Cerpen Tin Miswary
Beuransah baru saja pulang dari sekolah ketika istrinya berteriak-teriak memanggil namanya. Mendengar suara istrinya, lelaki itu segera memarkir sepeda motornya di teras. Dia menarik beberapa buku yang terselip di jepitan motor bagian depan, dan lalu berjalan terhuyung-huyung ke dalam rumah. Kepulangan Beuransah diketahui istrinya dari suara motor yang memang terdengar nyaring. Motor Suzuki Jet Cooled itu memang tidak bisa diajak diplomasi soal suara, selalu saja riuh dan melengking.
“Ya, sebentar,” ujar Beuransah, seraya mengembus napas.
Tidak terdengar lagi suara istrinya yang seperti suara peluit tukang parkir itu, bising dan memekak telinga. Dia mendapati istrinya sedang menampi beras di dapur, sementara di atas kompor Hock, dua depa dari tempat istrinya duduk, terlihat wajan kecil mengeluarkan asap.
“Tolong lemparkan ikan-ikan itu ke wajan. Minyaknya hampir hangus,” kata istrinya sambil terus menampi, dan sesekali menjumput bulir-bulir padi dalam nyiru.
Tanpa merasa perlu menjawab, Beuransah meletakkan buku-bukunya di atas meja kayu, tepat di belakang istrinya, dan lalu menyodok beberapa ekor ikan dalam beulidi menggunakan aweuk. Dengan bantuan benda itu dia memasukkan beberapa ekor ikan dalam wajan yang sedari tadi dipenuhi asap.
Beuransah mengambil kembali buku di atas meja dan bergegas ke dalam kamar. Setelah mengganti pakaian, dia kembali menuju dapur, membalik ikan yang hampir hangus. Siang itu dia hanya menggunakan singlet dan sarung. Cuaca di luar cukup panas dan matahari membakar tanpa ampun. Beuransah duduk pada sebuah kursi kayu di belakang meja makan. Dia menyalakan rokok dengan mata menyipit.
Namun, belum lagi asap tembakau itu keluar dari mulutnya, istrinya menoleh, memandang wajah Beuransah, dan lalu berkata, “Lusa ada mulod di tempat mengaji si Agam.” Istrinya mengatakan itu seraya mendongak.
Beuransah mengembuskan asap ke langit-langit dapur sambil matanya memandangi sarang laba-laba yang bergelantungan di sana. Pikirannya bergerak-gerak, mencari-cari wajah seseorang yang bisa dia temui untuk meminjam uang. Namun, tak ada wajah yang muncul di sana. Pikirannya kembali bergelayut, mengingat-ingat kepada siapa dia pernah meminjamkan uang. Akan tetapi hasilnya sama, tidak ada seorang pun yang muncul di pikirannya yang kusut.
Beuransah menarik napas panjang seraya memainkan batang rokok dengan jarinya, memutarnya bagai baling-baling. Baru kemarin dia menyumbang untuk maulid di sekolah si Agam. Tidak ada patokan memang. Namun, angka 30 ribu adalah nilai minimal yang mungkin disumbang, sebab harga barang sudah semakin naik. Lagi pula dia juga masih ingat wejangan penceramah, bahwa sedekah dan permintaan harus seimbang. “Sedekah lima ribu tapi mintanya masuk surga, hallow …?” ledek penceramah.
Atas pertimbangan itulah Beuransah terpaksa menyumbang 30 ribu untuk panitia maulid di sekolah si Agam. Dia tidak mau anaknya rendah diri, apalagi Beuransah juga seorang guru. Namun, permintaan kali ini, yang baru saja disampaikan istrinya, membuat wajahnya kembali murung. Karena itulah dia terus memandang sarang laba-laba di atas sana dengan harapan mendapat inspirasi.
“Itu ikannya sudah bisa diangkat!”
Teriakan istrinya membuat Beuransah terperanjat, membiarkan lamunannya menggantung di langit-langit dapur. Lelaki bertubuh kurus dengan rambut keriting bagai benang kusut itu bangkit dari duduknya, mengambil aweuk dan lalu mengangkat ikan yang hampir hangus, meletakkannya dalam cupe. Setelah mematikan kompor dia kembali duduk, melanjutkan renungan yang tadi terputus.
“Kata si Agam, untuk mulod lusa diminta sepuluh porsi per-wali santri.”
Suara istrinya membuat Beuransah kembali terhenyak.
Berbeda dengan maulid di sekolah yang meminta sumbangan dalam bentuk uang, maulid di tempat mengaji si Agam tidak menerima uang, tapi makanan yang sudah dimasak beserta lauk pauk. Memang sudah tradisinya begitu. Makanya dia tidak protes ketika istrinya berkata begitu. Namun, sepuluh porsi itu butuh biaya besar.
