya memutuskan untuk menyerang anggota GAM di kaki gunung Desa Limaupulo pada suatu siang di bulan Juli 2001.
Dua unit truk Reo M35 yang membawa Serda Hermawan dan pasukannya menerabas jalan berkerikil Desa Limaupulo, membuat ayam dan bebek warga terbang berhamburan di antara debu akibat lintasan truk tersebut. Truk ini datang dari pos tentara di Kutapraja yang berjarak sekitar sepuluh kilometer.
Melewati persawahan, jembatan kayu, kemudian berjalan kaki melintasi perumahan warga, dan mulai menyusuri sawah. Nyanyian beberapa ekor tonggeret mengiringi langkah mereka.
Mereka mendapatkan informasi sehari sebelumnya dari seorang ‘anak panah’ warga kampung setempat yang bernama Madi alias Bo-eng. Ia mengatakan bahwa pasukan GAM akan turun ke kampung hari itu untuk memasok logistik seperti beras, mi instan, telur ayam, dan ikan asin. Sialnya, informasi kedatangan anggota TNI itu sudah duluan bocor ke anggota GAM setempat. Informasi ini diteruskan salah seorang anggota GAM yang berada di Kutapraja dan menyamar sebagai warga sipil.
Dua belas orang anggota GAM berkaos loreng dan beberapa lainnya hanya mengenakan singlet sudah mengintai dari kaki gunung. Sebagian mereka mengenakan celana taktikal kumal dan lainnya hanya memakai celana jin sobek di lutut. Mereka telah siaga di posisi masing-masing. Tapi hanya lima orang anggota yang siap dengan senjata karena mereka cuma memiliki tiga pucuk AK-47 popor kayu dan dua pistol FN rakitan. Lainnya hanya tiarap di belakang.
Rentetan senjata terdengar berkali-kali dari arah kaki gunung ketika anggota TNI berada di tengah areal persawahan. Membentuk bunga-bunga api yang meletup di udara. Burung kuntul yang terkejut terbang menjauh. Beberapa ekor kerbau lari tak keruan. Jalak yang sebelumnya sedang mencatuk kutu di punggung kerbau juga memilih minggat: menghindari bentrokan dua kelompok manusia yang tak pernah mereka pahami.
Diserang dadakan seperti itu, anggota tentara terkesiap. Mereka tiarap dan merayap di antara lumpur sawah yang batang padinya mulai menguning. Berusaha membalas tembakan-tembakan orang GAM yang berjarak sekitar 200 meter dari mereka. Pertempuran yang sebenarnya setelah latihan panjang melintasi rentetan senjata sewaktu pendidikan militer mereka.
“Juancok!” Serda Hermawan tak mampu menyembunyikan kekesalannya di tengah kekalutan.
Pasukannya terjebak di dalam lumpur sawah. Tak ada benteng atau tempat berlindung sama sekali. Yang bisa dilakukan hanyalah merunduk di balik pematang sawah yang sedikit menonjol.
Tiga jam lebih tentara terperangkap di dalam sawah. Mereka semakin tersudut. Pasukan Batalion Prabu Salya pun terpaksa mundur teratur. Tentara terpaksa angkat kaki karena tak mengira bakal diserang mendadak sedemikian rupa. Selain itu, mereka juga tak menguasai medan sawah dan pegunungan setempat yang menjadi daerah kekuasaan GAM.
Namun, pihak GAM harus rela kehilangan salah seorang anggotanya dalam serangan tersebut. Suardi, anggota GAM yang bersenjatakan pistol FN rakitan tewas tertembak di wajahnya. Dua anggota lainnya luka-luka tertembak di pinggang dan lengan.
Anggota TNI kembali menaiki truk yang diparkir di depan rumah warga dan balik ke pos Kutapraja. Tak ada percakapan selama perjalanan pulang. Kecuali seorang anggota yang meringis karena tertembak di tangan, hanya Serda Hermawan yang bersungut-sungut.
Setiba di pos, anggota tentara yang juga bertugas sebagai paramedis langsung mengobati rekannya yang terluka. Mereka juga mengecek senjata masing-masing setelah kontak senjata selama tiga jam lebih itu.
