Tuesday, April 22, 2025

Proses Kreatif | Eksperimen "Agak Laen" Menjual Buku

Oleh Encep Abdullah



Pada Oktober 2024, saya menerbitkan buku proses kreatif menulis saya yang keempat berjudul Ihwal Menulis dan Menjadi Penulis. Sampai detik ini, saya sudah menulis dua puluh judul buku, dan buku proses kreatif ini saya jual agak berbeda dengan buku-buku yang lain: dijual dengan harga terserah pembeli.

Hal semacam ini tentu tidak ujug-ujug, ada proses panjang sampai memutuskan menjual dengan cara yang menurut saya agak konyol. Dulu saya pernah melihat sebuah unggahan buku terbaru karya Pak Edi AH Iyubenu berjudul Islamku, Islamamu, Islam Kita yang dijual seharga sepuluh ribu atau lima belas ribu rupiah per eksemplar. Saya berpikir, apakah tidak rugi dijual segitu. Dalam hati saya, “Lah, kan dia yang punya penerbitan. Suka-suka dia, duit-duit dia.” Iya juga. Walaupun pada umumnya banyak orang yang mencari keuntungan dari situ, nyatanya ada juga beberapa penulis yang memang tidak terlalu memusingkan soal keuntungan atau royalti tersebut. Mungkin salah satunya saya.

Saya termasuk orang yang saat ini tidak terlalu ingin ribet memikirkan keuntungan dari sebuah tulisan atau buku yang terbit. Ada beberapa faktor:

  1. Trauma masa lalu yang terlalu berambisi untung banyak dan akhirnya uang hilang semua.

  2. Sudah terlalu sering bikin buku dan tidak enak terus-menerus menawarkannya kepada publik, khususnya kepada teman-teman dekat, dengan harga yang sudah ditentukan.

  3. Dijual dengan harga berapa pun tidak membuat saya kaya secara materi.

  4. Saya, seperti Pak Edi, punya “kuasa” atas penerbitan buku yang bisa saya tentukan sendiri nasibnya.

  5. Saya niatkan sebagai sedekah.

Untuk poin kelima, sebenarnya saya ingin totalitas, yakni memberi kepada siapa pun yang berminat. Tapi, ada trauma dalam diri saya. Kadang, mereka yang asal mau itu belum tentu membaca. Sudah dikasih gratis, dibaca pun tidak. Akhirnya, saya pakai cara terakhir: dijual dengan harga sesuka pembeli. Tentu saja menimbulkan respons yang beragam. Misalnya, adik saya protes kalau beli barang tanpa harga. Katanya, dalam Islam, jual beli itu harus jelas. Saya jawab bahwa harga sesuka itu ada tempo atau batas waktu (pre-order-nya). Yang sebenarnya itu hanya PO-PO-an saja sih. Walaupun bisa jadi saya tetap akan kasih harga sesuka pembeli walau di luar PO. Saya bilang kepada adik saya, kalau mau beli dengan harga normal Rp50.000, itu berlaku di luar tanggal PO (harga sesuka itu).

Ada teman lain yang tanya kepada ChatGPT berapa harga buku dengan spesifikasi seperti buku saya itu. Ada juga yang transfer Rp200.000 untuk satu buku, ada juga yang transfer Rp30.000 (Rp26.000 ongkir + Rp4.000 harga buku). Ada juga yang transfer Rp10.000 dan minta dua buku. Ada juga satu sekolah, satu kelas borongan beli—kisaran 30 orang—dengan harga yang saya juga tidak tahu berapa. Setelah saya terima, guru tersebut memintai siswanya satu per satu Rp10.000. Tentu saya terima saja berapa pun harganya. Jadi, kalau saya amati, konsep jualan begini kayak jualan barang serba Rp35.000. Ada barang di bawah atau di atas harga segitu, tetap dijual Rp35.000. Jadi, ada yang beli buku saya di atas harga cetak, ada juga yang jauh di bawah harga cetak. Akhirnya jadi subsidi silang. Dan, saya serahkan semuanya kepada pembeli buku saya. Saya PO sekitar seminggu. Alhamdulillah, lebih dari 100 eksemplar buku terpesan. Setelah itu, ya sudah, sepi lagi.