“Kira-kira habis berapa?” tanya Beuransah.
“Untuk belanja ayam, ikan dan bahan-bahan dapur, setidaknya 300 ribu. Itu paling kurang,” jawab istrinya sambil terus menampi.
“Kok mahal, ya?”
“Ya, mahal memang. Harga barang sudah naik. Uang 100 ribu sekarang gak ada harganya di pasar. Bapak pikir ini zaman Pak Harto?”
“Ya, tapi maunya jangan 10 porsi.”
“Kan sudah dibuat rapat di balee, tapi Bapak gak mau datang. Salah sendiri. Maunya kan bisa protes di sana.”
Jawaban istrinya terasa bagai tusukan belati di jantung Beuransah. Dia terdiam dan tak menjawab lagi. Sebenarnya dia bukan tak mau datang ke sana, tapi karena dia tahu pendapatnya akan ditolak oleh wali santri lain. Pada tahun-tahun sebelumnya dia selalu menghadiri rapat di balee itu, tapi dia justru dipermalukan dengan sadis.
“Alah, Bapak ini untuk sedekah aja pelitnya bukan main,” demikian kata mereka saat itu. “Sedekah gak usah banyak mikir, Pak. Kapan lagi kalau bukan di acara-acara seperti ini,” kata yang lain lagi.
Beuransah merasa terpukul. Hatinya sakit.
“Rezeki kita beda-beda, ada yang banyak ada yang sedikit,” timpal Beuransah dengan wajah kusut.
“Alah, Bapak ini. Untuk mencari pahala saja Bapak mau berdebat. Bagaimana Bapak ini? Jangan-jangan Bapak gak cinta sama Nabi, ya?” timpal salah seorang wali santri bertubuh tambun.
Mendapat jawaban seperti itu Beuransah hanya bisa diam, memendam rasa malu yang mengapung di wajahnya yang merah. Karena itulah dia tidak mau lagi menghadiri rapat-rapat terkait sumbangan di balee. Memang rapat itu bentuk musyawarah untuk mencapai mufakat, tapi sering kali yang suaranya tinggi dan kantongnya tebal menguasai panggung, memengaruhi orang lain untuk kemudian bersepakat atas apa yang sebenarnya mereka tak setuju.
“Jangan termenung begitu!”
Suara istrinya menyadarkan Beuransah dari pikirannya yang sedang merantau. Dia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, menenangkan diri dari gemuruh pikirannya sendiri. Istrinya yang baru saja selesai menampi beras bangkit dan duduk di samping suaminya. Dia memandang wajah suaminya yang masih terlihat bingung.
“Senin depan Bapak juga ada maulid di sekolah. Diminta sumbangan 50 ribu perguru sama kepala sekolah,” kata Beuransah dengan suara pelan.
“Bapak kan guru honorer, apa tidak ada keringanan?” tanya istrinya dengan mata mendelik.
“Maunya begitu, tapi ada guru honorer lain yang setuju.”
“Siapa itu?”
“Pak Midi.”
“Owalah. Dia kan punya tambak udang?”
“Itulah masalahnya. Kepala sekolah mana mau tahu, yang penting berat sama dipikul ringan sama dijinjing, katanya. Dan yang penting itu kesepakatan rapat guru-guru di sekolah.”
Sejenak suami istri itu terdiam, saling memandang dengan hati sama-sama bergolak.
Sudah 20 tahun Beuransah menjadi guru honorer di SD Kali Udang, sebuah kampung di pegunungan yang berbatasan dengan Tanah Gayo. Untuk bisa sampai ke sana dia harus memacu motornya selama satu jam setengah. Itu kalau tidak hujan dan jalannya kering. Tapi kalau hujan dan jalannya berlumpur, dia butuh waktu dua kali lipat. Karena itulah dia tidak membawa si Agam ke sana, tapi ke sekolah pinggiran kota, agar anaknya bisa pulang lebih cepat dan tidak kelaparan di tengah jalan.
Sebenarnya nama Beuransah sudah beberapa kali masuk dalam catatan guru honorer yang akan diangkat sebagai pegawai negeri. Namun, entah kenapa namanya selalu berpindah-pindah tempat. Awalnya masuk buku putih yang akan lulus tanpa tes, tapi kemudian namanya berpindah ke daftar K2, dan sekarang, karena dia hanya berijazah diploma, namanya juga hilang di sana. Yang layak masuk daftar K2 hanya mereka yang punya ijazah sarjana. Mengingat usianya sudah hampir kepala lima, rasanya tak mungkin lagi dia kuliah, apalagi kebutuhan hidup sudah semakin tinggi.