Semuanya tampak baik-baik saja.
Tiba-tiba, Serda Hermawan tampak mengernyitkan dahi. Salah satu regu pasukannya kehilangan seorang anggota, Pratu Sulistyo.
***
Amat Rajajen tersentak dari kalutnya di gua ke-39 ketika mendengar suara seperti letupan kembang api raksasa yang membahana berkali-kali. Merasa terusik, ia kemudian mengecek keluar gua apa yang sedang terjadi. Ia melihat kilatan bunga-bunga api yang saling menyambar bertebaran di udara. Dua kelompok manusia sedang terlibat perang. Satu kelompok berada di antara pepohonan dan semak belukar di kaki gunung. Sementara kelompok lainnya terjebak dalam lumpur sawah.
Ia bersembunyi di balik pohon ketapang. Bulu kuduknya bergidik ketika melihat apa yang sedang terjadi.
Di saat itu pula Amat Rajajen menyaksikan sendiri bagaimana seorang manusia di kaki gunung yang sedang menggenggam pistol terpelanting beberapa sentimeter ke belakang. Terhempas dari persembunyiannya di belakang pohon bacang. Amat Rajajen terkinjat. Ia dapat melihat dengan jelas percikan darah segar di belakang batok kepala lelaki itu yang ditembus peluru.
Rentetan senjata baru mereda tiga jam kemudian. Bau hangus menguar di udara. Kelompok manusia di lumpur sawah telah angkat kaki. Darah dan kematian membuat pagi itu menjadi suram dan kelabu.
Amat Rajajen sudah kembali ke dalam gua untuk melanjutkan pertapaannya. Satu jam lebih kemudian, ia kembali diusik suara. Kali ini bukan oleh senjata, tapi rintihan tertahan dari seseorang. Sekitar 50 meter di luar gua, ia melihat seorang lelaki berbaju loreng dengan bordiran dua garis merah horizontal di lengan bajunya yang tampak tengah menahan sakit beringsut pelan. Di dada kirinya tertera tulisan TNI-AD.
Lelaki berseragam loreng itu menyeret serta senjatanya dengan susah payah. Pelan sekali sehingga tampak nyaris tak bergerak. Darah tampak menetes dari dalam sepatu lars kirinya. Ia nyaris tak berdaya.
Putus asa. Pandangan matanya mulai memudar. Tak lama kemudian, lelaki itu pun tergolek pingsan.
Ia mendapati dirinya telah berada di dalam sebuah gua yang lembab dan gelap ketika terbangun. Sepatu lars di kaki kirinya sudah dicopot. Kakinya kini telah dibalur dengan gel sarang walet untuk mempercepat pemulihan luka, lalu dibalut dengan selembar kain. Seseorang mendekatinya seraya membawa suluh daun kelapa kering yang menyala. Pandangannya kini menjadi sedikit lebih terang.
“Siapa kau?” Pratu Sulistyo mencoba bangkit meski tenaganya belum sepenuhnya kembali. Ia mengokang M16 di tangannya dan menodongkannya ke arah lelaki tersebut.
“Bapak pingsan. Kakinya luka. Saya balut pakai kain,” ujar lelaki itu dengan kosakata bahasa Indonesia yang terbatas dikuasainya. Ia mengisap rokok daun nipah di mulutnya lebih dalam.
“Kenapa kau menolongku? Bukankah kau anggota GAM?”
“Oh bukan, Pak. Saya orang biasa.”
“Jadi, siapa namamu?”
“Amat.”
Amat Rajajen lantas memutuskan untuk membawa turun Pratu Sulistyo dan mengembalikannya ke Batalion Prabu Salya yang dikomandani Serda Hermawan. Ia telah turun ke kampung. Padahal saat itu belum memasuki 15 hari bulan. Gara-gara peristiwa itu, Amat terpaksa melanggar janjinya sendiri untuk tak keluar dari gua selain waktu 15 hari bulan.