Pengalaman menjual dengan cara semacam ini menjadi sesuatu yang berbeda bagi saya. Dan ini tidak saya anjurkan, ya, buat teman-teman yang memang niatnya mencari untung dari royalti atau hasil penjualan buku. Saya merasa dengan niat berbagi, hasilnya jauh lebih memuaskan ketimbang dengan niat mencari materi atau keuntungan. Saya sampaikan di awal tulisan ini—atau teman-teman bisa cari tulisan saya yang lain—saya sering bercerita bahwa saya pernah rugi besar karena saat bikin buku, saya punya ambisi untung banyak. Uang, uang, uang. Untung, untung, untung. Malah buntung. Seperak pun uang tak kembali. Uang saya hilang semua. Buku juga tak jadi cetak. Kebahagiaan tertinggi saya adalah berbagi, sekecil apa pun manfaat sebuah tulisan, sependek apa pun tulisan itu. Dengan niat berbagi, tulus, tanpa embel-embel duniawi, rasanya jauh lebih melegakan.

Bagi Anda yang mungkin pernah bertemu saya dalam acara literasi, pelatihan kepenulisan, dan sebagainya, Anda pasti tahu apa yang saya bawa: pasti buku gratis (selagi stok buku-buku saya masih ada). Bahkan saat diskusi buku saya dibedah di komunitas tertentu, saya pasti akan membagikan buku gratis kepada beberapa peserta, khususnya yang datang lebih awal, dan sisanya untuk audiens yang bertanya. Dan itu kesenangan bagi saya. Bahkan, sering kali dari buku-buku yang bertebaran itulah yang menjadi jembatan atau pintu bagi saya memasuki dunia pembaca atau diundang di tempat pembaca untuk mengisi acara atau pelatihan menulis. Seperti kemarin, ada rekan yang mengundang saya setelah membaca buku Ihwal Menulis dan Menjadi Penulis. Saya tidak tahu kalau dia mengundang saya ke sekolahnya karena ia terketuk hati membaca buku itu dan ingin mendapatkan inspirasi langsung dari penulisnya, lalu membagikannya kepada para murid.

Bagi saya, menulis itu bukan soal uang, melainkan soal berbagi. Yang paling utama adalah sebagai misi jiwa. Jujur, ini tulisan atau kolom pertama saya di tahun 2025 setelah mungkin tujuh bulan tidak menulis panjang. Saat ini saya lebih sering mendengarkan podcast berjam-jam, juga mulai membaca buku tebal lagi. Saya bersyukur bisa kembali lagi ke dunia “panjang” saya. Sebelumnya saya teracuni oleh video-video pendek dan jadi agak susah mencerna video dan bacaan yang panjang. Sekarang saya merasa mulai normal kembali. Dan entah ada angin apa, saya agak susah tidur, gelisah, entah gelisah apa. Lantas saya wudu saja. Setelah wudu, saya bingung mau ngapain. Saya belum mengantuk. Baca buku sedang kurang mood. Kumaha Gusti Allah wae, ternyata Dia menggiring saya ke laptop dan menulis lagi. Begitulah menulis. Adakalanya tergerak sendiri secara otomatis. Seperti tulisan ini.

Jujur, dalam hati, saya sebenarnya ingin kembali menulis cerpen. Tapi di satu sisi saya menolak, entah kenapa. Susah juga, ya. Alhasil, saya kembali lagi pada tulisan proses kreatif semacam ini, yang menurut saya, saya punya ruang sendiri di kolom ini untuk mencurahkan segala keresahan. Mungkin tulisan ini sebagai pemantik di awal tahun 2025, dan semoga bisa membangun kembali kebiasaan menulis. Sudah jago menulis bukan berarti berhenti menulis. Cristiano Ronaldo, Messi, misalnya, saya lihat mereka tetap latihan sebelum bertanding, padahal sudah suhunya suhu. Seperti orang alim atau orang saleh yang sudah sampai makrifat, tetap latihan, tetap bersyariat—salat dan sebagainya—untuk menjaga kebiasaan. Selebihnya, biarkan Tuhan yang mengalirkan kita hendak menulis apa, kapan, dan di mana.

Kembali kepada menulis dan jualan buku. Kalau melihat kapasitas saya yang segini, kayaknya saya bukan tipe penulis populer sekelas Tere Liye, atau sastrawan hebat seperti Pramoedya Ananta Toer. Persoalan popularitas, kekayaan, dan tetek bengek lainnya adalah persoalan semesta: ke mana ia mengarahkan. Saya berusaha ingin melampaui siapa pun juga. Kalau batas saya sementara ini sampai di sini, ya mau apa. Menulislah dengan kesadaran akan kapasitas diri. Jual buku-buku Anda dengan harga yang pantas menurut Anda. Berikan buku-buku tersebut kepada orang-orang yang layak menurut Anda. Di tangan orang yang layak, buku itu akan lebih banyak menebar manfaat ketimbang sampai kepada mereka yang hanya ingin gratisan, dibaca pun tidak. Mereka itu kelompok orang yang “MAU BUKU” tapi “TIDAK BACA BUKU”.

17--22 April 2025


______

Penulis


Encep Abdullah
, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


This Is The Newest Post