Pernah beberapa kali istrinya meminta agar ia berhenti saja menjadi guru, tapi Beuransah tidak mau. Dia tetap ingin mengajar, lagi pula dia juga sudah sangat akrab dengan orang-orang kampung di sana. Kadang-kadang waktu pulang sekolah dia membawa pisang, ubi, dan buah-buahan lain, hadiah dari wali murid. Karena itu, walau gajinya tak lebih dari 200 ribu sebulan, dia tetap bertahan. Selain itu, dia juga yakin suatu saat ketika presiden baru terpilih, akan ada kebijakan untuk mengangkat orang-orang seperti dirinya sebagai pegawai negeri. Apalagi dia sudah mengajar di sana sangat lama, ketika orang-orang GAM dan TNI masih berperang. Saat itu tidak ada yang berani datang ke sana. Namun, Beuransah yang saat itu baru lulus kuliah memberanikan diri mengajar di sekolah itu, sekolah yang kemudian dibakar orang tak dikenal sehingga dia harus mengajar anak-anak di bawah tenda.
“Jadi, bagaimana untuk mulod si Agam?” istrinya kembali bertanya.
“Kalau mungkin kita bawa lima bungkus saja, itu pun masih berat.”
Istrinya diam sejenak dan lalu berkata, “Asal Bapak berani bawa gak apa-apa.”
Perbincangan terputus.
Keesokan paginya setelah belanja dan memasak, istrinya menyerahkan lima bungkus nasi dan satu rantang lauk. Beuransah menerimanya dengan wajah yang tidak pantas untuk dikatakan gembira. Si Agam, anak laki-laki satu-satunya yang mereka punya telah lebih dulu berangkat ke balee. Dia akan membaca dalail khairat dengan teman-temannya di sana.
Jam menunjukkan pukul 11 siang ketika Beuransah dengan langkah gontai menaiki motornya. Suara motor yang seperti terompet itu mengejutkan beberapa ekor ayam yang sedang buang hajat di teras rumahnya, sementara istrinya berdiri di ambang pintu, melepas kepergian suaminya dengan hati cemas.
Sampai di sana, Beuransah menyerahkan bawaannya kepada Teungku Suman, pemimpin balai pengajian yang selama ini mengajari anaknya membaca Al-Qur’an. Teungku itu menerima pemberian Beuransah sambil tersenyum, tidak ada tanda-tanda aneh di wajahnya, seperti ditakuti Beuransah sejak kemarin. Teungku Suman mempersilakan Beuransah untuk menikmati makanan bersama tamu-tamu di bawah tenda.
Maka mulailah Beuransah menyantap makanan itu dengan lahap. Hatinya sangat bersyukur karena apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Selesai makan, Beuransah pamit pada Teungku Suman dan berjalan pelan meninggalkan tenda. Namun, baru saja dia menduduki motornya, seorang laki-laki tambun menepuk bahunya dari belakang.
“Lain kali kalau mau makan yang banyak, bawa yang banyak,” teriak laki-laki itu sambil berlalu meninggalkan Beuransah. Seraya menarik tangan anaknya, laki-laki itu kemudian menaiki mobil yang terparkir di ujung jalan. Dia melempar senyum pada Beuransah yang masih terdiam di atas motornya. Beuransah ingat pada laki-laki itu, laki-laki yang dulu mempermalukannya di balee.
Tengku Suman yang sadar dengan kejadian tersebut segera mendekati Beuransah dan lalu berbisik, “Jangan diambil hati. Dia sedang marah karena makanan yang dia bawa saya tolak. Dia juga membawa pulang anak laki-lakinya, tidak diizinkan lagi mengaji di sini.”
Beuransah melongo.
“Kenapa?” tanyanya kemudian.
“Saya tidak mau Nabi marah.”
“Maksud Teungku?”
“Tahulah, dia kan ….”
Haji Suman diam sejenak, dan lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Beuransah, “Tauke Tramadol!”
Catatan:
Mulod : Maulid
Beulidi: Sejenis wadah makanan
Aweuk: Sendok untuk menggoreng ikan
Si Agam: Panggilan untuk anak laki-laki di Aceh
Cupe: Piring kecil dari kaca
Balee: Balai tempat mengaji
K2: Status pegawai honorer
Tramadol: Jenis obat-obatan yang sering disalahgunakan
________
Penulis
Tin Miswary, menulis esai, cerpen dan resensi buku.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com