Keesokan harinya, dua truk Reo yang sama kembali melintasi jalan berdebu kampung tersebut menjelang siang. Warga yang sebelumnya sedang bekerja atau santai di depan rumah segera disuruh berkumpul di satu titik oleh tentara. Tindakan salah seorang warga bernama Rajudin yang tampak menunduk dan menghindari menatap langsung justru membuat perhatian Serda Hermawan tertuju padanya.
Dikawal salah seorang anggotanya, Serda Hermawan memanggil Rajudin. “Hei kau, sini!”
“Iya, Pak.”
“Kau tahu di mana Amat Rajajen?”
“Hmm.. biasanya dia di gua walet, Pak.”
“Gua walet yang mana?”
“Kurang tahu, Pak.”
Plak.
Muka Rajudin berpaling ke kiri setelah pipinya terkena tamparan Serda Hermawan.
“Bajingan kalian. Mencari satu orang Amat Rajajen saja kalian tidak bisa. Jumpa orang yang satu ini malah lebih susah daripada ketemu sama orang GAM.” Serda Hermawan bersungut-sungut.
“Kau, sampaikan sama Amat Rajajen, aku sebagai Komandan ingin berterima kasih karena telah menyelamatkan anggotaku yang terluka kemarin. Aku tak mau tahu, jumpai dia sekarang! Bilang aku menunggu kedatangannya jam dua nanti di pos Kutapraja untuk jamuan makan siang,” ujar Serda Hermawan sembari menatap Rajudin lekat-lekat.
“Iya, Pak,” sahut Rajudin lekas. Peluh berlelehan dari jidatnya.
Serda Hermawan dan pasukannya kemudian kembali ke pos Kutapraja. Tak menunggu lama, Rajudin yang mengemban amanah maha penting itu langsung menyusuri areal persawahan menggunakan sarung –ia tak sempat lagi mengganti celana– menelusuri satu per satu gua di kaki gunung, tempat biasa Amat Rajajen bersemayam hingga bertemu dengan sosok tersebut.
Ia mengutuk diri dalam hati. Ke mana ia harus mencari sosok petapa sinting itu bersemayam. Rajudin melewati pematang sawah satu per satu. Ujung sarungnya mulai berlumur lumpur. Ketakutan lain yang menderanya adalah apabila ia berpapasan dengan pasukan GAM. Perasaan itu membuatnya semakin cepat melangkah mencari Amat dari satu gua ke gua lainnya.
Di gua pertama yang didatanginya, ia tak mendapati orang yang dicari di sana. Ia lantas bergegas lagi menyusuri kaki gunung untuk menyambangi gua lainnya. Mukanya sudah basah oleh peluh. Namun ia harus terus mencari. Setelah jauh berjalan dan nyaris tak mendapatkan petunjuk apa-apa terkait keberadaan Amat Rajajen, sekonyong-konyong ia melihat seekor rangkong papan merah di sebuah pintu gua yang berjarak sekitar 100 meter di depan.
“Sepertinya itu rangkong papan milik Amat,” gumamnya. Ia lantas bergegas menuju ke sana. Dan benar saja, ia melihat sekelebat gelagat seseorang di dalam gua. Tak salah lagi, itu Amat Rajajen.
Usai mendengar pesan dari Rajudin, Amat Rajajen terdiam sejenak. Lantas berkata, “bilang sama Komandan, maaf aku tak bisa datang. Keudang Diwana sedang sakit. Aku tak bisa meninggalkannya.”
***
“Yakin yang kaulihat semalam itu si Amat Rajajen?” Pertanyaan Rajudin di pos ronda Kampung Limaupulo pada suatu pagi di bulan September 2000 terdengar lebih seperti sebuah cemoohan bagi Muhsin. Teman yang lain hanya menyimak dan memilih bungkam. Membiarkan dua kawan mereka bersawala sesamanya.
“Demi tongkat Tuan Tapa, tak ingatkah kau semalam persis 15 hari bulan, waktunya Amat Rajajen turun gunung?” Muhsin menyahut tak mau kalah.
“Iya juga sih, Din. Dia tak pernah keluar gua sembarang waktu,” Misbah tak tahan untuk menimpali.
“Halah, jangan mengada-ada. Sebaiknya kaukurangi isap gelek biar mulutmu tak meracau terus, Sin.”
Sebelumnya, Muhsin mengaku pada teman-temannya bahwa semalam sekira pukul 22.00, di kejauhan ia melihat sesosok manusia berjalan melintasi areal persawahan. Ia melihat orang itu saat sedang buang air besar di parit kecil pembatas sawah di belakang rumahnya.
Di bahu kanan orang itu bertengger seekor burung rangkong papan. “Persis seperti cerita yang dulu kudengar dari Keuchik Wahed,” desis Muhsis seperti tengah berbisik untuk dirinya sendiri seraya jongkok di atas kayu kecil dalam parit.
Muhsin jadi teringat dengan cerita yang pernah didengar dari Keuchik Wahed di warung kopi kampung pada suatu malam dua tahun sebelumnya. Tawarik tentang Amat Rajajen yang membuat bulu kuduk Muhsin merinding.
“Namanya Amat Rajajen. Ia kebal bacok. Bahkan konon kabarnya ia juga tak mempan ditembak senjata.
Makanya orang GAM tak ada yang berani macam-macam sama dia,” ucap Keuchik Wahed. Muhsin bergidik.
Keuchik Wahed melanjutkan ceritanya. Usia Amat Rajajen saat itu sekitar 35 tahun. Tubuhnya kekar.
Warna matanya hitam terang kebiru-biruan. Rambutnya belah tengah dengan cambang dan janggut tipis.
Sehari-hari, Amat Rajajen mengenakan kaos putih berlambang partai warna hijau dan celana kain abu-abu. Ia bertani di sepetak sawah di dekat kaki gunung.
“Dulu ia tinggal di sebuah rumah panggung terpisah di ujung kampung, sekitar 100 meter dari sini. Tak ada orang yang berani menyamperinya ke rumah tersebut karena jalannya terhalang oleh semak belukar dan suasananya yang angker.” Keuchik Wahed berhenti sejurus untuk menyesap kopinya yang mulai dingin.
“Di rumah itu, awalnya Amat Rajajen tinggal bersama istri dan seorang anak perempuannya yang waktu itu baru berusia tiga tahun. Namun, banjir raya yang melanda kampung kita pada suatu ketika membuat istri dan anaknya hanyut dan tewas digulung air. Saat itu, Amat Rajajen sedang berada di gunung mengumpulkan buah pala … ” Keuchik Wahed kembali terdiam sejenak.
“Hatinya remuk seketika.”
“Sejak saat itu, Amat Rajajen tak pernah kembali ke rumah panggungnya. Ia menguburkan anak dan istrinya dalam satu liang yang sama di tanah warisan orang tuanya di kampung sebelah. Ia ingin menjauhkan diri dari segala hal yang berkenaan dengan anak dan istrinya. Kematian mereka membuat Amat Rajajen trauma dan larut dalam kesedihan tak terperikan.” Keuchik Wahed menghirup rokoknya dalam-dalam.
“Ia memilih menenangkan dirinya dengan kalut di gua sarang walet di kaki gunung. Bertapa dari satu gua ke gua lainnya. Mencoba untuk melupakan ingatan menyayat hati tentang istri dan anaknya. Namun selalu gagal.”
“Lalu apa yang dilakukannya?” Muhsin menyela tak sabar.
“Amat Rajajen akhirnya mencoba berdamai dengan keadaan. Ia lantas berjanji pada dirinya sendiri untuk menziarahi makam anak dan istrinya sebulan sekali. Tepatnya pada malam 15 hari bulan, saat purnama paripurna di langit. Sehingga ia bisa melihat dengan jelas nisan dan gundukan tanah kering kuburan mereka di bawah sinar rembulan. Saat itu pula biasanya Amat Rajajen bakal balik ke kampung untuk memasok logistik makanan yang dibutuhkan. Kadang ia juga turun ke sungai untuk menangkap ikan. Belakangan ia semakin jarang berziarah atau turun ke kampung karena perang sudah berkobar di sini.”
“Lantas, bagaimana dengan rangkong papannya?”
“Ya, ia memiliki seekor burung rangkong papan jantan berwarna merah yang dipelihara sejak kecil. Ia menamainya Keudang Diwana. Kadang ia mengumpani burung itu dengan serangga, biji-bijian, buah ara, atau buah pala yang tercecer di sekitar kaki gunung. Kehadiran burung itulah yang membuat kerinduan Amat Rajajen terhadap anak dan istrinya sedikit terobati. Ia menyayangi burung tersebut sebagaimana dulu ia mengasihi mereka.” Mata Keuchik Wahed memandang langit malam dengan tatapan kosong.
“Lakab ‘Rajajen’ sendiri dijuluki warga lantaran ia telah berhasil membuat Perserikatan Jin Gunong Ungkong gentar dan akhirnya menyatakan tunduk kepada dirinya.”
“Bagaimana ceritanya?” Muhsin mengeryit. Ia merapatkan diri ke bangku tempat Keuchik Wahed duduk.
“Konon katanya pada suatu malam yang bertepatan dengan 15 hari bulan bertahun-tahun lalu, seorang warga kerasukan jin dari Gunong Ungkong. Saat itu, lelaki tersebut baru saja pulang dari mengambil pala di kebunnya di kaki gunung. Salah seorang keluarganya kemudian mengadukan hal tersebut kepada Amat Rajajen yang malam itu sedang memasang bubu di sungai. Berharap ia bisa menyembuhkannya.”
“Kelakuan jin itu membuat Amat Rajajen berang. Ia lantas mengancam, ‘kaubilang sama rajamu, jangan sekali-kali mengganggu orang Limaupulo. Jika tidak, aku si Amat Gua Walet bakal datang ke Gunong Ungkong dan menebas sendiri lehernya dengan parang. Dengar?’ Seketika jin yang bersarang dalam tubuh lelaki itu mengangguk takzim. Lantas lari ketakutan, terbang kembali ke habitatnya di Gunong Ungkong.” Sejak saat itu, kata Keuchik Wahid, tak pernah ada lagi orang Limaupulo yang kerasukan jin.
Mereka telah tunduk kepada seorang manusia bernama Amat.
Mengingat hal tersebut, Muhsin merasa dirinya kini sudah punya bahan untuk meng-konter ledekan Rajudin sebelumnya.
“Sejak Nabi Adam, pernah tidak kaudengar ada jin yang tunduk sama manusia, Din? Makanya, kaujaga sedikit omonganmu tentang Amat Rajajen sebelum kau ditundukkan juga sama dia nanti!”
Kali ini Muhsin berhasil membalas ejekan Rajudin dengan telak.
***
Sebelas orang anggota GAM berdiri tegap dalam dua saf, sehari sebelum penyerangan yang dilakukan Batalion Prabu Salya. Matahari jingga kepucatan sudah beringsut menuju cakrawala Samudra Hindia. Di depan mereka berdiri seorang lelaki berusia 43 tahun. Di samping kiri terdapat sebuah gubuk berataprumbia berukuran dua kali tiga meter. Gubuk ini dikelilingi oleh deretan pepohonan yang rindang. Di atasnya terbaring tiga bilah parang. Dua set sepatu bot warna hijau lusuh tergeletak di tanah, di samping salah satu tiang penyangga gubuk. Di dekat tiang satu lagi tampak tumpukan arang dari kayu-kayu kecil dan seludang kelapa kering yang dibakar. Tiang dari bambu setinggi empat meter berdiri di samping kanan gubuk. Di ujungnya berkibar selembar bendera merah dengan dua motif garis hitam di atas dan bawahnya. Beberapa kulit durian yang sudah terkoyak dan mulai membusuk berserak di belakang gubuk.
“Waktu latihan sudah usai. Pertempuran sebenarnya akan dimulai besok. Informasi dari orang kita, tentara bakal menyerbu besok pagi, persis saat jadwal kita mengambil logistik di kampung. Jadi untuk pasokan logistik kita tunda dulu sementara. Tujuan kita sekarang cuma satu: hadang tentara!” M Thaleb alias Tgk Simantok, lelaki yang berdiri di depan itu memberikan arahan untuk anggotanya dalam bahasa Aceh dialek selatan.
Setelah barisan dibubarkan, anggota GAM mulai memeriksa senjata mereka yang tersedia. Tiga pucuk AK-47 popor kayu dan dua pistol FN rakitan. Hanya itu yang mereka punya. Senjata-senjata ini dipasok melalui jalur gunung dari pasukan GAM Wilayah Teluk.
“Sudah siap mati, Di? Apa perlu kita minta tuah Amat Rajajen biar kita kebal kayak dia?” Khaidir berseloroh, mencoba mengendurkan ketegangan menghadapi pertempuran pertama mereka.
“Haha, tak perlulah, Dir. Kecuali kita berhasil mencuri rangkong papannya,” sahut Suardi, lelaki yang ditanya.
“Betul juga. Kadang di masa-masa seperti ini aku jadi berpikir kalau kita mati apa bakal dapat kenaikan pangkat juga kayak tentara ya, haha.”
“Pemberontak macam kita paling cuma dapat kiriman al-Fatihah dari keluarga. Lagipula, kita ini hanyalah orang nekat. Latihan seadanya dan senjatanya juga tak memadai. Beda dengan perang antara pasukan Amerika dan Jepang dulu misalnya. Di sini perangnya pura-pura, tapi matinya betulan.”
Dan benar saja, Suardi akhirnya menemui ajalnya dalam perang ‘pura-pura’ dengan Batalion Prabu Salya itu.
Jasad Suardi dimakamkan di sekitar kawasan kaki gunung pada siang menjelang sore setelah kontak senjata usai. Sementara dua orang anggota GAM lainnya yang terluka dirawat oleh rekan mereka. Luka di pinggang dan lengan mereka sudah dibalut dengan kain robekan singlet milik temannya.
“Kematian Suardi bukanlah akhir dari perlawanan kita. Dendamnya harus kita tueng bila. Siapkan diri kalian. Serangan berikutnya akan segera menyusul,” tutur Tgk Simantok. Seorang anggota lainnya, Khaidir, mengumandangkan azan: penghormatan terakhir untuk kawan sepertempurannya sebelum ditimbun tanah.
Khaidir bersama dua anggota lainnya kemudian diutus Tgk Simantok turun ke kampung untuk mengambil logistik yang sudah disiapkan. Khaidir mendapatkan tugas tambahan untuk menyampaikan kabar duka kematian Suardi kepada keluarganya. Anggota GAM berencana akan mengadakan samadiah di makam Suardi setelah salat magrib.
Ia hampir sampai kembali ke kaki gunung sembari membawa logistik ketika di kejauhan melihat seseorang berkaos putih yang berjalan membelakanginya. Lelaki itu tengah membopong seseorang berseragam loreng dan bersenjata yang tampak lemas tak berdaya.
Khaidir lantas bersembunyi dan merunduk di antara hamparan daun mensiang di pinggir sawah. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Khaidir mengucek matanya, lantas memperhatikan lagi dua sosok itu secara saksama. Kali ini ia tak mungkin salah lagi.
Napas khaidir tertahan sejenak. Ia menatap nyalang. “Dasar Rajajen pengkhianat!”
Banda Aceh, September 2024-Maret 2025
_______
Penulis
Sammy Khalifa, lahir di Kota Fajar, Aceh Selatan. Bekerja sebagai jurnalis lepas yang menulis tentang budaya dan kesenian. Saat ini berdomisili di Banda Aceh.
Istilah:
Anak panah: Istilah tentara untuk informan yang memberikan informasi terkait keberadaan anggota GAM
GAM: Gerakan Aceh Merdeka; Kelompok separatis yang ingin memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia sejak tahun 1976 hingga 2005
Juancok: Makian (bahasa Jawa)
Kalut: Bertapa di dalam gua atau gunung
Keuchik: Kepala desa
Rajajen: Raja jin
Samadiah: Prosesi mendoakan almarhum atau almarhumah
Tueng bila: Upaya untuk menuntut kerugian yang diakibatkan oleh pelaku.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com